96.731 Transaksi Keuangan Mencurigakan

Hukum | Senin, 06 Agustus 2012 - 10:16 WIB

JAKARTA (RP) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kecewa hingga kini usulan pembatasan transaksi keuangan tunai tidak juga direspon otoritas Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Padahal, PPATK menduga koruptor dan pelaku tindak pidana pencucian uang mengalihkan modusnya dengan transaksi tunai.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kepada JPNN, Wakil Kepala PPATK Agus Santoso mengatakan kalau kasus tangkap tangan KPK selama ini kerap menunjukkan kalau pelaku menggunakan modus transaksi tunai. Nah, Kecenderungan pergeseran modus itulah yang perlu diantisipasi.

‘’Itulah pentingnya pembatasan transaksi tunai, supaya mudah diawasi,” ujarnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, perubahan pola itu bukan isapan jempol karena didasarkan pada statistik Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT).

Dia menjelasklan kalau shifting modus ke transaksi tunai terlihat jelas. Buktinya, LTKT meningkat hingga 11 juta lebih laporan.

Disamping itu, rekening mencurigakan yang masuk ke PPATK makin juga makin banyak saja. Contohnya pada semester pertama tahun ini, laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) mencapai 12.585 berkas.

Sejak 2008 sendiri jumlah laporan yang masuk menembus angka 96.731 laporan transaksi.

Nah, agar peluang terjadinya korupsi makin tertutup, Agus berharap agar otoritas berwenang bisa segera mengambil kebijakan. Jika tidak, transaksi tunai yang terjadi di masyarakat bakal makin menggila dan tak terkontrol.

‘’Transaksi tunai diatas Rp 100 juta per transaksi tidak make sense,” kata Agus.

Oleh sebab itu, dia mengimbau agar BI mau mengeluarkan Peraturan BI (PBI) yang mengatur tentang hal itu.

Supaya bank-bank mau memberlakukan pembatasan transaksi tunai, termasuk untuk setoran tunai maupun pengambilan uang nasabah. Tapi, entah kenapa pihak otoritas tak merespon.

Meski demikian, Agus mengatakan kalau pembatasan itu tidak perlu sampai dibuatkan undang-undang terlebih dahulu. Apalagi, kalau sampai diberi ancaman pidana segala.(dim/izl)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook