JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Tak lama setelah status tersangka ditetapkan pada dirinya, Rio didampingi kuasa hukumnya Maqdir Ismail menggelar keterangan pers di kantor DPP Partai Nasdem. Hanya berdua, tanpa didampingi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh atau pengurus lainnya, Rio menyampaikan pernyataan mundur dari kepengurusan DPP dan keanggotaan Partai Nasdem.
"Saya sudah melaporkan kepada Surya Paloh selaku ketua umum partai ini, saya menyatakan mundur dari jabatan sekretaris jenderal dan berhenti dari partai ini," kata Rio yang mengenakan baju batik.
Dia menyatakan tidak tahu dalam perkara apa KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka. Konsekuensinya, dirinya tidak bisa bersama lagi dengan Partai Nasdem. Dirinya menyatakan bahwa roda organisasi Partai Nasdem akan tetap berjalan tanpa keberadaan dirinya. "Saya juga turut membesarkan partai ini dari awal," ujarnya.
Maqdir menambahkan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan. Argumen itu disampaikan atas dasar uang yang diterima Rio sudah dikembalikan. Maqdir tampaknya lupa bahwa pengembalian uang suap tidak menghapuskan tindak pidana."Penetapan tersangka itu dilakukan dengan cara tergesa-gesa. Tidak memenuhi norma dan azas penetapan tersangka sebagaimana putusan MK nomor 12/PUU/2-14," kata Maqdir.
Menurut Maqdir, penetapan tersangka itu harus disertai syarat adanya dua bukti permulaan dan adanya pemeriksaan terhadap calon tersangka. Namun, membaca surat panggilan terhadap Rio sebagai saksi dalam perkara Gatot bersama Evy, hal itu tidak memenuhi kaidah sebagaimana putusan MK."Belum ada pemeriksaan sebagai calon tersangka. Pemeriksaan terhadap calon tersangka baru akan dilaksanakan hari Jumat, 16 Oktober 2015," ujarnya.
Terkait hal itu, lanjut Maqdir, seandainya benar ada perbuatan dari Rio yang dikategorikan sebagai perkara korupsi, hal hal itu tidak memenuhi kualifikasi perkara yang menjadi wewenang KPK. Pasal 11 UU KPK, kata Maqdir, menyatakan bahwa perkara korupsi yang menjadi wewenang KPK yang dilakukan aparat hukum, penyelenggara negara menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
"Seharusnya KPK sebagai bagian penegak hukum harus secara tertib menjalankan seluruh ketentuan hukum pidana, karena KPK bukanlah negara dalam negara," katanya.