JAKARTA (RP) - Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri yang juga Penjabat Gubernur Riau, Djohermansyah Djohan menyoroti fenomena yang sering muncul antara kepala daerah dan wakil kepala daerah setelah keduanya terpilih dalam Pemilukada.
Fonemenan itu sebutnya, tidak harmonisnya kepala daerah dengan wakilnya karena kadang dipicu masing-masing pihak merasa memiliki peran yang sama dalam pemenangan Pemilukada, sehingga menjadi penyebab perseteruan antara kepala daerah dan wakil yang terus berlangsung.
‘’Salah satu akibat perseteruan tersebut adalah terjadinya pengkotak-kotakan birokrasi daerah yang memihak kepala daerah dan yang memihak wakil kepala daerah, ” ujar Djohermansyah saat menjadi narasumber saat Rapat Kerja Gubernur (Rakergub) seluruh Indonesia tentang
‘’Pemantapan Penyelenggaraan Pemerintah dalam rangka menyongsong Pemilu 2014,‘’ di Hotel Aryaduta Jakarta, Senin (9/12). Turut mendampingi Djohermansyah Asisten I Abdul Latief dan Karo Tata Pemerintahan Provinsi Riau M Guntur.
Berdasarkan data sejak 2010 hingga saat ini lanjut Djohermansyah, hanya tujuh persen kepala daerah dan wakil kepala daerah mampu menjaga hubungan harmonis sampai dengan Pilkada berikutnya. Untuk itu RUU Pemda mengatur bahwa dalam kondisi transisi demokrasi seperti sekarang ini, lebih tepat dan efektif jika wakil kepala daerah tidak dipilih satu paket dengan pemilihan kepala daerah.
‘’Namun wakil kepala daerah diangkat dari kalangan PNS/profesional sehingga kepala daerah yang politis diimbangi oleh wakil kepala daerah yang profesional, ‘’ sebut Djohermansyah pada Raker yang dibuka Mendagri Gamawan Fauzi itu.
Dalam menjalankan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan Pemda kabupaten/kota dan tugas pembantuan oleh kabupaten/kota, presiden dibantu gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Untuk memperkuat peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, maka gubernur diberikan kewenangan oleh RUU Pemda untuk menjatuhkan sanksi kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan gubernur juga dibantu oleh perangkat gubernur yang dibiayai dari APBN.
Selain itu, Djohermansyah juga menyoroti isu penting yaitu persoalan perangkat daerah. Dalam penataan perangkat daerah kata dia ada kecenderungan daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah yang banyak jumlahnya dan kurang didasarkan pada keperluan nyata dari daerah. Pembengkakan perangkat daerah itu telah menimbulkan beban sangat besar bagi APBD sebanyak 70-80 persen, tersedot untuk pembiayaan birokrasi dan aparatur.
Padahal seharusnya ungkap Djohermansyah, prinsip dasar pengaturan perangkat daerah dalam RUU Pemda adalah pembentukan perangkat daerah harus didasarkan pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dengan memperhatikan keperluan dan kemampuan masyarakat. Karena itu pembentukan perangkat daerah diklasifikasikan dalam beberapa tipe tergantung dari besar kecilnya beban kerja yang dilaksanakan daerah.(yud)