Nazar-Nasir Digerebek

Hukum | Jumat, 10 Februari 2012 - 08:39 WIB

JAKARTA (RP) - Terdakwa kasus Wisma Atlet, M Nazaruddin dan Muhammad Nasir, anggota Komisi III DPR RI Dapil II Riau, digrebek Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Denny Indrayana di Lapas Cipinang.

Kedua bersaudara ini tertangkap tangan sedang melakukan pertemuan -’’rapat gelap’’- bersama tim pengacara Mindo Rosalina Manulang, Djufri Taufik dan Arif Rahman, Kamis (9/2) sekitar pukul 23.00 WIB.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kepada wartawan, Wamenkumham, Denny mengatakan, awalnya ia merasa curiga dengan kegiatan di LP Cipinang berdasarkan pantauan kamera CCTV yang tersambung ke ruangan kerjanya. Akhirnya dengan beberapa anak buahnya di Kemenkumham, Denny melalukan inspeksi mendadak (sidak).

‘’Kami masuk ke ruang tertutup di sana ada Nazaruddin, Nasir (sudara Nazaruddin) Djufri Taufik, Arif Rahman dan beberapa orang lain. Pertemuan itu sekitar pukul 11 malam (23.00 ,red),’’ kata Denny.

Mantan staf khusus Presiden bidang hukum ini menyebut, pertemuan di luar jam besuk itu sudah melanggar aturan.

Sebab, jam kunjungan dibatasi hanya sampai pukul 22.00 WIB. Denny menyebut Nasir dan Djufri sempat beralasan hanya sekadar menjenguk Nazaruddin yang sakit.

Sebab pada persidangan Rabu (8/2) lalu, Nazar memang mengaku sakit. Namun Denny mematahkan alasan Djufri dan Nasir. Djufri, sebut Denny, jelas bukan pengacara Nazar.

Sedangkan Nasir merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat asal Dapil II Riau (Inhu-Kuansing, Inhil, Pelalawan dan Kampar)— meski mengaku dari Komisi III DPR, tetap tidak diperkenankan berkunjung di luar jam kunjungan.

Dari catatan buku tamu Nazar di Cipinang, diketahui bahwa Nasir sering mendatangi saudaranya itu di luar jam kunjungan. ‘’Ini kelihatannya mengulangi di Rutan Pondok Bambu, yang bersangkutan (Nasir) mengunjugi Rosa (di luar jam besuk) dan ini kemudian terjadi lagi di Cipinang,’’ ucapnya.

Ditanya tentang adanya penyelewengan oleh petugas Rutan, Denny langsung menepisnya. ‘’Obrolan dengan petugas malam, mereka dalam posisi tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Dia (petugas lapas) mengatakan Komisi III DPR berhak mengunjungi, membawa institusi DPR,’’ kata Denny.

Hanya saja jika Nasir mengaku mewakili Komisi III DPR, ternyata tidak ada anggota DPR lainnya yang ikut dalam pertemuan itu. ‘’Kami menyimpulkan ini pertemuan pribadi,’’ urainya.

Lalu, bagaimana pimpinan KPK menanggapi tentang pertemuan tersebut? Melalui juru bicaranya, Johan Budi, KPK menegaskan bahwa penemuan Wamenkum HAM itu menjadi perhatian yang sangat serius.

Sebab, kata Johan, Nazaruddin adalah seseorang terdakwa yang kini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor. Nah, yang dikawatirkan adalah pertemuan yang menyalahi jam besuk itu memiliki dampak yang negatif terhadap persidangan yang dijalani Nazaruddin.

‘’Karena itu kami akan berkoordinasi dengan Kemenkum HAM dan pihak pengadilan,’’ kata Johan. Meski begitu Johan tidak mau mengatakan secara gamblang siapa yang bersalah dalam persoalan tersebut. Yang jelas, kata dia aturan untuk kunjungan besuk harus diperketat dan dipertegas.

Tak hanya itu, Johan pun menegaskan bahwa kini pihaknya tengah berencana membangun ruang tahanan cabang KPK yang sebentar lagi akan di bangun di basement gedung KPK.

‘’Mudah-mudahan bisa secepatnya rampung. Paling tidak sebulan lagi sudah ada,’’ kata dia.

Sementara Djufri Taufik yang dihubungi secara terpisah, mengaku bersalah karena menemui Nazar di luar jam kunjungan. Namun Djufri menegaskan, dirinya sudah mengantongi surat kuasa sebagai penasihat hukum dari mantan Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat itu.

Menurut Djufri, dirinya sudah tak lagi menjadi pengacara Rosa setelah putusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap pada 17 Oktober 2011 dan diseksekusi.

Sementara Nazaruddin memberi surat kuasa ke Djufri pada 19 Oktober 2011. ‘’Pak Nazaruddin memberikan kuasa kepada saya sebagaimana yang tertuang dalam surat kuasa,’’ kata Djufri, kemarin.

Soal alasan menemui Nazar di luar jam besuk, Djufri mengatakan, hal itu terpaksa dilakukan demi alasan kemanusiaan. Sebab, Nazar mengaku sakit. Alasan lain, besuk terpaksa dilakukan malam hari karena Nasir yang juga tercatat sebagai anggota DPR RI, baru selesai kerja pada malam hari.

‘’Kami berkunjung di malam hari karena Pak Nasir memiliki kesibukan terkait jabatannya sebagai anggota Komisi III DPR,’’ tegasnya.

Lantas apa yang dibicarakan pada pertemuan itu? ‘’Kita ke sana membicarakan apa yang perlu dilakukan terkait kondisi kesehatan Nazaruddin,’’ ucapnya. Karenanya Djufri justru mempersoalkan langkah Denny.

‘’Saya punya salah apa sama Denny? Iya, saya akui berkunjung malam-malam itu menyalahi aturan, tapi ada toleransi lah,’’ ucapnya.

Sedangkan juru bicara KPK, Johan Budi, mengatakan bahwa Djufri tidak termasuk dalam daftar pengacara yang diserahkan Nazar ke KPK.

‘’Kalau kami lihat di surat kuasa yang disampaikan ke KPK, kami tidak melihat ada nama itu (Djufri, red). Selain itu dalam persidangan juga kami tidak pernah melihatnya mendampingi Nazarudin,’’ kata Johan.

Namun saat pernyataan KPK itu ditanyakan ke Djufri, dengan ringan ia menanggapinya. ‘’Silakan saja kalau mau lihat datang ke kantor saya,’’ kata Djufri yang mengaku memegang surat kuasa sebagai konsultan hukum Nazar sehingga tak pernah hadir di persidangan.

Terpisah, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM Sihabuddin saat dihubungi wartawan menegaskan bahwa kunjungan Nasir cs ke Rutan Cipinang telah melanggar SOP Sstandard Operational Procedure) lantaran tamu-tamu tersebut telah melanggar aturan jam besuk.

Sihabuddin pun lantas menegaskan bahwa pihaknya kini telah menindaklanjuti persoalan tersebut dengan memanggil dan memeriksa para petugas yang memberikan izin kunjungan kepada para tamu itu.

‘’Kalau nanti setelah pemeriksaan, mereka terbukti bersalah, maka akan kami beri sanksi,’’ ujar mantan Kakanwil Kemenkum HAM Jatim itu.

Terima Rp150 Juta dan BlackBerry

Aliran uang korupsi Wisma Atlet Rp30 miliar dan uang dolar sebanyak 5 juta dolar AS, ternyata mengalir sampai ke Sulawesi Utara. Sebanyak 11 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat (PD) Sulut yang mengikuti Kongres Demokrat di Bandung pada Mei 2010, diduga ikut menerima uang tersebut.

Sejumlah ketua DPC PD yang dihubungi JPNN, mengakui menerima uang yang dijuluki apel Washington (dolar) dan apel Malang (rupiah) itu.

‘’Kami yang memilih Anas Urbaningrum, memang menerima uang sebesar Rp100 juta. Dari sebelas DPC, sebanyak tiga DPC mendapatkan dana Rp150 juta. Kami ada delapan DPC hanya menerima Rp100 juta dan handphone Blackberry,’’ ujar Diana Maringka, mantan Ketua DPC PD Minahasa Tenggara.

‘’Saya baru tahu kalau dana itu dana dari Wisma Atlet. Kan waktu saya terima, kita tidak tahu dana dari Wisma Altlet. Kita tahunya uang itu dari kubu Anas, untuk pemenangan Anas,’’ ujar Diana.

Diana menjelaskan pengakuan yang mereka buat ini tidak terlepas dari upaya ingin keluar dari jebakan kasus korupsi Wisma Atlet yang saat ini tengah jadi perhatian publik.

‘’Kenapa saya mengaku, sebab uang itu kami dengar bersumber dari dana Wisma Atlet. Makanya saya harus bicara jujur. Saya  mencintai Partai Demokrat. Partai Demokrat kan partai anti korupsi,’’ tuturnya.

Lantas, apakah dana tersebut sudah dipergunakan? Diana kontan membalas, ‘’Belum, uangnya masih ada sama saya. Kecuali Blackberry-nya memang sudah terpakai. Tapi masih ada, saya siap mengembalikannya,’’ ungkap dia.

Info yang berkembang selama ini, pada Kongres di Bandung itu, ada uang sebanyak Rp30 miliar dan 5 juta dolar AS yang mengalir. Uang sebanyak itu ditaruh di Hotel Aston lantai 9, tempat Kongres PD. 11 dari 15 DPC Partai Demokrat se-Sulut diduga menerima dana Wisma Atlet dari Tim Sukses Anas Urbaningrum sebesar Rp100 juta-Rp150 juta per DPC.

Ketua DPC PD Minahasa Selatan, John Sumual juga mengakui menerima uang pada Kongres tersebut. Tetapi Sumual membantah jumlahnya Rp100 juta untuk memilih Anas.

‘’Tidak dipungkiri memang kami mendapat uang dari kongres tersebut, tapi itu hanya uang pengganti tiket dan biaya penginapan hotel saja. Itu pun tidak sampai Rp100juta,’’ ujar Sumual yang terkesan ragu untuk menyebutkan berapa besaran yang diterima mereka.

Ketua DPC PD Minahasa Utara, Rudi Kululu membantah tetapi mengakui kalau ada bagi-bagi uang. ‘’Kalau kami dikatakan menerima Rp100 sampai Rp150 juta, itu tidak benar. Kalau benar, kami siap untuk diperiksa,’’ tegasnya.

‘’Mungkin saja ada, tetapi jumlahnya tidak sebesar itu. Mungkin hanya untuk biaya pengganti traspor, penginapan, dan konsumsi saat suksesi berlangsung. Dan ini hal yang wajar untuk dilakukan seorang calon,’’ tuturnya.

Ia menambahkan, jika nantinya Dewan Kehormatan akan datang dan melakukan investigasi di daerah ini, pihaknya menyambut dengan baik dan terbuka untuk diperiksa. ‘’Kami justru bangga dan senang jika Dewan Kehormatan datang karena ada tiga menteri bahkan bapak presiden bagian dari dewan,’’ katanya.

Bantahan keras disampaikan Ketua DPC PD Kotamobagu Ir Ishak Sugeha. Ia mengaku pihaknya tidak pernah menerima uang sepeser pun untuk dipengaruhi agar memilih Anas dalam Kongres PD 2010.

‘’Kongres sudah berjalan sesuai mekanisme dan tata tertib yang ada dan salah satu tatib adalah tidak boleh ada money politics. Bahkan jika ada kandidat yang ditemukan berbuat seperti itu, secara otomatis akan digugurkan,’’ katanya.

Sementara, Ketua tim sukses pencalonan Anas Urbaningrum, Achmad Mubarok kepada sejumlah media membantah adanya bagi-bagi  dana tim sukses untuk memilih Anas.  ‘’Mana ada itu. Itu pasti ada yang merekayasa,’’ kilah dia.

‘’Lagi pula, mana ada orang terima uang itu mengaku,’’ lanjut Mubarok. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Saan Mustofa, menampik adanya politik uang dalam Kongres Demokrat itu.

‘’Setahu saya sebagai peserta kongres, tidak ada politik uang atau politik transaksional. Yang ada adalah politik gagasan dan politik rasional,’’ kata Saan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis kemarin.

Anggota Komisi III DPR itu menyatakan pengakuan Diana itu harus diuji kebenarannya. ‘’Bisa saja orang-orang mengatakan begitu,’’ ujar Saan.

Anas Tak Kenal DGI

Sementara itu, terkait pengembangan kasus dugaan korupsi dana Wisma Atlet, Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum, merasa dirinya bersih. Anas mengaku sama sekali tidak pernah terlibat pembicaraan terkait proyek Wisma Atlet yang telah menyeret mantan Bendahara Umum PD, M Nazaruddin sebagai pesakitan.

Kuasa hukum Anas yang juga anggota Tim Advokasi PD, Patra M Zen di Jakarta, menyatakan, bahwa dalam beberapa kali persidangan Nazaruddin selalu menyebut Anas telah memberi perintah agar PT Duta Graha Indah (DGI) Tbk menang dalam proses tender proyek Wisma Atlet. Namun merujuk pada fakta persidangan, Patra menegaskan, bahwa tidak pernah ada keterlibatan Anas dalam proses tender proyek Wisma Atlet sehingga PD DGI mengantongi kontrak senilai Rp191 miliar.

Bahkan Patra menyebut dari 14 saksi yang dihadirkan di persidangan Nazaruddin, tak satupun yang menyebut peran Anas dalam pemenangan PD DGI. ‘’Sudah 14 saksi dihadirkan di persidangan, tapi faktanya tidak ada yang menyebut Pak Anas memerintahkan saksi untuk melakukan sesuatu terkait proyek Wisma Atlet,’’ tegas Patra.

Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum itu menambahkan, Anas juga tidak pernah menerima aliran uang dari proyek Wisma Atlet. Patra juga menyodorkan alibi bahwa Anas sama sekali tidak terkait dalam pembicaran untuk meloloskan proyek Wisma Atlet maupun PT DGI.

Anas, kata Patra, sudah mundur dari DPR RI terhitung sejak Juni 2010. Sementara proses pembahasan proyek Wisma Atlet terjadi setelah Anas tak lagi di DPR. Karenanya Patra berani menjamin bahwa Anas sama sekali tidak terlibat dalam kasus yang telah menyeret Angelina Sondakh sebagai tersangka itu. ‘’Secara umum tidak sebiji sawi pun ada keterlibatan Anas. Jangankan terlibat, dijadikan saksi pun tidak ada relevansinya,’’ pungkas Patra.

Seperti diketahui, Nazaruddin didakwa menerima cek Rp4,6 miliar dari PT DGI. Cek itu diduga sebagai balas jasa karena Nazaruddin telah ikut meloloskan anggaran proyek Wisma Atlet dan membantu menjadikan PT DGI sebagai kontraktornya.(ara/boy/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook