JAKARTA (RP) - Dalam kapasitas sebagai mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN), Dahlan Iskan menjelaskan temuan inefisiensi Rp37,6 triliun di perusahaan pelat merah itu kepada Komisi VII DPR, Selasa (13/11).
Menurut Dahlan, posisi PLN saat itu adalah ‘’korban’’ ketiadaan gas sehingga terpaksa menggunakan BBM (bahan bakar minyak) untuk menghidupkan pembangkit listrik.
‘’Masalah salah makan PLN itu rasanya sudah lama. Sebelum saya jadi Dirut sudah sering saya persoalkan. Pembangkit yang harusnya pakai gas tapi pakai BBM karena PLN nggak dapat gas. Saya kira, anggota Komisi VII yang lama-lama tahu kalau ini dulu sering saya sampaikan,’’ ujarnya.
Dahlan tidak tahu berapa kerugian PLN karena ‘’salah makan’’ sebelum dirinya menjadi Dirut. Yang pasti, saat itu PLN tidak memiliki wewenang yang besar untuk mendapatkan gas yang cukup.
‘’Apa yang bisa dilakukan seorang Dirut PLN untuk dapat gas. Saya waktu itu sampai pergi ke Iran, tapi kan tidak gampang karena ada masalah politik,’’ ungkap pria yang kini menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
Padahal, jika menggunakan gas, PLN memiliki kesempatan untuk melakukan efisiensi.
‘’Kalau misalnya waktu itu saya punya wewenang untuk merampas gas, akan saya lakukan itu. Tapi, ternyata kan tak bisa. Bahkan, saya bilang ke direksi, ayo kita beli sumur gas sendiri supaya tidak bergantung pihak lain. Tapi, kenyataannya kan tidak bisa,’’ ungkap Dahlan.
Terkait dengan kontraktor gas yang tidak bisa memenuhi kewajiban, Dahlan mengatakan bahwa berdasar aturan memang tidak bisa dikenakan sanksi meski hal itu bisa merugikan.
‘’Menurut BP Migas memang tidak bisa dimasukkan sanksi dalam klausul kontrak (suplai gas, red). Makanya, PLN tidak bisa apa-apa,’’ katanya.
Mengenai sanksi terhadap kontraktor batu bara, Dahlan menegaskan bahwa PLN sudah menyita uang jaminan dari perusahaan tersebut karena telah mengingkari kontrak. Uang hasil sita itu masuk kas PLN.
Saat itu banyak pemasok batu bara yang menjual produknya ke luar negeri karena harga lebih tinggi. PLN mengingatkan bahwa uang jaminan akan disita kalau mereka wanprestasi.
‘’Katanya tidak apa-apa karena harga batu bara di luar lebih menguntungkan. Sekarang, saat harga turun, mereka mohon lagi ke PLN supaya mau terima batu bara,’’ ungkap Dahlan.
Karena kondisi tersebut, pembangkit milik PLN bisa mati. Jalan keluar satu-satunya adalah menggunakan BBM.
‘’Memang secara makro ada kelebihan daya, tapi secara mikro itu tidak bisa karena sistemnya belum dipersiapkan untuk dimasuki (listrik, red) dari daerah lain,’’ kata Dahlan.
Dia mencontohkan, jika pembangkit listrik Muara Karang mati, Jakarta Utara akan kehilangan daya 1.000 MW yang tidak bisa digantikan dari tempat lain.
‘’Sekarang sudah tidak seperti itu. Kalau mati bisa dipasok listrik dari daerah lain. Itu makanya di Gandul (Depok) kita tambah trafo 500 Kv (kilovolt),’’ tuturnya. Trafo seperti itu dibeli PLN dengan harga Rp120 miliar. Nah, pada era Dahlan, trafo semacam itu dibeli dengan banderol Rp39 miliar.
Terkait dengan pemakaian genset yang dituding pemborosan, Dahlan mengatakan bahwa pemakaian genset hanya dilakukan di luar Jawa. Sebab, kalau harus membangun pembangkit, perlu waktu minimal tiga tahun.
Saat berlangsung tanya jawab, Wakil Ketua Komisi VII Effendi Simbolon sempat menyela, ‘’Pak Dahlan nyatet nggak apa yang disampaikan teman-teman? Ini verifikasi lho Pak. Kalaupun akting, akting juga catet-catetlah,’’ ungkapnya yang disusul suara riuh dari para anggota Komisi VII.
Dahlan pun hanya tersenyum menanggapinya. Dia tetap serius memperhatikan pertanyaan-pertanyaan dan keterangan dari Komisi VII DPR.
Effendi Simbolon meskipun sebagai pimpinan rapat beberapa kali terkesan ingin menyudutkan Dahlan Iskan. Usai Dahlan memaparkan laporannya tiba-tiba Effendi Simbolon kembali nyeletuk, ‘’Ini papernya sederhana sekali, tapi ya mungkin untuk penghematan,’’ ungkapnya yang kembali riuh.
Yang tak kalah “menyerang” saat salah seorang anggota Komisi VII dari PDIP, Dewi Aryani diberikan kesempatan bertanya.
Menurut Dewi Aryani, pernyataan Jakarta gelap gulita itu pernyataan menyesatkan. “Karena PLN punya marjin daya 30 persen untuk wilayah Jawa, khususnya Jakarta sebagai pusat pemerintahan,’’ bebernya.
Dahlan Iskan tetap menjawabnya dengan santai. Menurut Dahlan, karena pembangkit listriknya hanya bisa BBM atau gas.
“Sebagai Dirut PLN, tidak mungkin saya mematikan listrik Jakarta. Itu padamnya bukan main-main, luar biasa luasnya. Tidak hanya satu hari dua hari, bisa setahun. Mau, tidak punya listrik setahun? Memang ada cadangan listrik. Namun, permasalahannya ada di teknis. Contoh ketika pembangkit listrik Muara Karang mati, aliran listrik di wilayah Jakarta Utara bakal terputus lantaran dahulu belum terkoneksi dengan wilayah lain. Sekarang dirancang ada transmisi baru menuju Jakarta Utara,’’ jawab Dahlan.
Giliran Achmad Riyaldi (PKS) diberikan kesempatan langsung mempersoalkan audit BPK. Menurutnya, ada pemasok batubara yang tidak siap menyuplai batubara ke PLTU 10.000 megawatt.
Ada pula suplai batubara yang spesifikasinya tidak sesuai dengan keperluan pembangkit. Bahkan, ada temuan tiga pemasok batubara pemenang lelang tidak menyuplai batubara.
Penjelasan BPK, kontrak dengan tiga pemasok batubara itu sudah dibatalkan. Namun, jaminan kontrak sudah dicairkan dan diterima oleh pengusaha, bukan PLN.
‘’Saya tanya ke Pak Hasan Bisri (Wakil Ketua BPK), apakah temuan itu merupakan potensial loss atau sudah loss? Beliau katakan sudah ada kerugian keuangan negara dan sudah ada indikasi korupsi. Itu jawabannya. Kok hanya seperti itu jawabannya, dan hanya soal gas?’’ urai Achmad.
Dahlan Iskan menyebutkan, bahwa itu terkait masalah temuan BPK hanya terkait suplai gas. Keperluan gas untuk delapan unit pembangkit listrik tidak terpenuhi sehingga harus diganti dengan solar.
Total pengeluaran untuk pengadaan solar di 2009, mencapai Rp17,9 triliun, dan 2010 Rp19,7 triliun. Dalam audit BPK hanya ada satu rekomendasi untuk PLN, yakni mempercepat pembangunan FSRU dan CNG di Bali.
Tidak ada indikasi penyimpangan dalam temuan BPK. Dengan paparan ini, jelas duduk persoalannya, bahwa temuan BPK tidak mengindikasikan adanya penyimpangan.
Meski agenda rapat kemarin adalah meminta klarifikasi terkait dengan inefisiensi di PLN, beberapa anggota komisi VII memanfaatkan forum itu untuk berkomentar tentang dugaan pemerasan BUMN oleh oknum anggota DPR.
Masalah tersebut mencuat setelah Dahlan melaporkan sejumlah anggota DPR yang diduga memeras BUMN.
Wakil Ketua Komisi VII Effendi Simbolon mengatakan rapat akan dilanjutkan pekan depan. Pihaknya meminta Dahlan lebih dalam membaca hasil audit BPK.
‘’Rapat kita tunda dulu. Pak Dahlan kita minta membaca keseluruhan hasil audit BPK dulu,’’ kata anggota Fraksi PDI Perjuangan itu.
Sementara itu, General Manager PLN Wilayah Riau dan Kepulauan Riau, Djoko R Abumanan mengatakan bahwa memang benar pembangkit PLTG yang diubah suai sehingga menggunakan bahan bakar minyak di Gardu Induk Teluk Lembu tidak efesien atau inefesiensi, namun itu untuk kepentingan masyarakat banyak.
‘’Benar, tapi PLTG itu tetap harus berfungsi. Awalnya menggunakan gas, tapi kan lost oportunity dimana perusahaan tidak bisa memberikan gas lagi kepada kami karena tidak ada lagi gas sehingga untuk tetap beroperasi maka menggunakan BBM, semua itu untuk kepentingan masyarakat,’’ kata Djoko.
Disebutkan juga oleh Djoko, dengan menggunakan BBM, tentunya biaya yang dikeluarkan lebih besar. ‘’Saat itu kita akan menghadapi Ramadan, penyelenggaraan iven internasional, dan akan mengelenggarakan PON,’’ kata Djoko.
Padahal untuk mencari energi gas sangat sulit sekali namun PLN harus tetap beroperasi. ‘’Tentunya PLN tidak akan membiarkan listrik untuk masyarakat padam, kalau itu disebut kerugian Rp37 triliun, malah lebih, kan kata Pak Dahlan Rp100 triliun,’’ ujar Djoko.
Namun, walaupun demikian Djoko dan Dahlan Iskan saat itu tetap berusaha untuk mencari gas dari berbagai sudut negeri Riau. Meskipun harus melewati sungai-sungai dengan speedboat, Dahlan dan Djoko mencari gas alam sampai ke kepulauan terisolir di Kabupaten Meranti.
Di tengah suasana Dahlan dicecar dengan pertanyaan kerugian negara, sebagai GM PLN WRKR, Djoko tetap mencari gas di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan.
Akhirnya Djoko mendapatkan gas alam untuk pembangkit berkapasitas senilai 130 Megawat. Gas tersebut segera dialirkan ke Gardu Induk Teluk Lembu.
‘’Saya baru pulang dari Langgam, saat ini gas sudah mulai dialirkan ke Teluk Lembu, namun tentunya untuk mengalirkan gas dari Langgam ke Gardu Induk Teluk Lembu tersebut tidak semudah mencari SPBU lainnya jika bensin di SPBU yang kita jumpai habis,’’ kata Djoko.(wir/ca/jpnn/yud/rul/ila)