Oleh: Imawan Mashuri
Assalamualaikum Pak Tif (Tifatul Sembiring, Menteri Kominfo). Pertama-tama saya menyampaikan salam dari teman-teman, anggota ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia).
Salam itu dititipkan karena sebagai anggota organisasi, mereka, juga saya (kami), tidak bisa bertemu langsung dengan Bapak, terutama sejak seleksi LP3M (Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing), Bapak buka dua bulan lalu.
Tidak juga pada hari pengumuman pemenang seleksi akhir bulan lalu. Buka puasa bersama pun —yang tahun lalu Bapak mengundang kami— tahun ini tidak, sehingga lengkaplah jarak ‘kerinduan’ kami akan pantun-pantun Bapak. Itulah sebabnya saya tulis surat terbuka ini.
Bukan hanya pantun Bapak yang kami rindukan. Bukan! Ada yang jauh lebih penting dari sekadar pantun. Yaitu; jawaban langsung atas sejumlah pertanyaan seputar kebijakan Bapak menggulirkan seleksi penyelenggaraan multipleksing untuk siaran digital televisi.
Sebab, eksperimen Bapak akan mendigitalisasi penyiaran televisi dengan pola LP3M itu —kalau benar-benar jalan— bakal mengubah sistem penyiaran yang sangat mendasar, dan demokratisasi penyiaran yang sudah mulai tertata, kembali banyak dipertanyakan.
Mulanya sederhana saja. Atas dasar semangat untuk menjadi ‘anak baik dan saleh’, seluruh anggota ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) berkumpul, rapat, merespon, membahas pengumuman Bapak untuk seleksi yang segera dimulai —yang jadwalnya sangat padat dan singkat— itu.
Tujuannya hanya satu, membentuk konsorsium, bersatu, mengelompok dan menyukseskan keinginan Bapak.
Tapi ternyata rapat yang kami selenggarakan pada dua hari setelah pengumuman dibukanya seleksi LP3M itu, tidak sederhana. Banyak sekali pertanyaan yang tidak terjawab.
Mulai dari; kenapa kok dengan cara LP3M, undang-undang pasal mana yang mengamanatkan dibentuknya LP3M, bagaimana dan dikemanakan pemancar dan tower-tower yang sudah diinvestasikan begitu mahal, mengapa pemenangnya hanya akan lima saja, untuk apa sisa frekuensinya, siapa tim seleksinya, mengapa ada perkecualian peserta dari Jatim, dan semua itu apa dasar hukumnya.
Karena —untuk dasar hukumnya— kami hanya menemukan Permen 22 dan 23 yang Bapak buat sendiri, dan yang lantas Bapak jadikan dasar itu.
Aturan lain yang lebih tinggi; undang-undang, bahkan peraturan pelaksanaan pun tidak ada yang tegas-tegas bisa melandasi digitalisasi dengan pola LP3M itu.
Mantan Dirjen Bapak yang baru saja pensiun (Dirjen SKDI Bambang Subiantoro) —yang kami undang sebagai nara sumber— juga tidak bisa menjawab.
Padahal Pak Bambang ketika masih aktif, kita kenal sebagai orang yang paling tahu dan terlibat penyiapan digitalisasi penyiaran. Bukan saja tidak bisa menjawab, tapi juga keheranan, kok begitu jadinya langkah dan pola digitalisasi yang ditempuh?
Perubahan mendasar sistem penyiaran Indonesia, yang menggunakan ranah publik, hajat luas ranah milik warga negara, Bapak utak-atik sendiri dengan sepenuh kemauan Bapak.
Pak Tif, maaf saya harus mengatakan ‘’sepenuh kemauan Bapak’’ seperti itu. Itu kesimpulan setelah kami mendengar jawaban dalam dialog resmi kami dengan anggota DPR-RI Komisi I serta dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) Pusat di Jakarta dan daerah Jatim di Surabaya.
Dua lembaga itu sengaja kami datangi, karena keduanya adalah bagian yang mestinya tidak terpisahkan dalam sistem tata kelola negara ini, khususnya dalam dunia penyiaran.
Kesengajaan mendatangi dua lembaga itu, tidak saja karena keduanya bagian penting yang tidak terpisahkan dalam regulasi dan sistem penyiaran negeri ini, tapi juga terdorong untuk mencari jawaban tentang langkah pola LP3M dari Bapak, karena kami tidak bisa menemui dan bertatap muka dengan Bapak.
Kami memang ingin menemui Bapak, untuk bertanya tentang berbagai hal yang saya sebut tadi karena kami merasa tidak bisa menemukan sendiri berbagai jawabanan seputar seleksi LP3M itu. Maka kami datangi kantor Bapak esok harinya.
Tentu Bapak masih ingat, Bapak menghindar dan balik masuk ke ruangan Bapak ketika kami berbondong-bondong menunggu di pintu keluar ruang kantor Bapak, di lantai tujuh Gedung Kominfo Jakarta.
Dua kali Bapak mau keluar tapi balik masuk karena kami masih menunggu. Hari itu adalah sehari setelah kami rapat, dan tiga hari setelah pendaftaran seleksi LP3M bulan Juni.
Sampai kemudian Pak Gatot S Dewobroto, Kepala Pusat Informasi dan Humas, keluar, mengajak kami dan para wartawan ke ruang lain untuk berbicara.
Dia kemudian ditemani dua staff Bapak lainnya yang juga adalah anggota tim seleksi; Henri Subiakto, staf ahli dan Anang Achmad Latif, Kasubdit Pengembangan Infrastruktur Telsus Ditjen PPI yang selama ini Bapak tampilkan untuk urusan digital.
Di ruang itulah —dalam kurun sejak seleksi dibuka, sampai saat ini— dan hanya di kesempatan itu, satu-satunya forum resmi kelembagaan yang kami peroleh untuk bisa berdialog. Itupun tidak tuntas dan kurang dialogis karena mereka bertiga lebih terasa bertahan.
Selebihnya dikatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan kami sulit dijawab. Yang terasa bahwa mereka bertahan, misalnya begini; hari itu koran Kompas memberitakan keterangan Bapak, bahwa pemenang seleksi nanti adalah empat televisi nasional dan satu televisi lokal.
Pernyataan itu kami kritisi, karena kalau sudah ditentukan, untuk apa seleksi, dibagi saja. Tapi, duh, Pak Gatot mati-matian menyatakan bahwa tidak ada kata-kata begitu sambil meluruskan bahwa yang Bapak maksud adalah 41 calon peserta seleksi.
Padahal jelas dan terang benderang berita koran tertanggal 12 Juni hal 12 itu. Terus terang Kami kaget, kok tega membela membabi buta dengan mengesampingkan hal yang sudah sangat jelas terbaca itu.
Kami juga sedih dijawab dengan menyatakan ‘’pokoknya’’ di dalam dialog itu. Misalnya ini; ketika kami tanya, untuk apa frekuensi dihemat? Staf Bapak menyatakan; pokoknya pemerintah butuh. ‘’Butuh frekuensi banyak,’’ timpal Henri.
Lho? Frekuensi yang lagi dimasalahkan ini ranah publik, untuk hajat dan kemaslahatan bangsa, dan frekuensi dalam urusan ini adalah hal terpenting.
Juga sedang digunakan oleh pemegang izin. Kok dijawab sederhana begitu? Butuh untuk apa? Bagaimana proses memperolehnya, bagaimana aturannya, dan seterusnya, yang artinya, kalau dijawab jelas, tampak ada plan, terbuka, ikut aturan dan jelas.
Tapi pertanyaan itu akhirnya memang tidak terjawab, sampai saat ini, di forum apapun, oleh siapa pun, termasuk oleh Bapak.
Yang lumayan tidak menyakitkan adalah jawaban ini; ‘’pertanyaan itu sulit dijawab.’’ Yang mengatakan itu Anang A Latif. Pertanyaannya begini; Kita tahu, LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) eks nasional maupun lokal di tiap wilayah besar jumlahnya cukup banyak. Jakarta dan Surabaya misalnya, masing-masing sekitar 24 dan 22 stasiun televisi.
Hampir seluruhnya menggunakan tower dan tentu saja pemancar sendiri-sendiri untuk memancar dengan masing-masing frekuensinya. Sebagian, terutama televisi lokal yang baru saja dapat izin tetap, telah investasi besar-besaran.
Tapi LP3M akan meringkus menjadi hanya 5 saja karena masing-masing frekuensi dipecah oleh teknologi multiplekser impact4 DVBT2 menjadi 12 kanal. Nah, dikemanakan sisanya dan bagaimana terhadap kerugian yang ditimbulkan?
Selanjutnya; kenapa digitalisasinya tidak menggunakan, misalnya; pola seperti di Jepang, yaitu; LPS yang ada diperintah digital dengan masing-masing memasang mux, lalu frekuensi yang dipakai dipecah oleh mux itu (di Jepang jadi 6 kanal karena menggunakan impact2, Indonesia bisa jadi 12 karena memilih impact4).
Nah, satu kanal dipakai melanjutkan siaran seperti sediakala, sisanya diambil pemerintah untuk keperluan apapun terserah pemerintah.
Jadi, tidak membuang tower, pemancar dan segalanya yang sudah diinvestasikan begitu mahal? Bukankah azas hukum kita tidak membolehkan ada aturan yang merugikan?
Atau ini; Jarak antar frekuensi yang digunakan penyiaran televisi di Indonesia saat ini adalah 8 MHz. Digital hanya membutuhkan 1,7 MHz.
Nah, bagaimana kalau dimampatkan saja, menggunakan jarak —untuk amannya— misalnya 2 MHz, maka televisi yang eksis sekarang hanya akan perlu rechannel dan akan diperoleh penghematan frekuensi tanpa mengorbankan tower dan pemancar televisi yang ada.
LPS yang ada tetap siaran di tempatnya, tidak ada yang berubah dan terbuang. Yang seperti itu dilakukan di Denmark dan Mesir. Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, mereka, staf Bapak itu, mengatakan, kominfo memilih LP3M saja.
Karena, katanya, sudah dapat persetujuan DPR-RI komisi 1.
Sudah dapat persetujuan DPR? Keterangan itu segera mengantar kami ke DPR langsung esok harinya. Roy Suryo dan Helmy dari komisi 1 yang menemui secara resmi —kami memang meminta pertemuan itu resmi— kaget atas dibukanya pendaftaran seleksi LP3M itu. Lebih kaget lagi membaca isinya yang dibaca dari fotocopy formulir yang kami beri.
Dan lebih lebih lebih kaget lagi ketika mendengar bahwa seleksi itu sudah memperoleh persetujuan komisi 1. Keduanya menyatakan tidak benar.
Untuk meyakinkan, diambilnya notulensi hasil rapat terakhir komisi 1 dengan Bapak. Dan dalam kesimpulan notulensi itu disebutkan bahwa Komisi 1 memang menyebut menyetujui digitalisasi tapi dengan catatan ‘’harus’’ terlebih dahulu mengkomunikasikan dan mendapat persetujuan dari Komisi 1.
‘’Ada apa kok jalan sendiri dan terburu-buru begini? Bagaimana kesiapan yang lain-lain? Kenapa tidak menunggu revisi undang-undang penyiaran selesai? Kata Roy yang secara bergantian dengan Helmy menyatakan tidak habis pikir.
Keduanya kemudian berjanji untuk segera mengundang Bapak, akan menanyakan hal ini semua.
Keheranan yang sama disampaikan oleh seluruh komisioner KPI Pusat. KPI Pusat memang mengundang ATVLI untuk diskusi tentang seleksi digitalisasi pola LP3M itu, sepekan setelah kami berdialog dengan Komisi 1 tersebut.
Seperti halnya Komisi 1, KPI yang merasa tidak tahu dan tidak dilibatkan sama sekali itu, juga berencana segera berkirim surat kepada Bapak, mengkritisi atau menanyakan ihwal seleksi yang tiba-tiba dan buru-buru, seperti menyimpan agenda tertentu itu.
Masih satu lagi keheranan dan tandatanya besar dari KPI. Sumbernya dari KPID Jatim, yaitu; untuk seleksi zona Jatim, Bapak membuat perkecualian, yaitu, pesertanya boleh menggunakan izin lama. ‘’Ada apa ini?’’
Seperti kita ketahui bersama, salah satu syarat sebagai peserta seleksi, harus mempunyai IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) tetap. Bisa dikutip dari pasal 3 syarat seleksi itu; ‘’Calon peserta menyerahkan salinan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) tetap zona yang dikompetisikan.
’’ Tidak kita temukan perkecualian dalam buku syarat seleksi. Tapi Bapak —(saya menyebut Bapak untuk tim, aparat, keputusan atau kebijakan yang lahir dari kementerian yang Bapak pimpin)— membuat perkecualian sendiri. Perkecualian itu bisa dibaca begini: karena semua televisi —sebut saja nasional— belum punya IPP di Jatim.
KPID Jatim mendahulukan televisi lokal karena ranah Jatim digunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan masyarakat Jatim terlebih dahulu.
Setelah Pengumuman Seleksi
Dan benar saja, pengumuman hasil seleksi Agustus pekan lalu, untuk Jatim, Bapak memenangkan semua televisi nasional yang menggunakan perkecualian itu.
Tanpa kecuali, tanpa dan tidak satupun televisi lokal yang Bapak menangkan. Berbagai alasan bisa kita dengar, bisa saja proposal mereka lebih baik.
Tapi bagaimana mengetahuinya? Karena hasil itu yang tahu hanya Bapak sendiri. Tidak terbuka. Termasuk tidak terbuka, ada apa Bapak menunda pengumuman sampai sepekan? Juga tidak pernah tahu, siapa para juri seleksi? Siapa yang mengangkat mereka? Kalau jurinya tunjukan Bapak, diangkat dengan SK Bapak, hasilnya tertutup, antara berita pengumuman seleksi dengan kenyataan hasil berbeda, apakah itu bisa disebut seleksi terbuka?
Pak Tif, hasil seleksi yang lain, hampir tidak ada yang berbeda dengan pernyataan-pernyataan Bapak sebelumnya. Untuk zona Jakarta sekitarnya misalnya.
Seperti yang dimuat Kompas tanggal 12 Juni dan jadi perdebatan kami dengan Pak Gatot ketika itu, benar saja akhirnya, bahwa pemenangnya persis seperti yang Bapak katakan; empat televisi nasional dan satu tv lokal. Tanpa bisa kita ketahui, bagaimana realitas skornya.
Dan benar juga seperti kata Bapak dulu pas ATVLI menghadap, bahwa pemenangnya cukup per grup. Kenyataannya memang bisa terbaca mewakili grup. Semua tv nasional menang di semua zona seleksi.
Dan semua pemenang adalah; hanyalah tv nasional. Kecuali wilayah Jakarta, satu tv lokal asal Malingping Banten, yang tidak pernah terdengar keberadaan sebelumnya, dan konon merupakan televisi tercepat memperoleh IPP dari Bapak, itu yang Bapak menangkan. Bagaimana sih Pak benernya?
Selain itu, pasca pengumuman pemenang, suasana di lapangan masih wait and see. Tapi juga isu ini; ada yang tadinya sudah minta untuk bergabung kepada yang diperkirakan menang, tapi dia ternyata menang, mengaku akan memakai semua kanalnya.
Begitu juga yang lain, karena menang, menghimpun perusahaan grupnya, semacam PH (production house) dan akan memasok ke kanal induk yang dimenangi.
Pendeknya mereka akan menguasai sendiri semuanya. Dengan demikian, meski satu frekuensi didigitalisasi menjadi 12 kanal (saluran siaran), dan jumlahnya ada lima plus satu; TVRI sebagai penyelenggara multiplekser, yang berarti akan ada 72 kanal saluran penyiaran, kenyataannya bisa hanya akan mengelompok pada lima kelompok plus satu itu saja.
Terus kemana ratusan tv yang lain, yang selama ini sudah siaran dan sudah mendapatkan IPP tetap dari Bapak? Dikemanakan investasi yang sudah dikeluarkan cukup mahal itu?
Kemana ribuan karyawannya kelak bekerja? Ada yang bertanya, ini bentuk lain pemberedelan televisi, bagaimana menjawabnya, Pak?! Juga ini; pola pertelevisian menjadi cartel, urusan KPPU dilampui, bagaimana, Pak?!
Saya tahu, ada wacana-wacana, pernyataan-pernyataan, rencana-rencana, berbicara dengan atas nama demokratisasi penyiaran, tapi tidak satupun tertuang dalam aturan sah yang kuat.
Revisi undang-undang juga belum diputuskan, kalaupun diberlakukan, kita belum tahu seberapa jauh mengakomodasi siaran digital. Tapi Bapak sudah menjalankan eksperimen pola LP3M seperti itu. Kenapa semua detailnya tidak dipersiapkan secara matang terlebih dahulu?
Mohon maaf Pak, kami —hampir semua anggota— bertanya, apakah benar frekuensi sisa itu nanti dijual ke telko? Apa benar sudah ada yang memesan? Kami bertanya Pak, bukan menuduh. Karena seperti saya bilang sejak awal, dan selalu saya katakan di setiap forum diskusi, bahwa kami ingin jadi anak yang baik dan saleh, maka kami hanya bertanya, tidak demo, apalagi anarkhis, walaupun yang terancam ini usaha utama kami.
Walaupun usaha kami itu berizin, untuk kepentingan daerah dan keberadaannya dilindungi oleh undang-undang.
Mungkin juga kami bertanya melalui Mahkamah Agung dengan uji materi, mungkin lewat gugatan di pengadilan, mungkin juga lewat KPK atas indikasi atau minta agar ada pengawasan supaya tidak terjadi korupsi di Kominfo. Atau bertanya melalui saluran yang lain.
Terakhir Pak Tif, apa benar Bapak akan maju di Pilgub Sumatera Utara tahun depan? Sekadar tanya Pak, apa bekal Bapak sudah banyak? Mudah-mudahan Bapak menjadi pemimpin yang bersih, transparan, berpihak kepada kebenaran, menolak kebathilan dan sekali lagi; bersih. Karena kalau tidak, Bapak akan dibersihkan. Demikian surat terbuka kami Pak. Wassalamu’alaikum Wr Wb.***
Imawan Mashuri
Ketua Umum ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia).