JAKARTA (RP) - Kritikan terhadap Densus 88 Antiteror Mabes Polri masih belum mereda. Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk Memberantas Terorisme tanpa Teror dan Melanggar HAM di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di kawasan Menteng kemarin.
Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar menjadi bulan-bulanan para peserta diskusi.
Selain Boy, dalam diskusi itu hadir pula perwakilan ulama Poso, ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan anggota Komnas HAM Siane Indriani. Sejumlah tokoh organisasi Islam juga tampak hadir, salah satunya adalah Abu Jibril.
Nyaris seluruh peserta dan panelis mengkritik kinerja Densus 88 dalam menangani terduga teroris. "Di Poso saat ini muncul ketakutan terkait konflik, namun bukan konflik antar agama, melainkan dengan aparat," ujar ulama Poso Adnan Arsal.
Menurut dia, kondisi Poso sebenarnya mulai stabil setelah perjanjian Malino. Para tokoh agama Islam dan Kristen sepakat untuk mengakhiri konflik. Namun, Densus malah menggelar operasi antiteror yang membuat belasan orang meninggal pada 2007.
Padahal, jika dirunut, akar konflik Poso adalah dendam atas pemusnahan pesantren Wali Sanga dan pembantaian sekitar 400 santri yang belajar di situ.
Di antara seluruh kritikan, Slamet cenderung lebih halus. Dia mengatakan, pada dasarnya terorisme di Indonesia berakar dari mancanegara. Diawali dengan perang dingin, yang kala itu sebagian besar Negara Islam mendukung Ameriuka serikat. Lalu, ujungnya adalah peristiwa 11 September 2001 yang membuat Islam seakan menjadi musuh bersama.
Setelahnya, muncul bom bali I dan Polri membentuk Densus 88 yang dilatih di Australia dan AS. Setelah terror mereda, rupanya densus harus tetap berfungsi. Jadilah pusat konflik yang melibatkan umat Islam diberi label sebagai aksi teroris.
"Kalau yang dikejar Noodin M Top mungkin bisa dipahami. Tapi kalau kelompok-kelompok kecil seperti di Poso tentu berbeda perlakuannya," terangnya.
Menurut dia, jika ingin densus tertib, keberadaannya sendiri harus ditinjau ulang. Atau, minimal dikoreksi dan dievaluasi bersama. Ormas-ormas Islam bisa meminta klarifikasi kepada Kapolri terkait Densus 88.
"Islam itu agama paling dominan di Indonesia. Perlakukanlah dengan baik," lanjutnya.
Menanggapi kritikan tersebut, Boy Rafli hanya tersenyum seraya mengucap terima kasih.
"Tolong terus awasi dan kritik kami," ujarnya. Boy mengatakan, yang dilakukan pihaknya selama ini adalah menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
Pihaknya sama sekali tidak berniat membunuh, karena saat itu yang dilakukan adalah penegakan hukum. "(dalam penegakan hukum) Polri hanya melihat perbuatan, bukan siapa dan dari mana asal pelaku," tutur mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya itu.
Boy juga sepakat dengan para ulama yang menginginkan kekerasan dan teroris hilang dari Indonesia. Sebelum tragedi Poso, pihaknya sudah lebih dahulu berkomunikasi dengan sejumlah tokoh agama. Namun, bukannya membawa hasil, malah terjadi mutilasi terhadap tiga siswa SMK di Poso. Karena itu, pihaknya melakukan penegakan hukum.
Dia berharap, tokoh masyarakat maupun tokoh agama juga berperan aktif dalam pencegahan aksi terorisme. "Kami senang kalau ada masyarakat yang melakukan kajian mendasar terkait akar konflik maupun terorisme di Indonesia," tambahnya. (byu)