MAKASSAR (RP) - Peringatan Hari Korupsi Sedunia dan Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya menjadi momen penting menyampaikan seruan moral dan solusi cerdas dari kaum intelektual, mahasiswa. Tapi cara yang dilakukan justru melanggar hak asasi warga untuk melakukan aktivitasnya.
Cara-cara tidak simpatik meski mengatasnamakan aspirasi rakyat menjadi tontonan sekaligus derita bagi warga dalam tiga hari terakhir di Makassar. Senin, 10 Desember, kembali aksi tutup jalan menuai kritikan dan juga berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat.
Padahal tujuan mereka sebenarnya sangat mulia. Namun, cara menyampaikan aspirasi itulah yang tidak mendapat simpati warga belakangan ini. Apalagi, arus lalu lintas menjadi mandek dan menyebar kemacetan hampir di semua ruas-ruas jalan di Makassar.
Salah seorang warga Makassar, Ramli, 33 mengaku tidak simpatik dengan aksi yang dilakukan para mahasiswa belakangan ini. Meski mengaku menyampaikan aspirasi masyarakat, karyawan swasta ini tidak sependapat. Ramli mengatakan, tindakan mahasiswa ini justru meresahkan dan menyengsarakan rakyat.
"Harusnya mereka (para mahasiswa, red) bisa berpikir, aksi yang dilakukan dengan menutup jalan itu hanya merugikan masyarakat. Bagaimana dengan para tukang becak, atau sopir angkot yang ingin mencari nafkah bagi anak-anak mereka?" keluh warga Tamalanrea ini, saat ditemui di fly over, kemarin.
Senada dengan Ramli, salah seorang mahasiswa salah satu universitas swasta di Makassar, Mardia, 19, juga mengaku risih dengan tindakan yang dilakukan rekan-rekannya. Menurut dia, betapa banyak kerugian yang terjadi akibat tindakan yang dianggapnya tidak bersahabat ini.
"Kalau memang mau menyampaikan aspirasi, harusnya disampaikan secara beretika. Mahasiswa itu kan manusia intelek, tindakan yang tidak intelek ini justru akan membuat masyarakat tidak simpatik kepada mahasiswa yang notabene adalah kontrol sosial serta agen perubahan," katanya alumnus SMA 14 Makassar ini saat terperangkap macet saat menuju kampusnya.
Mantan aktivis Unhas, Faat Arsyid Qadri ikut angkat bicara terkait aksi yang dilakukan mahasiswa. Mantan pengurus senat Sastra Unhas ini mengatakan, kadang rencana aksi yang dilakukan mahasiswa keluar dari tujuan yang direncanakan.
Penyebabnya, salah prosedur atau tindakan dalam pelaksanaan aksi.
Dia menjelaskan, sebelum turun aksi, tentu mahasiswa melakukan konsolidasi. Kalau pun ada perencanaan menutup jalan, lanjutnya, mereka memiliki tujuan serta target yang ingin dicapai.
"Misalnya mereka menutup jalan dengan tujuan melumpuhkan ekonomi sehingga mendapat perhatian pemerintah. Hanya saja, kadang rencana itu tidak ada sosialisasi kepada masyarakat sebagai pengguna jalan. Akhirnya rasa simpati yang ingin dicapai itu tidak sampai karena tidak adanya sosialisasi. Malah aksi mahasiswa cenderung mendapat cercaan," urai Faat.
Ia pun mengimbau agar para mahasiswa bisa memikirkan langkah yang tepat untuk menyampaikan aspirasi. Faat melanjutkan, mahasiswa sebagai pendamping masyarakat memang tidak bisa kehilangan fungsi dengan tetap mengawal segala perubahan. Hanya saja, tentu dengan kajian serta pemikiran matang demi meneruskan aspirasi.
"Mahasiswa adalah salah satu kelompok dari masyarakat yang harus tetap menjaga idealismenya demi keutuhan bangsa dan kemajuan," katanya.
Sementara itu, sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Muhammad Darwis menilai, mahasiswa saat ini salah memaknai kebebasan. Mereka menganggap bahwa kebebasan itu tidak melanggar hak asasi orang lain, tetapi apa yang dilakukan ini jelas mencederai hak asasi masyarakat umum.
Darwis mengungkapkan, tidak seharusnya mahasiswa melakukan tindakan yang justru akan memberikan pendidikan yang tidak baik bagi masyarakat. Aksi menutup jalan serta berhadap-hadapan dengan aparat adalah tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh mahasiswa.
"Menyampaikan aspirasi itu sangat wajar karena memang itulah peran dan fungsi mahasiswa dalam mengawal setiap kebijakan. Hanya perlu tindakan yang lebih beradab serta jalur yang tepat. Kalau terus dilakukan dengan anarkis, maka itu adalah pendidikan yang buruk terhadap masyarakat," tukas Darwis.
Sementara itu, psikolog Univeristas 45, Fatmawati Taibe mengungkapkan ada yang hilang di antara mahasiswa saat ini. Katanya, para mahasiswa kehilangan intelektualisme dalam menyampaikan aspirasi dengan menutup jalan.
"Dari tinjauan psikolog, tindakan mahasiswa seperti ini jelas bertentangan dengan apa yang seharusnya dicerminkan sebagai mahasiswa. Kalau dahulu, mahasiswa turun ke jalan itu karena memang perlu. Tetapi saat ini, masih banyak yang bisa dilakukan selain menutup jalan. Misalnya dengan menulis lalu mengirim ke media dan sebagainya. Toh, sudah sering dilakukan demonstrasi tetapi tidak mengubah karakter pemimpin. Makanya mahasiswa perlu memikirkan hal lain untuk menyampaikan aspirasi dari pada aksi yang merugikan masyarakat luas," katanya. (iad)