JAKARTA (RP) - Para wakil menteri (wamen) masih menjalankan aktifitas seperti biasa, Rabu (6/6).
Padahal sehari sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan dasar hukum proses pengangkatan Wamen inkonstitusional sehingga nasib 20 pembantu menteri ini menggantung dan masih terjadi multitafsir.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat, bahwa terhitung keluarnya putusan MK, jabatan 20 Wamen itu sudah tidak ada lagi hingga dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) yang baru.
Di sisi lain, kalangan Istana Kepresidenan mempunyai penafsiran lain. Melalui Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha menyebutkan, amar putusan MK itu tidak ada menyebutkan status Wamen yang sedang menjalankan tugas adalah inkonstitusional.
‘’Sembari menunggu Keppres yang baru, para Wamen tetap menjalankan tugas seperti biasa,’’ ujar Aldrian.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga mengambil sikap yang sama, putusan itu tak serta merta langsung meniadakan jabatan Wamen. Denny mengaku masih tetap bekerja seperti biasa.
‘’Saya tetap bekerja. Sekarang sedang di Palembang kunjungan kerja,’’ kata Denny Indrayana melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Rabu (6/6).
‘’Kami para wakil menteri tetap ngantor seperti biasa, sesuai putusan MK yang menguatkan konstitusionalitas Wamen dan menegaskan pengangkatan Wamen adalah hak prerogatif Presiden,’’ sambung Denny.
Denny menegaskan bahwa Keppres tentang pengangkatan Wakil Menteri masih tetap berlaku. Sebab dari hasil konfirmasinya kepada Ketua MK Mahfud MD yang juga memimpin jalannya persidangan kemarin, Keppres itu hanya batal dari sisi hukum administrasi negara saja.
‘’Keppres itu tidak berlaku dengan dua hal, pertama dicabut oleh Presiden atau kedua, dibatalkan PTUN. Jadi kami masih bekerja saja,’’ ujar Guru Besar Hukum UGM itu.
Kembali ke Julian, ia menjelaskan, putusan MK yang menyebut proses pengangkatan Wamen inkonstitusional, bukan merupakan persoalan kalah menang. Sebab, justru mengembalikan kewenangan penuh kepada Presiden.
‘’Bukan (persoalan, red) kalah atau menang, tapi bagaimana menciptakan sistem presidensil yang lebih baik,’’ kata doktor ilmu politik lulusan Hosei University, Tokyo di Bina Graha, kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (6/6).
Salinan lengkap putusan MK atas uji materi UU Kementerian Negara, kata Julian, sudah diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat ini, putusan tersebut tengah ditelaah, terutama berkaitan dengan bagian-bagian yang perlu diperbarui dalam Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan Wamen. Misalnya penjelasan pasal 10 UU Kementerian Negara yang inkonstitusional.
Nantinya, Presiden juga akan memperhatikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 47/2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara yang telah diperbarui menjadi Perpres Nomor: 76/2011. ‘’Karena ini juga terkait dengan Peraturan Presiden itu,’’ kata Julian.
Pasal 70 (1) dalam Perpres 76/2011 itu disebutkan, Wakil Menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Kemudian dalam Pasal 70 (2), Wakil Menteri merupakan pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.
Sembari menunggu Keppres yang baru, kata Julian, para Wamen tetap menjalankan tugas seperti biasa. ‘’Yang menjadi penekanan poin putusan MK adalah pencabutan pasal 10 UU Kementerian Negara. Itu yang diperhatikan,’’ tegasnya.
Bagaimana dengan pengambilan keputusan seorang Wamen? Julian tidak menjawab tegas. Ia hanya mengatakan, nomenklatur Wamen tidak berubah. Artinya tetap membantu dan bertanggung jawab kepada menteri. ‘’Semua sudah jelas,’’ singkatnya.
Segera Terbitkan Keppres
Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor: 39/2008 tentang Kementerian Negara memberi peluang lebih besar kepada partai politik untuk terlibat dalam pemerintahan.
Sebab, posisi wakil menteri (Wamen) tidak lagi hanya bisa diisi oleh pejabat karir.
Putusan MK yang telah diketok tersebut memberikan keleluasaan kepada Presiden untuk mengangkat seseorang menjadi Wamen.
‘’Sebagai konsekuensi dari (putusan, red) MK, maka tidak dibatasi dari pejabat karir. Jadi bisa saja dari profesional, partisan atau nonpartisan,’’ kata Julian.
Hal itu mengacu pada bunyi penjelasan pasal 10: Yang dimaksud dengan ‘’Wakil Menteri’’ adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet, yang dibatalkan MK. Alasannya, penjelasan tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 17 dan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945.
Meski begitu, Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam sebelumnya menegaskan, penunjukan Wamen yang membantu tugas-tugas menteri tetap mempertimbangkan kapabilitas calon.
‘’Seandainya ada Wamen dari Parpol, pasti dipilih bukan karena parpolnya, pasti dari profesionalitas calon Wamen tersebut,’’ katanya.
Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan, kalau istana memang harus menerbitkan Keppres baru. Jika tidak, dia menyebut seluruh wakil menteri tidak memiliki kewenangan apapun paska diucapkannya amar putusan MK.
‘’Secara formil, Wamen memang masih ada sepanjang Presiden belum mencabut Keppresnya,’’ ujarnya.
Namun, dia menggarisbawahi masih digunakannya Keppres lama, secara materiil membuat para Wamen tidak bisa melakukan kegiatan apapun atas nama kementerian.
Dia mengibaratkan kalau manusia, jasadnya ada tetapi tidak memiliki roh lagi. Kalau 20 Wamen tetap nekat, keputusan yang dikeluarkan bakal mudah digugat di PTUN.
Ia lantas mencontohkan kasus legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung 2010 lalu. Saat itu, Yusril berhasil mempecundangi Keputusan Presiden yang membiarkan Hendarman sebagai Jaksa Agung. Nah, menurut Yusril, posisi para Wamen saat ini kurang lebih sama dengan Hendarman saat itu.
Itulah kenapa, Yusril menyebut Wamen bisa memunculkan polemik baru kalau tetap bertugas. Begitu juga dengan Presiden kalau lambat merevisi Keppres dan mengangkat lagi para Wamen. ‘’Kalau bikin keputusan, bisa mudah digagalkan di PTUN,’’ tuturnya.
Yusril Ihza Mahendra menambahkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan sejumlah konsekuensi bagi posisi wakil menteri saat ini.
Salah satunya, secara materiil, keberadaan wakil menteri (Wamen) kini sudah tidak ada lagi, atau bahwa mereka tidak boleh melakukan kegiatan dan tindakan apa pun atas nama jabatan tersebut.
Menurutnya, Keppres nanti harus menegaskan kalau Wamen adalah anggota kabinet dan bukan pejabat karir. Jelas, karena pejabat karir bertentangan dengan susunan organisasi kementerian sebagaimana diatur Pasal 9 UU Kementerian Negara.
‘’Terserah presiden apakah mau mengangkat Wamen yang sama, kalau iya, harus dilakukan dengan Keppres baru,’’ tuturnya.
Namun, sebagai mantan orang dalam Istana Yusril menyarankan Presiden agar tidak lagi mengangkat Wamen.
Meski MK menyatakan boleh, ia menilai menteri yang berkualitas, menguasai bidang, paham birokrasi, dan tegas dinilai lebih efektif. Kalau ada Wamen, Yusril justru menyebut menanam benih konflik internal.
Dikatakan juga kalau orang-orang yang selama ini diangkat Presiden tidak paham betul tugasnya. Jadinya, mau satu menteri ditambah lima Wamen pun tak akan mengubah keadaan. Apalagi, kalau nanti diangkat dan posisinya setara dengan menteri karena sama-sama masuk kabinet.
Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso menilai keputusan MK terkait status Wamen ibarat dua mata bola. Di satu sisi, MK mengingatkan penunjukan Wamen berekses pada pemborosan, namun di sisi lain MK memberikan hak prerogatif Presiden untuk mengangkat Wamen tanpa jalur karir.
‘’Itu artinya (anggaran) akan membengkak, putusan MK sebenarnya tidak jelas,’’ kata Priyo usai memimpin rapat tim pengawas kasus Bank Century di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (6/6).
Priyo menilai, boleh atau tidaknya jabatan MK menjadi tidak jelas. Semua keputusan itu nantinya akan kembali kepada Presiden. Jika jabatan Wamen muncul, maka nantinya fasilitas yang diberikan negara kepada mereka harus setara dengan menteri.
Ini karena, MK telah menghapus syarat-syarat yang mewajibkan seorang Wamen adalah pejabat karir. ‘’Baiknya Presiden menyisir kembali mana yang efektif,’’ kata Priyo.
Hal yang tidak kalah penting, lanjut Priyo, adalah mengantisipasi adanya menara kembar di kabinet. Menurut Priyo, dengan putusan itu, jangan sampai ada perbedaan kemana seharusnya sekretariat jenderal sebuah kementrian harus mematuhi perintah.
‘’Implikasi (Wamen) sekarang masuk kabinet, berpulang kepada Presiden,’’ tegasnya.
Mantan Ketua Pansus RUU Kementerian Negara Agun Gunanjar Sudarsa mengatakan, keputusan MK tak menghapus keberadaan wakil menteri. Hadirnya para Wamen itu tetap sah dalam sistem pemerintahan nasional.
‘’Tapi, Wamen-wamen yang sudah diangkat itu harus diperbaharui dan disempurnakan dasar hukumnya,’’ kata Agun di gedung DPR, kemarin. ‘’Yang sekarang ini dianggap batal, karena bertentangan dengan pasal 10,’’ imbuh wakil ketua Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, itu.
Perpres baru yang melandasi pengangkatan Wamen, lanjut Agun, harus merujuk putusan Mahkamah Konstitusi. Satu yang terpenting, para Wamen bertanggungjawab kepada menteri, bukan Presiden.
‘’Setelah itu, silakan mengangkat kembali wakil menteri yang memenuhi pasal 10 itu,’’ tegas Agun.
Tak kalah penting, menurut Agun, pemerintah harus memiliki job analisis untuk menjadi dasar pengangkatan Wamen. ‘’Misalnya, karena beban kerja kementerian tertentu bertambah karena ada program atau masalah A, sehingga perlu mengangkat Wamen untuk mengerjakannya,’’ kata Agun.
Ia lantas menyampaikan dengan adanya keputusan MK itu, posisi Wamen akhirnya terbuka bagi siapa saja. Baik kalangan internal di kementerian terkait, ataupun dari kalangan profesional.
Meski begitu, Agun menyarankan dalam penunjukan seorang PNS menjadi Wamen tetap harus diperhatikan etika pemerintahan.
Terkesan kurang ‘baik’ kalau PNS yang pangkatnya lebih rendah memimpin Dirjen yang pangkatnya lebih tinggi. ‘’Ini preseden tidak baik. Kecuali yang bersangkutan mau berhenti dari PNS,’’ tegasnya.(fal/dim/ila)