Riau Pos Online - Kasus proyek fiktif pemulihan tanah bekas lahan eksplorasi minyak PT Chevron telah melalui babak uji laboratorium.
Setelah uji lab itu, seorang pejabat Kejaksaan Agung menceritakan kecurigaannya, mengapa ada oknum-oknum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang malah berperan seperti ahlinya Chevron.
Deputi Bidang Pembinaan Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas KLH Henry Bastaman mengaku akan mengecek informasi itu. Benarkah ada pihak KLH yang juga berperan sebagai ahlinya PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). “Saya belum memperoleh informasi mengenai hal ini. Kami akan mendalami kasus ini lebih cermat, serta mengkonfirmasi kepada bidang yang menangani kasus lingkungan di KLH,” kata Henry ketika dikonfirmasi.
Hal senada disampaikan Deputi Bidang Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Limbah dan Sampah KLH Masnellyarti Hilman. Wanita berpanggilan Nelly ini menyatakan, pihaknya akan melakukan evaluasi. “Nanti dievaluasi, jika memang ditemukan pelanggaran, tentu akan diberikan sanksi sesuai pelanggarannya,” ujar dia saat dihubungi, kemarin.
Seorang sumber yang merupakan pejabat Kejagung menyampaikan, saat uji lab digelar di Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Serpong, Banten, oknum itu hadir. Tapi, posisinya seperti ahli dari Chevron. Bukan pengawas dari negara. “Pihak KLH itu bilang, proyek bioremediasi tersebut oke,” ceritanya.
Namun, lanjut dia, setelah ditanya secara mendalam oleh pakar yang diajukan Kejagung, orang itu akhirnya diam. Soalnya, penilaian bahwa proyek itu sudah dilakukan secara benar, tidak didasarkan pada penelitian yang utuh. Apalagi, KLH tidak memiliki salah satu alat yang dibutuhkan untuk uji lab itu. Sehingga, keterangan oknum itu bahwa proyek tersebut sudah dilaksanakan secara benar, meragukan Kejaksaan Agung.
Padahal, rekomendasi dari KLH dijadikan instrumen bagi Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) untuk membayar klaim proyek bioremediasi ini. “Tim pakar pemerintah yang semestinya mengawasi, justru menjadi tim ahli dari CPI. Bagaimana mau mengawasi kalau begitu,” katanya.
Sumber ini pun mempertanyakan, mengapa orang yang seharusnya menjadi abdi negara karena gajinya dari APBN, malah memposisikan diri seperti pembela PT Chevron.
Kasus ini berawal dari perjanjian antara BP Migas dan Chevron. Salah satu poin perjanjian itu mengatur tentang biaya untuk melakukan pemulihan lingkungan dengan cara bioremediasi.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama perjanjian berlangsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ). Padahal, anggaran untuk proyek itu sudah dicairkan BP Migas sebesar 23,361 juta dolar AS. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miliar,” tegasnya.
Pihak PT CPI membantah telah membuat proyek fiktif pemulihan lingkungan bekas lahan eskplorasinya. “Chevron beroperasi sesuai perundang-undangan dan peraturan yang berlaku di Indonesia, dan bekerja sama sepenuhnya dengan Kejaksaan Agung,” ujar Coorporate Communication Manager PT CPI Dony Indrawan.
Menurut Dony, pekerjaan pemulihan bekas lahan eksplorasi CPI dengan teknologi bioremediasi dilakukan secara terbuka. “Chevron memilih kontraktor melalui proses terbuka, transparan dan bertanggung jawab sesuai prosedur yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Itu bisa dicek juga ke BP Migas,” ujarnya.
Desain dan penggunaan teknologi bioremediasi, kata Dony, juga telah dievaluasi dan disetujui instansi pemerintah yang berwenang, yakni Kementerian Lingkungan Hidup BP Migas. “Chevron bahkan mendapat predikat Proper Rating Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup karena ketaatan terhadap peraturan lingkungan pada 2011,” katanya.
Atas penjelasan pihak Chevron, Kejaksaan Agung tak begitu saja percaya. Sebab, proses pembuktian harus tetap dilakukan. “Kami juga menurunkan pakar bioremediasi. Kami menemukan tindak pidana korupsi,” kata Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Arnold Angkouw.
REKA ULANG
Uji Laboratorium Digelar Di Serpong
Untuk mendalami kasus proyek fiktif pemulihan bekas lahan eksplorasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), Kejaksaan Agung menggelar uji laboratorium.
Tapi, menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, hasil uji lab itu kurang maksimal. Soalnya, peralatan milik Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai pihak yang menjadi tuan rumah uji lab itu, tidak memadai.
Menurutnya, uji laboratorium di Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Serpong, Banten itu masih menyisakan satu sampel yang tidak bisa diuji, yaitu total petroleum hidrocarbon (TPH). “Untuk uji TPH, mereka tidak bisa, tidak ada alatnya,” ujar Arnold seusai mengikuti uji laboratorium itu.
Kata Arnold, ada tiga sampel yang harus diuji, yaitu pH, TCLP dan TPH. TPH itu sangat berkenaan dengan logam berat dan minyak. “Itu adalah sampel yang sangat penting,” kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini.
Uji lab yang berlangsung pada Senin pekan lalu (4/6) sejak pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB itu, digelar untuk memenuhi unsur obyektivitas dan transparansi. KLH dari unsur pemerintah diharapkan bisa menjadi penengah secara transparan. “Kami bawa semua sampel yang kami miliki, ada segelnya, dan disaksikan bersama pihak Chevron, KLH dan para pakar,” ujarnya.
Para tersangka juga diikutsertakan untuk melihat uji lab tersebut. “Sebenarnya uji lab ini masih bagian penyidikan, tapi untuk menghindari penyimpangan, kami lakukan secara transparan,” ujar Arnold.
Menurut Arnold, butuh waktu 14 hari untuk mengetahui hasil uji lab itu. “Tapi, kami tidak begitu terpengaruh pada hasil uji lab ini, sebab kami sudah punya bukti-bukti. Kami telah siap menuju proses penuntutan,” katanya.
Untuk TPH akan diuji masing-masing pihak secara sendiri-sendiri. “Pakar kami akan mengujinya, nanti itu akan diadu dengan hasil uji milik Chevron di pengadilan. Biarlah hakim yang memutuskan,” ujar dia.
Proyek bioremediasi lahan bekas eksplorasi PT Chevron itu berlokasi di Kabupaten Duri, Provinsi Riau. Chevron menunjuk PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia sebagai pelaksana proyek pemulihan lingkungan tersebut.
Tim penyidik memeriksa dua lokasi proyek bioremediasi di Duri, Riau, pada 9-13 April 2012. Dari lokasi, penyidik mengambil sampel proyek bioremediasi, mulai dari penampungan tanah yang terkena limbah, pengecekan tanah yang sedang diproses bioremediasi, hingga hasilnya.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, uji laboratorium itu sebagai bagian dari upaya memperkaya pembuktian. “Kami berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup, tenaga ahli independen. Termasuk, para tersangka bila mau mengajukan tenaga ahli sendiri,” ujarnya.
Kejagung menyangka, PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia tidak memiliki kemampuan melaksanakan bioremediasi. Bahkan, Korps Adhyaksa menyangka proyek itu fiktif, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 200 miliar.
Setelah itu, Kejagung menetapkan tujuh tersangka kasus ini. Ketujuh tersangka itu berasal dari PT Chevron, PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya. Belum ada tersangka dari pihak pemerintah.
Perangkat Negara Semestinya Bela Negara
Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar mengingatkan Kejaksaan Agung agar bertindak tegas jika ada oknum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan oknum Kejagung yang mencoba melemahkan penanganan kasus ini.
Apalagi, Kejaksaan Agung telah menaksir, nilai kerugian negara dalam kasus ini sangat besar, Rp 200 miliar. “Kejagung harus bertindak tegas. Usut semua. Ingat, jangan mengedepankan kepentingan pribadi. Ini adalah kerugian negara, jangan sampai menempatkan diri sebagai pembela Chevron yang tengah diusut kasusnya,” kata anggota DPR dari Partai Demokrat ini, kemarin.
Dasrul menegaskan, jika memang ada oknum-oknum KLH yang memposisikan diri berada di pihak PT Chevron, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. “Kejaksaan Agung harus mendalami dan mengusut semua pihak yang terlibat. Tegakkan hukum yang benar. Negara dirugikan, jangan malah mau dipermainkan dan disusupi,” katanya.
KLH, lanjut Dasrul, memiliki aturan main berdasarkan Undang Undang Lingkungan Hidup. “KLH itu perangkat dan bagian negara. Jangan sampai mau diintervensi. Jangan bermain. Mereka harus obyektif dan berpegang pada kepentingan negara dan masyarakat,” tegasnya.
Dia berharap, semua pihak turut mengawasi dan mengkritisi kinerja KLH dan Kejaksaan Agung dalam pengusutan kasus ini. Bila terjadi hal-hal yang mencurigakan, lanjutnya, maka masyarakat akan bergerak.
“Semestinya, perangkat negara membela kepentingan negara dan masyarakat. Tegakkan hukum yang benar. Jangan sampai terjadi kerugian karena aparat kita malah berpihak kepada kepentingan sesaat yang sangat merugikan negara,” ucapnya.
Agar Tak Sebatas Mengusut Swasta
Sandi Ebeneser Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI
Anggota Majelis Pertimbangan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebeneser Situngkir mengingatkan Kejaksaan Agung agar tak sebatas mengusut pihak swasta dalam kasus ini.
Dia juga meminta Kejaksaan Agung mendalami, apakah ada oknum-oknum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang terlibat dalam kasus Chevron. Sehingga, KLH memberikan nilai yang bagus kepada PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). “Siapa pun yang terlibat dan bukti-buktinya kuat, semestinya diproses secara hukum,” ujar Sandi, kemarin.
Sandi menambahkan, para pakar semestinya independen dan tidak terlibat kepentingan PT Chevron. Bermodalkan independensi itu, lanjut dia, semestinya para ahli tidak memposisikan diri sebagai bagian dari Chevron. Kecuali yang memang terang-terangan bekerja untuk Chevron. “Hal itu perlu agar penanganan kasus ini objektif,” tandasnya.
Penyidik, lanjut Sandi, juga harus jeli memperhatikan dan mengusut kasus ini. Jangan sampai terjebak pada kepentingan pihak yang tengah diusut. Soalnya, pihak yang tengah diusut tentu ingin bebas dari sangkaan. “Jangan sampai keterangan dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup digunakan semata-mata untuk menyelamatkan pihak yang tengah diusut,” ujarnya.
Dia pun mendesak agar aparat negara yang merekayasa kasus apapun diusut dan dihukum berat. “Yang seperti itu ibarat penghianat negara. Jika mengikuti prosedur hukum yang benar, semestinya yang seperti itu diadili. Idealnya, diproses semua,” tandasnya.(hrm/rmol/jpnn)