KPK VS POLRI

Presiden Jangan Diam!

Hukum | Minggu, 07 Oktober 2012 - 07:49 WIB

JAKARTA (RP) - Konflik antara KPK dan Polri yang makin runcing menimbulkan desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera turun tangan. ’’Sebagai pemimpin yang membawahkan semua institusi, presiden sebaiknya segera mengambil tindakan. Bukan malah membiarkan atau mendiamkan saja. Karena pemberantasan korupsi oleh KPK sudah menjadi komitmen awal, presiden seharusnya juga menegur Kapolri,’’ kata KH Hasyim Muzadi di Kantor PW NU Jateng di Semarang, Sabtu (6/10).

Menurut dia, terjadinya konflik antara KPK dan Polri merupakan bentuk belum adanya semangat bersama di tubuh pemerintah dalam memberantas korupsi. Adanya wacana revisi Undang-Undang KPK yang melemahkan peran lembaga itu, menurut Hasyim, juga bukti tidak adanya dukungan dari penyelenggara negara.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Padahal, pemberantasan korupsi di negara mana pun baru bisa berhasil kalau seluruh komponen negara bersatu. ’’Ini namanya pelemahan atau membunuh KPK secara perlahan. Satu sisi KPK diberi tugas untuk memberantas, tapi di sisi lain dibatasi tugas pokoknya. Masak menuntut koruptor tidak boleh, lalu apa fungsi dan peran KPK,’’ sebutnya.

Guru besar hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera menengahi konflik antara KPK dan Polri. Menurut dia, jangan sampai ketidakhadiran presiden diartikan masyarakat sebagai dukungan terhadap kekuatan anti pemberantasan korupsi.

Hikmahanto mengungkapkan, konflik yang terjadi saat ini sejatinya bukan antara KPK dan Polri, tapi antara pihak-pihak pro pemberantasan korupsi dan anti pemberantasan korupsi. Terbukti, serangan bertubi-tubi dan bersamaan datangnya menyerang KPK. ’’Publik sudah tahu bahwa ada kekuatan untuk melemahkan KPK,’’ katanya.

Karena itu, dia meminta SBY turun langsung menengahi persoalan tersebut. Dia merasa khawatir absennya SBY dari kegelisahan di masyarakat menjadi pembenaran bahwa presiden mendukung pihak-pihak yang anti pemberantasan korupsi. Hikmahanto saat ini sudah memosisikan diri bakal lebih kritis terhadap pemerintah. Dia menyatakan bakal menolak jika SBY menawari masuk menjadi tim verifikasi seperti ketika dirinya menjadi anggota tim delapan dalam kasus kriminalisasi Bibit-Chandra dulu.

Hikmahanto mengungkapkan, apa yang dilakukan Polri dengan menyerbu ke KPK dan mengepung kediaman Novel Baswedan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, merupakan insiden memalukan. ’’Presiden harus mengambil langkah sebelum muncul kemarahan publik,’’ katanya.

Hal senada diungkapkan Koordinator Kontras Haris Azhar. Dia menegaskan bahwa upaya menangkap paksa Novel Baswedan jelas-jelas strategi pelemahan KPK. Jika memang sejak dulu bermasalah, mengapa dia tetap mendapat promosi hingga menjadi perwira menengah berpangkat kompol.

Haris mengatakan, bersama sejumlah aktivis lainnya, dirinya akan menjadi tim advokasi KPK. Dia bakal melakukan upaya maksimal untuk menghindarkan Novel dari penangkapan polisi. ”Kami tahu Novel bersih dari persoalan pembunuhan tersebut. Karena itu, kami tidak akan membiarkan kriminalisasi ini bisa merenggut dia dan melemahkan KPK,” tandasnya.

Terpisah, Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Adi Warman menuding kedua instansi, yakni KPK dan Mabes Polri, sama-sama kecolongan. Kalau memang bermasalah, aneh jika sampai Mabes Polri merekomendasikan Novel sebagai penyidik. ”KPK juga begitu, kenapa penyidik bermasalah bisa diterima,” ujarnya.

Adi merasa aneh dengan pengaturan administrasi kedua lembaga itu yang tidak memiliki rekam jejak yang valid. Kalau sudah begitu, patut dicurigai siapa lawan dan kawan. Sebab, konflik yang terjadi antara dua lembaga negara itu, menurut dia, kelewatan dan memalukan.

Adi juga meminta ketua KPK puasa ngomong di media. Dia berharap agar Abraham Samad cs fokus bekerja dan membuktikan kinerja. ”Pimpinan harusnya sadar, ini gurita koruptor. Bukan lagi tikus,” ungkapnya.

Anggota Komisi III DPR dari PDIP Eva Kusuma Sundari merasa prihatin, berlarut-larutnya konflik antara Polri dan KPK dalam kasus SIM telah disikapi dengan membangun jebakan permainan kekuasaan dan hukum oleh lembaga penegak hukum sendiri.

”Akal sehat rakyat akan membenarkan bahwa penegak hukum sedang asyik bermain-main dengan hukum. Bahkan, sampai mengkriminalisasi anak buah sendiri dengan menggunakan data delapan tahun lalu yang dihidupkan kembali,” ujar Eva. Di sisi lain, dia mengkritik KPK yang terkesan memaksimalkan panggung dan dukungan publik sebagai pihak yang teraniaya.

Eva berharap agar permainan hukum dan ”adu jotos” antaraparat penegak hukum segera dihentikan presiden sebagai komandan dan pemegang mandat reformasi. ”Presiden yang punya kekuasaan, harus digunakan untuk memastikan penegak hukum tidak mengorup arah dan tujuan reformasi,” tegas Eva.

Sementara itu, Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan, presiden akan menyampaikan statement soal kasus itu pada Senin besok. Presiden, kata Eva, harus menunggu pertemuan antara Kapolri dan pimpinan KPK yang direncanakan hari ini. ”Statement presiden terkait dengan polemik KPK dan Polri Senin setelah Kapolri bertemu pimpinan KPK,” ujar Menko Polhukam Djoko Suyanto. Presiden meminta Menko Polhukam menjembatani pertemuan tersebut.

Kemarin sore SBY meminta laporan lengkap mengenai permasalahan KPK-Polri. Salah satunya dari Wamenkum HAM Denny Indrayana. ”Saya dipanggil presiden pukul 17.00 tadi, bicara 45 menit, dan diminta memberikan masukan,” ujar Denny dalam keterangan tertulisnya.

Denny mengatakan, dalam pertemuan tersebut, presiden meminta laporan lengkap. ”Saya sampaikan bahwa kejadian semalam adalah rangkaian dari banyak kejadian, termasuk penanganan kasus korupsi simulator SIM,” terangnya.

Selain itu, Denny menyampaikan kepada presiden bahwa seluruh rangkaian polemik tersebut berbaur dengan isu pelemahan KPK. Yakni, isu wacana perubahan UU KPK, penarikan penyidik KPK dari unsur kepolisian, dan penangkapan Novel Baswedan.

Sebelumnya, saat ditemui di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) kemarin, Djoko Suyanto mengatakan sudah meminta Polri dan KPK duduk bersama guna membicarakan masalah tersebut. ”Semua sudah mengerti tugas-tugasnya. Fungsi koordinatif itu juga ada dalam MoU mereka,” jelasnya.

Mantan panglima TNI itu menegaskan, agenda pemberantasan korupsi tetap harus berjalan. Institusi penegak hukum, yakni Polri, kejaksaan, dan KPK, justru harus diperkuat. ”Kita harus selamatkan tiga-tiganya, ditambah pengadilan, karena ujung-ujungnya di pengadilan,” kata Djoko. (jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook