KEMENDAGRI USUL PILBUP-PILWALI KEMBALI KE DPRD

Tren Kepala Daerah Bermasalah Naik

Hukum | Minggu, 15 September 2013 - 07:14 WIB

JAKARTA - Jumlah kepala daerah (KDH) dan wakil kepala daerah (WKDH) bermasalah terus bertambah. Melebihi perkiraan, hingga pertengahan September 2013 tercatat 304 pimpinan daerah yang terjerat berbagai masalah hukum.

Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengatakan, angka kepala daerah bermasalah tersebut melebihi perkiraan sebanyak 300 orang sampai akhir 2013.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

"Sekarang sudah melebihi. Mau diapakan ini mau dibiarkan atau kita perbaiki sistemnya?," kata profesor akrab disapa Djo itu kepada Jawa Pos (Group Riau Pos), tadi malam.

Djo menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung merupakan salah satu sumber utama dari banyaknya kepala daerah dan wakil kepala dearah terjerat hukum. Sistem ini menguras biaya politik sangat mahal untuk para kontestannya. Mulai dari ongkos kampanye, sewa kendaraan, tim sukses, dan sebagainya.

"Itu lah akar persoalan sehingga kemudian setelah memenangi pilkada berusaha kembalikan modal kan, istilahnya begitu. Untuk para sponsor kan juga ingin dapat kembalian dari investasinya itu. Atau minta proyek, izin dimudahkan, dispensasi, akhirnya melanggar peraturan hukum. Itu lah paling mendasar," paparnya.

Menurut dia, negara juga harus merogoh kocek cukup dalam untuk pilkada langsung. Pilbup/pilwali, misalnya, menurut Djo dibutuhkan ongkos sekitar Rp 5 miliar per kabupetan/kota. "Coba saja dikalikan 500 kabupaten/kota yang ada di negara kita," terusnya.

Djo mengatakan, pilkada langsung merupakan sistem ideal dalam negara demokrasi. Akan tetapi, hal tersebut belum sesuai untuk kondisi masyarakat di Indonesia yang pendapatan perkapita sekitar USD 3.500 sampai USD 3.800 pertahun. Berbeda dengan negara demokrasi yang ekonominya sudah maju dengan rata-rata pendapatan per kapita USD 15 ribu per tahun, pilkada secara langsung bisa berjalan sesuai harapan.

Djo lantas membeber alasannya. Ketika penndapatan masyarakat sudah tinggi, kata Djo, para calon kepala daerah yang dipilih secara langsung itu bisa mendapatkan permodalan (fund rising) dari masyarakat.

"Istilahnya soft money. Jadi masyarakat yang mendukung calonnya itu galang uang receh, ada yang seribu rupiah, Rp 10 ribu, Rp 50 ribu. Kalau pebisnisnya mungkin dia sumbang Rp 10 juta atau Rp 50 juta dan itu sukarela," ulasnya.

Kondisi di Indonesia berbeda. Para kontestan justru harus mengeluarkan uang karena masyarakatnya juga minta. "Malah di jendela rumahnya dipasang tulisan "di sini menerima serangan fajar". Ditambah lagi tingkat pendidikan masyarakat yang belum baik dan merata. Kalau pendidikannya sudah bagus, ada yang kasih uang malah dia lapor polisi," pikirnya.

Atas dasar itu pemerintah pusat melalui Kemendagri mengusulkan agar pilbup/pilwali dikembalikan melalui mekanisme di DPRD sehingga tidak langsung lagi. Sistem melalui DPRD itu menurutnya lebih sesuai dengan realita masyarakat. "Melalui DPRD ini juga bagian dari demokrasi karena masyarakat diwakili oleh anggota parlemen. Bahkan diizinkan oleh konstitusi kita tertuang dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945," paparnya.

Sedangkan untuk pilgub dan pilpres, pemerintah pusat sepakat untuk tetap dilakukan pemilihan secara langsung. "Sebab kalau pemilihan gubernur kan luas, lokasinya jauh. Beda dengan bupati/kota. Bayangkan, sampai saat ini akibat dari pilkada langsung kabupaten/kota itu sudah memicu konflik; 70 orang meninggal, lebih dari 300 orang luka-luka, sepeda motor dan rumah dibakar, dan ada rakyat harus mengungsi," Djo merinci.

Usul pengembalian pemilihan bupati/walikota ke DPRD itu sedang diupayakan pemerintah pusat dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR yang saat ini memasuki sidang tahap akhir.

"Sudah tujuh kali masa sidang belum selesai. Ini kita harapkan di masa sidang terakhir bisa disetujui, diupayakan selesai sebelum akhir tahun ini," harapnya.

Sementara itu, tren kepala daerah bermasalah memang tren. Pada pertengahan September sudah ada 304 gubernur/bupati/walikota yang bermasalah. Angkanya bertambah bila dibandingkan pada Mei 2013 yang tercatat ada 291 pejabat daerah bermasalah. Rinciannya, 156 di antaranya adalah bupati, 46 wakil bupati, 41 walikota, 21 gubernur, 7 wakil gubernur, dan 20 wakil walikota.     

Sedang pada akhir 2012, ada 235 kepala daerah/wakil kepala daerah yang berurusan dengan penegak hukum. Angka tersebut meningkat sebanyak 62 orang di banding data pada akhir 2011 yang tercatat ada 173 kepala dearah/wakil kepala daerah bermasalah. Tren peningkatan kepala daerah bermasalah terjadi sejak 6 tahun lalu saat pemilu kada langsung mulai berlaku.(gen/agm)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook