JAKARTA (RP) - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti membeberkan berbagai permasalahan dalam buku Kurikulum 2013 yang dibagikan pemerintah di sekolah yang menjalankan kurikulum tersebut.
Ditegaskannya, dari hasil diskusi terbatas praktisi, guru dan pengamat pendidikan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang berlangsung tertutup kemarin, ada beberapa yang jadi sorotan, salah satunya terjadi salah kaprah pemaknaan seni budaya oleh penyusun buku kurikulum 2013.
"Kemudian ternyata bukan hanya buku Seni dan Budaya kelas VII (SMP saja yang bermasalah, buku bahasa Indonesia kelas VII (SMP) juga sama, yaitu memuat cerpen 'Gerhana' karya Muhamad Ali yang tak cocok dijadikan bahan ajar siswa SMP," kata Retno kepada JPNN, Jumat (6/9) pagi.
Terkait buku seni budaya yang dikupas oleh Dekan Fakultas Ilmu Bahasa UI, Prof. Bambang di hadapan Wantimpres bidang pendidikan dan kebudayaan, Meutia Hatta. Ditegaskan Retno, Prof Bambang menyatakan terjadi penyempitan makna budaya di buku pelajaran Bahasa Indonesia
Bahkan isi buku tersebut lebih tepat sebagai buku pelajaran kesenian. Karena makna budaya lebih direduksi pada kesenian. Padahal budaya menyangkut aspek yang sangat luas, tidak hanya budaya materiak, atau kesenian tapu juga mencakup nilai-nilai (values).
"Jadi penyusun buku hanya memaknai budayaa sebagai seni dan tari-tarianan, budaya sebatas pengetahuan bukan perilaku. Jadi sangat bahaya jika kemudian kebudayaan hanya diartikan sebagai kesenian, atau penekanannya pada kesenian," ujar Retno.
Nah, terkait cerpen Gerhana dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas VII SMP, menurut Retno sangat tidak cocok digunakan sebagai bahan ajar kelas VII bahkan juga kelas XII (SMA) karena berisi kata cacian dan makian. Bukan cerpennya yang salah tetapi penulis buku yang tidak tepat memilih bahan bacaan.
"Cerpen sebagai bahan bacaan harus dipilih berdasarkan relasi antara cerita dengan pembacanya, faktor usia tentu juga harus menjadi pertimbangan," ulasnya.
Selain kata kata-kata makian seperti bajingan, bangsat, dan kurang ajar, tetapi masih banyak kata kasar lainnya, seperti "Beberapa buah pepaya yang sudah ranum dilihatnya tertimpa batangnya yang gemuk itu hingga lumat berlepotan serupa tempurung kepala bayi-bayi yang remuk ditimpa penggada raksasa".
Kemudian "Getahnya yang meleleh menetes-netes, di matanya persis darah segar kental, mengingatkannya pada cerita-cerita penyembelihan yang mengerikan. Serta, “Tengok,” kata Sali, “Tengoklah ini ada bekas bacokan.” Lalu dirabanya bagian itu. “Jadi telah dibacok dengan parang".
"Kata-kata yang muncul dalam cerpen tersebut tidaklah pantas menjadi bacaan siswa kelas VII, kalau Kemendikbud berkilah bahwa anak-anak juga harus diajarkan karakter buruk sebagai contoh ada dalam kehidupan sehari-hari maka alasan ini sangat tak mendasar," pungkasnya.(Fat/jpnn)