JAKARTA – Penerapan kebijakan penyatuan zona waktu di seluruh Indonesia tampaknya sudah matang benar. Tak perlu menunggu waktu lama, kebijakan yang dimaksudkan untuk menggenjot kinerja dan pembangunan ekonomi itu bakal direalisasikan tahun ini juga. ”Pokoknya tahun ini kita percepat, karena ini kan masalah sosialisasi. Hampir tidak ada yang menolak, intinya adalah sosialisasi,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Rabu (16/5).
Bahkan, lanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah menyatakan setuju bila zona waktu disatukan. Rekomendasi penyatuan zona waktu juga datang dari Komite Ekonomi Nasional (KEN). Menurut Hatta, pemerintah dan KEN berpendapat, penyatuan zona waktu diharapkan bisa mendukung upaya penghematan sekaligus peningkatan produktivitas. ”KEN mendukung apa yang disampaikan tentang penyatuan zona waktu Indonesia,” ucap mantan Menteri Riset dan Teknologi ini.
Hatta melanjutkan, berdasarkan kajian yang ada, zona waktu yang akan menjadi acuan yakni Waktu Indonesia Bagian Tengah (Wita). Itu artinya, nanti batas waktu Indonesia dalam internasional akan menjadi Greenwich Mean Time (GMT)+8. Dengan penerapan zona waktu itu diharapkan akan memberikan keunggulan waktu yang lebih efisien serta penghematan anggaran hingga triliunan rupiah. ”Penyatuan zona waktu Indonesia akan menggunakan patokan GMT+8 atau Waktu Indonesia Tengah. Kebijakan ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas di segala aspek,” ujarnya.
Selanjutnya, kata Hatta, pemerintah akan melakukan sosialisasi, dimana dengan zona GMT+8, maka semua pengaturan waktu di wilayah barat dan timur harus menyesuaikan dengan waktu Indonesia bagian tengah. Sebagaimana diketahui, Indonesia terbagi atas tiga zona waktu, di antaranya Waktu Indonesia bagian Barat (GMT+7 jam) yang mencakup wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Lalu Waktu Indonesia Tengah (GMT+8 jam) meliputi wilayah Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Dan Waktu Indonesia bagian Timur (GMT+9 jam) meliputi wilayah Maluku dan Papua.
Jika penyatuan zona waktu terealisasi dan Wita menjadi acuan, maka waktu Indonesia akan sama dengan Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Perth, dan Beijing. Sejumlah dampak positif dibeberkan pemerintah bila kebijakan ini berhasil. Misalnya, dengan penyatuan zona waktu, maka pelaku usaha di wilayah timur Indonesia bisa masuk ke jam transaksi yang sama untuk melakukan transaksi perdagangan dengan wilayah lain di Indonesia. Karena tadinya wilayah Indonesia Timur berbeda dua jam dengan wilayah barat dan satu jam dengan wilayah tengah Indonesia.
Pendeknya, bakal tersedia ruang transaksi yang lebih lebar bagi sekitar 50 juta masyarakat di kawasan tengah dan timur untuk bertransaksi dengan masyarakat di wilayah barat.
Dari perhitungan pemerintah, penyatuan zona juga waktu bisa mengangkat 20 persen Produk Domestik Bruto. Pada sektor perbankan juga terjadi peningkatan, perhitungan pemerintah menunjukkan, bila dalam tiga jam penyaluran kredit bisa mencapai Rp 100 miliar, maka jika ada penambahan jam transaksi karena penyesuaian waktu, jumlah kredit yang tersalurkan pun bisa makin besar.
Selebihnya, penyatuan zona waktu mampu mendongkrak transaksi harian Bursa Efek Jakarta lantaran melonjaknya volume dan jumlah transaksi harian. Mengapa demikian? Pasalnya, terjadi peralihan orientasi transaksi yang sebelumnya ke bursa Filipina, Australia, dan Singapura ke BEJ. Selanjutnya, usaha sekuritas pun tumbuh di wilayah timur.
Menurut Edib Muslim, Kadiv Humas dan Promosi KP3EI (Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan sederet alasan itulah, Hatta Rajasa ingin penyatuan zona waktu secepatnya diimplementasikan. Bahkan, pemerintah menargetkan bisa dimulai 17 Agustus nanti. ”Harapan kita, Pak Hatta juga mengharapkan lebih cepat lebih bagus. Karena bisa mem-bouncing ekonomi kita yang sebentar lagi tertekan karena BBM dan sebagainya. Kalau ini bisa mengangkat produktivitas nasional kenapa tidak?” papar Edib. (lum)