JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpengaruh terhadap kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah tersebut.
Aktivis antikorupsi Abdul Fickar Hadjar membeberkan tiga pemicu menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK. Pertama, akibat dari revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“Revisi UU KPK yang dikatakan menguatkan ternyata justru melemahkan. KPK menjadi lembaga yamg tidak mandiri atau independent lagi,” kata Fickar kepada JawaPos.com, Minggu (16/2).
Menurunnya kepercayaan publik terhadap kinerja KPK itu berdasar pada hasil survei Alvara Research Center. Dari survei disebutkan bahwa KPK berada di peringkat kelima dengan tingkat kepuasan 7,1 persen. Penilaian itu merupakan survei terhadap lembaga negara pada 100 hari kerja pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin.
Pemicu kedua, kata Abdul Fickar, yakni kehadiran Dewan Pengawas (dewas), sebagaimana amanat UU Nomor 19/2019. Proses penyadapan, penggeledahan hingga penyidikan suatu kasus harus meminta izin Dewas KPK.
“Dewas menjadi birokrasi baru dalam sistem pemberantasan korupsi,” sesal Fickar.
Fickar menyebut, kekhawatiran pelemahan teehadap KPK terbukti pada rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan. Menurut dia kinerja penyidik pun terhambat atas kehadiran Dewas KPK.
“Kerja yang didukung oleh birokrasi yang lambat melahirkan banyak tersangka buron, seperti Nurhadi Cs dan Harun Masiku,” tegas Fickar.
Tidak kalah mencolok lagi, faktor ketiga. Kata Fickar, pimpinan KPK era Firli Bahuri yang kini rajin bersafari ke lembaga negara pun dinilai salah satu pemicu turunnya kepercayaan publik terhadap KPK. Langkah kesewenangan pimpinan KPK pun terlihat dengan memutasi sepihak pegawai yang masa tugasnya belum selesai di KPK.
“Itu hal hal yang membuat KPK kurang lagi dipercayai publik. Karena pimpinan KPK kerjanya silaturahmi,” pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman