Diksi “Geng Solo” Neta itu, patut diduga menunjukkan kebencian kepada orang yang berdasar pada ras dan etnis tertentu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf b UU Nomor 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam Pasal 16 disebutkan, bahwa sanksi yang bisa dijatuhkan adalah penjara lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.
Di bagian lain, Kadiv Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal pun tak ketinggalan angkat bicara terkait isu “Geng Solo”. Mantan Wakapolda Jatim ini menegaskan, mutasi jabatan di tubuh korp baju cokelat itu tidak dilakukan sembarangan, melainkan ada mekanisme yang berlaku.
“Dilihat rekam jejak dan lewat (pertimbangan) Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi, red),” kata Iqbal saat dihubungi, Rabu (25/12).
Seolah membalas Neta, Iqbal pun tegas membantah bahwa ada faksi-faksi di dalam tubuh Polri.
“Sama sekali tidak ada geng-gengan,” katanya.
Rekam Jejak
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir mengakui, Irjen Nana Sudjana memang bukan sosok perwira Polri yang namanya populer. Akan tetapi, Adies meyakini, sosok pendiam tapi matang dan kaya pengalaman itu mampu menjalankan amanat sebagai Kapolda Metro Jaya.
Hal itu menilik pada rekam jejak Nana yang ikut terlibat langsung dalam mengamankan Ibu Kota di masa gejolak politik 1998 sampai pasca reformasi.
“Beliau bertangan dingin dan matang karena menjadi pelaku langsung yang mengawal ibu kota (Jakarta) di tengah dinamika politik yang sangat berisik,” kata Adies di Jakarta, Rabu (25/12).
Adies menambahkan, memang Nana bukan sosok polisi populer. Sebab, polisi asal Cirebon, Jawa Barat itu lama berkarier sebagai intel.
Namun, justru itulah yang membuat Nana matang di bidang intelijen. Nana merupakan kepala Satuan Intelijen Keamanan (Intelkam) Polda Metro Jaya pada masa reformasi.
Pascareformasi, Nana dipercaya menjabat direktur Intelkam Polda Metro Jaya. Nana juga pernah menjadi Analis Utama Tingkat III Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri.
Selanjutnya Nana dipercaya memimpin Direktorat Intelkam Polda Jateng. Setelah itu dia ditarik ke Jakarta menjadi Analis Utama Tingkat I Baintelkam Polri.
Karier Nana berlanjut sebagai Analis Kebijakan Madya Bidang Ekonomi Baintelkam Polri. Pada 2014 Nana kembali ke daerah menjadi direktur Intelkam Polda Jatim.
Pada 2016 Nana memimpin Direktorat Politik Baintelkam Polri. Karier Nana menanjak dan dipercaya menjadi Kapolda NTB pada 2019.
Hingga akhirnya Nana secara resmi pada 20 Desember 2019 memimpin Polda Metro Jaya. Dengan rekam jejak tersebut, politisi Partai Golkar ini yakin Nana adalah figur tepat untuk menjaga stabilitas dan iklim investasi di DKI dan sekitarnya.
“Saya berharap Kapolda Metro yang baru ini dapat bekerja lebih baik lagi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan seluruh warga Kota Jakarta tanpa pandang bulu,” ujarnya.