JAKARTA (RP) - Direktur Jenderal (Dirjen) Kerjasama Industri Internasional, Kementerian Perindustrian, Agus Tjahyono, menegaskan, lamanya proses negosiasi terkait pengambilalihan 58,88 persen saham PT Inalum dari konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) terjadi karena ada beberapa butir yang tidak sempurna dalam master agreement (perjanjian kerjasama) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dengan pihak Jepang pada tahun 1975 silam.
Meski begitu, permasalahan tersebut menurut Agus, sama sekali bukan menjadi kendala serah terima 58,88 persen saham dimaksud kepada pemerintah Indonesia, 31 Oktober 2013 mendatang. Dengan demikian Inalum resmi 100 persen menjadi milik Indonesia sejak 1 November 2013.
“Terkait besaran nilai pembayaran, untuk aset Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura, dapat diselesaikan karena dalam master agreement jelas disebutkan saham dibayar sesuai nilai buku. Jadi cukup jelas,” ujar Agus dalam rapat dengar pendapat yang digelar di Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Rabu (16/10).
Namun di luar PLTA, PT Inalum menurut Agus juga memiliki aset berupa smelter atau pengolahan aluminium lainnya. Dan untuk pembayaran smelter, dalam perjanjian kerjasama hanya disebutkan dibayar sekurang-kurangnya nilai buku.
Kalimat tersebut kata Agus, menimbulkan ketidakpastian. Di satu sisi tim Indonesia tentu menginginkan nilai pembayaran berdasarkan perhitungan nilai buku terkecil. Sementara pihak konsorsium NAA, menginginkan yang terbesar sebagai pengganti 58,88 persen saham yang mereka miliki atas Inalum.
Meski ada perbedaan pandangan, sejauh ini kedua belah pihak menurut Agus, tetap sepakat Inalum akan 100 persen ke pangkuan RI pada 1 November 2013 mendatang. Model pembayaran yang disepakati yaitu lewat sistem share transfer.
Sistem ini diklaim memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, perusahaan tidak perlu dilikuidasi dan tidak perlu memberhentikan karyawan.
“Tapi kalau model aset transfer, diperlukan nama baru (untuk Inalum). Kemudian modal kerja juga harus ditambahkan. Karena begitu perjanjian kerjasama berakhir, Inalum harus dilikuidasi,” katanya.
Jika memilih aset transfer, pemerintah Indonesia menurut Agus juga perlu membuat perizinan perusahaan baru, paling tidak dibutuhkan 38 perizinan.
“Makanya kita pilih share transfer. Artinya kita melanjutkan apa yang telah ada. Tidak perlu likuidasi dan karyawan tetap bekerja seperti semula,” ujar.
Kelebihan sistem ini, kata Agus, juga memastikan serah terima tidak akan terganggu meski kedua belah pihak belum menemukan kata sepakat terkait selisih nilai buku yang akan dibayarkan.
“Jadi kalau pun dibawa ke arbitrase internasional, kita tidak akan masuk lagi ke share atau transfer. Sama-sama dengan NAA kita targetkan tidak akan melebar ke mana-mana. Jadi permasalahan yang dibahas hanya masalah selisih nilai perhitungan,” ujarnya menjawab kekhawatiran anggota DPR, adanya agenda tersembunyi Jepang yang dicurigai sengaja membawa permasalahan ke arbitrase internasional.(gir/jpnn)