JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan beberapa hambatan dalam penyelesaian perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu dan masa kini. Burhanuddin mengatakan salah satunya adalah belum adanya pengadilan HAM ad hoc.
Dia menjelaskan mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
"Untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, sampai saat ini belum ada pengadilan HAM ad hoc,” kata Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/1).
Burhanuddin menambahkan selain pengadilan HAM ad hoc, penuntasan kasus dugaan terhadap masalah kecukupan alat bukti.
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala kecukupan alat bukti,” ujar Burhanuddin.
Menurut dia, hasil penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) HAM belum dapat menggambarkan atau menjanjikan minimal dua alat bukti yang dibutuhkan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).
Ia menyebutkan secara umum penyebab bolak-baliknya berkas penyelidikan perkara HAM berat masa lalu dari Komnas HAM ke penyidik karena kurang lengkapnya pemberkasan. Menurut dia, penyebab tidak lengkapnya berkas tersebut antara lain karena penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk.
Burhanuddin menambahkan selain pengadilan HAM ad hoc, penuntasan kasus dugaan terhadap masalah kecukupan alat bukti.
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala kecukupan alat bukti," ujar Burhanuddin.
Menurut dia, hasil penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) HAM belum dapat menggambarkan atau menjanjikan minimal dua alat bukti yang dibutuhkan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).
Ia menyebutkan secara umum penyebab bolak-baliknya berkas penyelidikan perkara HAM berat masa lalu dari Komnas HAM ke penyidik karena kurang lengkapnya pemberkasan. Menurut dia, penyebab tidak lengkapnya berkas tersebut antara lain karena penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk.
"Hasil penyelidikan tidak cukup bukti, dan hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," ungkapnya.
Menurut Burhanuddin, penyelesaian HAM berat dapat dilakukan melalui dua opsi. Yakni, penyelesaian judicial melalui pengadilan HAM ad hoc, dan non-yudisial lewat kompensasi rehabilitasi.
Burhanuddin mengatakan ada beberapa berkas pelanggaran HAM berat masa lalu, dan dua masa kini yang sudah dikembalikan kepada penyidik.
“Perkara pelanggaran HAM berat Jambu Keupok (Aceh) 2003 belum dikembalikan oleh penyelidik kepada penyidik,” ujarnya.
Untuk kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, 2014, sampai saat ini masih dalam tahap surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
"Peristiwa Talangsari Lampung, 1989, alat bukti dan barang bukti dugaan pelaku belum terungkap," katanya.
Lebih lanjut, dia juga menyampaikan bahwa sudah ada hasil Rapat Paripurna DPR yang menyatakan peristiwa Semanggi 1 dan 2, bukanlah pelanggaran HAM berat.
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal