JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Surat Edaran (SE) Jaksa Agung Nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 ternyata memicu polemik di masyarakat. SE tersebut dikeluarkan Basrief untuk memerintahkan kejari menghentikan kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya kecil dengan syarat tersangka mengembalikan uang korupsi tersebut secara penuh dan sukarela.
Menanggapi polemik di masyarakat, Jaksa Agung Basief Arief akan memanggil seluruh kejaksaan negeri (kejari) untuk membahas kembali SE tersebut. Basrief juga mengiyakan bahwa pihaknya menerima banyak pertanyaan dari penyidik kasus tindak pidana korupsi di daerah yang nilainya kecil apakah perlu dilanjutkan atau tidak. ‘’Nanti saya tampung semua. Semua kepala kejari saya kumpulkan segera,’’ kata Basrief saat dihubungi JPNN, Sabtu (8/2).
Basrief mengatakan bahwa pertemuan dirinya dengan seluruh kepala kejari tersebut akan membahas sejumlah prosedur terkait penerapan isi SE tersebut. ‘’Kita harus kaji SE-nya itu, bagaimana sebaiknya. Saya kira mungkin ada substansi atau redaksi yang kita perbaiki,’’ ujar Basrief.
Basrief menjelaskan bahwa SE tersebut dikeluarkan untuk mengedepankan pendekatan restorative justice dalam menangani berbagai kasus yang diterima kejaksaan, termasuk kasus korupsi. Restorative justice sendiri merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya.
Namun, menurut Basrief, pendekatan tersebut masih banyak disalahartikan oleh masyarakat, terutama saat memandang penyidikan terhadap kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya kecil. ‘’Restorative justice itu bukan untuk korupsi, tapi untuk semua tindak pidana termasuk tindak pidana umum,’’ ucapnya.
Kendati demikian, Basrif mengatakan bahwa seyogyanya, kasus korupsi yang kecil nilainya tidak perlu diteruskan. Basrief menekankan bahwa hal tersebut dapat dilakukan apabila tersangka telah mengembalikan kerugian negara secara penuh dan sukarela.
Selain itu, dia juga mempertimbangkan bahwa ongkos untuk melakukan penyelidikan kasus korupsi kecil jauh lebih mahal daripada jumlah kerugian negaranya.
Terkait hal tersebut, dia mencontohkan kasus korupsi yang terjadi di Provinsi Jambi setahun lalu yang hanya merugikan negara Rp300 ribu, namun ongkos penyelidikan hingga persidangannya mencapai Rp80 juta. ‘’Saya bicara apakah adil seperti itu dan bermanfaat atau tidak. Negara mengeluarkan ongkos Rp70 juta hingga Rp80 juta hanya untuk yang mengejar Rp300 ribu?’’ pungkasnya.
Dia juga menepis bahwa langkahnya tersebut dinilai tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. “Tapi prinsipnya korupsi harus diberantas dan saya mengharapkan bahwa pencegahan itu kita prioritaskan,” tuturnya.
Dia menambahkan, menurutnya penghentian penyidikan terhadap kasus korupsi yang nilainya kecil tidak memerlukan payung hukum baru. ‘’Anda bicara kepastian hukum, tujuan hukum itu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan,’’ tegasnya.(dod/ksm)