KORUPSI MENGGURITA HINGGA KE PELOSOK DESA

Dari 597 Tersangka Korupsi, 283 Orang Berstatus Pegawai Pemda

Hukum | Senin, 08 Oktober 2012 - 22:32 WIB

Dari 597 Tersangka Korupsi, 283 Orang Berstatus Pegawai Pemda
ilustrasi ist/int

Riau Pos Online - Korupsi mengakar dari pusat sampai ke daerah bukanlah isapan jempol belaka. Banyak pejabatnya yang menjadi tersangka akibat dituduh melakukan praktik tercela ini, mulai dari Lurah sampai Bupati/Walikota. Sungguh mengerikan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sampai Juli lalu, lembaga penegak hukum telah menetapkan 597 tersangka korupsi. Sebanyak 283 orang di antaranya berstatus pegawai pemerintah daerah. (Lengkapnya lihat tabel)

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

“Aktor dari kalangan pegawai pemda yang terjerat ini termasuk dalam kategori pegawai rendahan. Jika digabung dengan kepala dinas sampai kepala daerah maka jumlah akan lebih besar,” kata anggota Tim Divisi Investigasi ICW Lais Abid, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Lais menjelaskan, data itu merupakan hasil rekapitulasi dari tindak pidana korupsi yang di­tangani Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri dan Kejaksaan di seluruh Indonesia sepanjang se­mester pertama 2012. Jumlahnya mencapai 285 kasus dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 1,22 triliun.

Menurutnya, korupsi di daerah terjadi secara konvensional seperti di proyek pengadaan barang dan jasa, mark up dan penggelapan dana APBD. Bentuk korupsi ini juga melibatkan kalangan swasta yang menjadi rekanan proyek-proyek APBN/APBD yang jumlahnya mencapai 122 orang.

ICW juga mengungkapkan, pada semester pertama tahun ini kasus korupsi tertinggi banyak terjadi di sektor infrastruktur sebanyak 87 kasus. Disusul kasus korupsi di sektor anggaran dae­rah sebanyak 50 kasus, sektor pendidikan 29 kasus, dan sektor sosial kemasyarakatan atau kea­gamaan 21 kasus.

Kasus korupsi di pertanian 12 kasus, perdagangan perindustrian 10 kasus, bea cukai, pertamba­ngan dan pertanahan 9 kasus, dan kasus kesehatan 7 kasus. “Kasus korupsi di sektor infrastruktur tahun 2012 ini mendominasi seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujar anggota tim Divisi Investigasi ICW, Agus Sunaryanto.

Komisi Pemberantasan Korupsi membenarkan praktik korupsi banyak terjadi di daerah. Maka­nya mulai tahun ini KPK menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi proses anggaran, pelayanan publik, dan proses tender. “Kami melakukan pen­dekatan namanya korsup (koordinasi dan supervisi) pencegahan dengan bekerja sama dengan BPKP di 33 provinsi,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Bambang berharap dari sistem pencegahan yang dikembangkan bersama BPKP, dapat dipetakan kerawanan korupsi di daerah-daerah. Dia berharap dalam waktu dekat upaya pemberantasan korupsi baik di level nasional maupun daerah bisa lebih sistemik. “Ke depan supaya pemberantasan korupsi ini bisa sistemik. Penindakan dan pencegahan juga akan kami integrasikan,” ujarnya.

Dalam pandangan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ada sejumlah faktor yang menyebab­kan praktik korupsi mewabah sampai ke pelosok-pelosok daerah. Tapi yang paling utama ada­lah sistem politik yang transaksional yang berimbas pada mahalnya ongkos menjadi kepala daerah. “Biaya pilkada itu mahal sekali, maka bisa menghabiskan sekian puluh miliar rupiah hingga ratusan miliar rupiah,” katanya.

Sedangkan gaji kepala daerah kecil, tidak cukup untuk membayar keseluruhan biaya pilkada tersebut sehingga muncul pendapat untuk melakukan korupsi. “Selain itu, adanya mentalitas ingin memperkaya diri, dan ketidaktahuan atas aturan,” ucapnya.

Perlu Ada Upaya Luar Biasa

Korupsi di daerah sudah sangat kronis. Perlu ada upaya-upaya luar biasa untuk memberan­tasnya supaya tidak ada lagi kepala daerah memakan uang rakyat. Salah satunya adalah de­ngan mencari kepala daerah melalui pilkada yang baik.

Biaya pemilihan kepala daerah saat ini sangat mahal. Otomatis, kepala daerah akan mencari cara untuk mengembalikan hartanya yang terpakai saat pemilihan. Untuk membuat pilkada yang ramah di kantong para calon, para calon kepala daerah itu perlu melakukan debat terbu­ka. Dengan begitu kelihatan visi misinya. Dalam debat juga ketahuan tingkat kecerdasan calon kepala daerah.

Selain itu, korupsi kepala daerah juga disebabkan gaji yang sangat minim. Saat ini, gubernur hanya bergaji Rp 6 sampai 8 juta. Gaji ini tidak signifikan.

Gaji minim dengan kewenangan yang dimiliki kepala daerah membuka peluang korupsi semakin besar.

Melihat kondisi itu Komisi II DPR berusaha untuk menggodok aturan bagaimana supaya me­­minimalisir kepala daerah yang korup lolos dalam pilkada. Aturan ini juga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan yang cukup bagi kepala daerah agar tidak mencuri uang rakyat untuk kepentingannya sendiri.

Dampak Kewenangan Daerah Berlebihan

Pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah yang berlebihan dan tidak dibarengi pengawasan yang kuat membawa dampak meningkatnya korupsi di daerah sampai ke tingkat kelurahan.

Untuk mengatasinya perlu pembenahan ekstra keras terutama sistem pranata hukum. Pe­­merintah harus menyusun grand design pembangunan nasional melihat jauh ke depan. Tapi bukan sistem hukum dan kebijakan desentralisasi yang hanya menebalkan kantong pribadi pejabat dalam lima tahun berkuasa.

Pemerintah perlu cermat, bekerja lebih keras. Pemerintah pusat perlu menata ulang pe­limpahan kewenangannya agar pemerintah tidak kehilangan legitimasi di daerah.(rmol/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook