JAKARTA (RP) - Pengamat politik Yudi Latif mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) boleh saja eksis. Tapi MK jangan sampai merusak sistem ketatanegaraan yang disusun berdasarkan asas kekeluargaan.
"MK boleh saja dibentuk dan eksis, tapi jangan sampai merusak sistem kekeluargaan negara kita. Makanya setiap keputusan MK seyogianya harus dikembalikan ke MPR," kata Yudi Latif, dalam Dialog Kenegaraan bertema "Menata Ulang Sistem Bernegara", di lobi gedung DPD, Senayan Jakarta, Rabu (13/11).
Menurut Yudi Latif, kalau putusan MK tidak dikembalikan ke MPR maka semua Putusan MK yang terkait dengan sengketa konstitusi dengan sendirinya liar. "Ini Putusan MK sangat-sangat liar kerjanya. Malaikat saja diawasi Tuhan dalam bekerja. Dimana logikanya keputusan DPR bisa dibatalkan hanya 9 anggota hakim konstitusi?"tanya Direktur Eksekutif Reform Institute itu.
Dijelaskannya, konstitusi itu hukum dasar sebagai hasil dari konsensus politik. Karena itu kata dia, sengketa konstitusi yang berarti sengketa politik, harusnya institusi politik negara lainnya juga punya otoritas untuk menyelesaikannya.
Diingatkannya, setiap perubahan pasal baik dalam UU maupun konstitusi berdampak sangat luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara. "Dampaknya itu yang menjadi urusan politik yang harus diselesaikan melalui konsensus politik," tegsanya.
Dia contohkan masalah sistem Pemilu Legislatif yang oleh MK diputuskan harus menganut sistem Pemilu proporsional terbuka sehingga menghilangkan kreatiftas bangsa dalam berdemokrasi.
"Padahal sistem Pemilu Legislatif di dunia itu tidak ada terbuka dan tertutup. Masih banyak sistem yang lain yang lebih mendukung untuk kreatifitas demokrasi kita. Tapi MK terkesan tahunya hanya terbuka dan tertutup. Dalam kontek ini, maka diperlukan pandangan MPR," ujarnya.
Terakhir, Yudif Latif mengungkap rasa ketakutannya ketika para hakim konstitusi bicara soal hukum tapi tidak paham soal ketatanegaraan. "Saya paling takut mendengar penjelas hakim MK kalau bicara soal hukum tapi tidak paham soal asas dan ketatanegaraan," imbuhnya. (fas/jpnn)