JAKARTA (RP)- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyiapkan formula lain agar daerah-daerah yang terancam bangkrut bisa bertahan. Kalau sebelumnya mengancam bakal ada likuidasi, kali ini yang ditekan adalah pemimpin daerahnya. Yakni, ancaman penjara kalau nekat menambah Pegawai Negeri Sipil secara diam-diam.
Seperti diketahui, saat ini moratorium penghentian penerimaan PNS memang telah berjalan. Namun, Ditjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djoehermansyah Johan menyebut kepala daerah masih suka mengangkat pegawai secara diam-diam. Biasanya, diawali dengan mengangkat seseorang sebagai pegawai honorer. “Biasanya untuk balas budi,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Lebih lanjut dia menjelaskan, kebanyakan yang diangkat oleh kepala daerah adalah tim suksesnya. Selama ini, tidak ada sanksi bagi kepala daerah yang nekat ‘’menyelundupkan’’ pegawai baru itu. Sehingga beban keuangan daerah makin berat karena harus membayar pegawai tersebut.
Agar lebih bertaring, aturan pidana bagi kepala daerah tersebut bakal dijadikan undang-undang. Saat ini, Djoe mengatakan rancangan undang-undang (RUU) Pemerintah Daerah itu sudah disampaikan ke DPR. Namun, dia enggan menerangkan lebih detail tentang ancaman penjara itu. ‘’Yang jelas, diancam pidana,’’ imbuhnya. Langkah tegas itu perlu diberlakukan supaya jumlah PNS tidak membludak. Opsi moratorium memang menurutnya paling logis saat ini, sebab kalau dipaksa pendistribusian ke beberapa daerah akan makan waktu. Apalagi, beberapa daerah juga disebutnya sudah gemuk pegawai.
Seperti diberitakan sebelumnya, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) merilis 291 kabupaten/kota memproyeksikan belanja pegawainya lebih dari 50 persen. Nah, dari daerah itu terdapat 11 daerah yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen. Gara-gara itu, daerah tersebut kolaps karena tidak lagi memiliki anggaran.
Sebelas daerah itu diantaranya Kota Langsa (NAD), Kabupaten Kuningan Jabar, Kota Ambon, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bantul, Kabupaten Bireuen (NAD), Kabupaten Klaten, Kabupaten Aceh Barat, Kota Gorontalo, Kabupaten Karanganyar, dan Kota Padang Sidempuan.
Terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut prihatin dengan minimnya anggaran daerah yang digunakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat. Apalagi, komisi yang dipimpin Abraham Samad itu menegaskan kongkalikong antara pemkot dan DPRD dalam pembahasan anggaran daerah kini kian marak.
Menurut Jubir KPK, JohanBudi, meski KPK memiliki keterbatasan sumber daya manusia, tapi pihaknya tidak akan surut berupaya memberantas korupsi di daerah. Pria yang pernah mencalonkann diri sebagai pimpinan KPK itu mengaku ada beberapa modus dalam praktek kongkalikong antara pemkot dan DPRD. Diantaranya adalah pemkot memberikan sejumlah uang pelicin kepada DPRD guna untuk meloloskan pembahasan anggaran RAPBD dan untuk mengegolkan pembahasan peraturan daerah.
Dalam beberapa kasus, pemkot beralasan memberikan pelicin kepada legislatif karena terpaksa. Menurut pengakuan mereka, jika tidak menyetor pelicin, maka DPRD akan seenaknya mempersulit pembahasan perda dan pelolosan anggaran. Sehingga yang dirugikan adalah masyarakat. Namun bagaimana pun juga, lanjut Johan, itu adalah bentuk praktek suap yang jelas-jelas melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaku, baik penyuap maupun yang disuap sama-sama bisa dijerat pidana korupsi.
KPK sebenarnya tidak tinggal diam. Selain terus menangkap para pelaku di daerah, lembaga yang bermarkas di Jalan Rasuna Said Jakarta itu kerap turun ke daerah untuk memberikan penguatan kepada DPRD dalam upaya pencegahan.
Sebelumnya, kekecewaan juga sudah pernah diungkapkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-BR). Kementerian dengan slogan Melayani Masyarakat itu bahkan mengancam vonis keras kepada daerah yang APBD-nya didominasi untuk belanja pegawai.
Ancaman vonis itu adalah, Kemen PAN-RB tahun ini tidak akan mengalokasikan CPNS baru bagi daerah-daerah yang boros membelanjakan APBD tanpa mempertimbangan pengeluaran untuk belanja pembangunan publik itu. (jpnn)