Harga Elpiji Ditinjau Ulang

Hukum | Senin, 06 Januari 2014 - 09:39 WIB

JAKARTA (RP) - Pemerintah akhirnya resmi mendorong Pertamina melakukan peninjauan kembali kebijakan menaikkan harga elpiji 12 kilogram.

Hasil rapat kabinet terbatas yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin juga

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

memberikan deadline 1x24 jam untuk melaksanakan peninjauan kembali tersebut.

‘’Saya minta Pertamina bersama menteri terkait yang diamanahkan oleh UU untuk melaksanakan peninjauan kembali itu selama 1 hari, (atau) 1x24 jam,’’ kata Presiden SBY usai rapat kabinet terbatas di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta, Ahad (5/1).

Rapat tersebut berlangsung sekitar 3 jam. Dimulai dari sekitar 12.30 WIB, rapat baru tuntas sekitar 15.30 WIB. Didampingi Wakil Presiden Boediono, rapat yang dipimpin presiden itu juga diikuti di antaranya Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri Keuangan Chatib Bisri.

Turut hadir pula Dirut Pertamina Karen Agustiawan.

Presiden yang baru saja sampai di Jakarta usai kunjungan kerja ke Jawa Timur itu lalu menambahkan kalau pihaknya juga berencana akan mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan rapat konsultasi.

Pimpinan Pertamina direncanakan akan diikutsertakan kembali dalam rapat tersebut.

Menurut dia, langkah tersebut merasa perlu ditempuh agar solusi dan tindakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan permasalahan harga elpiji biru nantinya, tetap sesuai dengan hasil audit dan rekomendasi BPK.

‘’Jadi, harapan saya konsultasi rampung dilaksanakan besok pagi Senin 6 Januari 2014 (hari ini, red),’’ kata SBY.

Di awal penyampaian hasil rapat, SBY juga menyinggung tentang alasan dan tujuan kebijakan menaikkan harga elpiji 12 kg oleh Pertamina. Bahwa yang utama adalah karena didorong hasil pemerikasaan BPK.

Dalam audit BPK, papar SBY, BPK menemukan kerugian di Pertamina sebesar Rp7,7 triliun. Kerugian tersebut didapat utamanya berasal dari harga yang terlalu rendah dari elpiji 12 Kg.

Padahal, elpiji golongan tersebut tidak termasuk yang mendapatkan subsidi. Atau, berbeda dengan elpiji golongan 3 Kg.   

SBY melanjutkan, bahwa bedasar hasil pemeriksaan tersebut, BPK merekomendasikan dilakukannya kenaikan harga elpiji 12 Kg. Dengan tujuan, mengatasi atau paling tidak mengurangi kerugian Pertamina.

Namun di sisi lain, imbuh SBY, meski menghargai kewenangan Pertamina sebagai corporate tentang harga elpiji, pemerintah tetap tidak bisa tinggal diam.

Pemerintah tentu memiliki kewajiban meninjau secara utuh dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari akibat kebijakan kenaikan harga tersebut kepada masyarakat.

‘’Oleh karena itu, sebagai pemegang saham Pertamina, pemerintah mendorong agar Pertamina melakukan peninjauan kembali atas kenaikan harga tersebut,’’ katanya.

Didasarkan atas dua hal -rekomendasi hasil pemeriksaan BPK dan kondisi sosial ekonomi masyarakat- tersebut, SBY lalu menegaskan bahwa Pertamina dan negara tidak terus-menerus dirugikan, apalagi dalam jumlah besar sebagaimana temuan BPK.

Namun di lain pihak, ujar Presiden, penyesuaian atau kenaikan harga haruslah dengan tetap mempertimbangkan kemampuan dan daya beli masyarakat.

‘’Itulah prinsip yang pemerintah pilih saudara-saudara dalam kebijakan elpiji 12 kilogram ini,’’ kata SBY.

Kebijakan Pertamina menaikkan harga elpiji biru itu sempat memunculkan silang sengkarut. Pasalnya, antara Pertamina dan sejumlah menteri terkait berbeda pernyataan terkait koordinasi antara perusahaan plat merah tersebut dengan pemerintah sebelum memutuskan menaikkan harga elpiji.

Hingga sesaat sebelum rapat kabinet terbatas kemarin, Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir tetap menyatakan kalau pihaknya sudah berkoordinasi dengan pemerintah terkait rencana menaikkan harga elpiji. ‘’Pastilah, semua pasti dikoordinasikan.

Semuanya sudah dilakukan sesuai prosedur dan sudah dikomunikasikan (dengan pemerintah, red),’’ kata Ali Mundakir di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta.

Di Pasal 25 Peraturan Menteri ESDM Nomor: 26/2009 mengatur tentang harga jual elpiji. Di ayat 1 pasal tersebut disebutkan bahwa harga jual elpiji untuk pengguna elpiji umum ditetapkan oleh badan usaha dengan berpedoman pada harga patokan, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian.

Sedang di ayat berikutnya tegas dinyatakan kalau penetapan harga jual elpiji sebagaimana dimaksud ayat sebelumnya wajib dilaporkan pada menteri.

Namun, saat dikonfirmasi terkait hal tersebut, Menteri ESDM Jero Wacik mengelak bahwa dirinya telah diberi tahu soal rencana Pertamina menaikkan harga elpiji. Artinya, saat Pertamina menaikkan harga elpiji, Jero mengaku belum mengetahuinya.

‘’Saya baru terima suratnya tadi,’’ ungkap Jero juga sesaat sebelum rapat terbatas kemarin.

Meski tidak menyebut secara gamblang, dia menyatakan kalau ada pihak pemerintah yang mengetahui hal tersebut. Hal itu mengingat posisi Pertamina yang merupakan perusahaan BUMN.

‘’Tapi, ini keputusan korporat, Pertamina ada (koordinasi, red) pemerintahannya juga,’’ katanya.

Menurut dia, Pertamina sempat mengusulkan agar ada kenaikan harga elpiji. Namun, pemerintah saat itu menolaknya. Ia menyatakan, kalau pihaknya menyadari bahwa keputusan menaikkan elpiji adalah tindakan yang bisa diambil Pertamina sebagai corporate.

Akan tetapi, dengan tetap mempertimbangkan faktor kesiapan masyarakat. ‘’Tahun lalu sudah ada pembahasan, rugi sekian. Tapi rugi yang ini, di sana untung. Sudah ada usulan menaikkan, tapi saya bilang jangan,’’ kata elite Partai Demokrat itu.

Hal senada juga disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Ia juga mengaku baru mengetahui rencana kebijakan itu pada 31 Desember 2013.

Sehari sebelum, kenaikan harga elpiji 12 Kg resmi diterapkan. Menurut dia, saat itu pihaknya sempat meminta agar menunda kenaikan tersebut.

‘’Tapi, mereka (Pertamina,red) bilang tidak bisa karena ini keputusan RUPS (rapat umum pemegang saham, red),’’ kata Hatta.

Ia kemudian justru mengatakan bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan lah yang mengetahui rencana menaikkan harga elpiji tersebut.

‘’Pertamina itu bersifat pemberitahuan (ke pemerintah, red). Pak Wacik (Jero Wacik) baru terima suratnya tanggal 2 Januari. Tapi itu (keputusan menaikkan Elpiji) kan melalui RUPS, artinya BUMN sudah tahu,’’ ujar Ketua Umum DPP PAN tersebut.

Dikonfirmasi usai rapat, Menteri BUMN Dahlan Iskan enggan menanggapi panjang lebar terkait sikap sejumlah menteri yang terkesan tidak tahu adanya kenaikan harga itu.

Ia berharap agar polemik tentang tahu atau tidaknya pemerintah secara umum atas kebijakan tersebut disudahi. ‘’Sudahlah, semua yang salah itu saya, enggak apa-apa, pokoknya semua saya yang salah,’’ kata Dahlan Iskan.

Menurut dia, pihaknya lebih berkonsentrasi untuk berkoordinasi dengan BPK terkait solusi terbaik untuk Pertamina dalam penentuan harga elpiji 12 kg.

Terutama, terkait dengan batas waktu 60 hari yang diberikan BPK untuk melaksanakan rekomendasi terkait temuan kerugian Pertamina.

‘’Yang lain-lain semua saya yang salah. Yang penting, bahwa Pertamina bisa memenuhi karena tidak bisa untuk tidak melaksanakan hasil audit dari BPK,’’ tegasnya.

Elpiji dan Skenario Politik

Sejumlah pihak melihat bahwa polemik kebijakan kenaikan harga elpiji 12 kilogram tak lepas dari kepentingan politik. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti salah satu yang menangkap kesan kuat adanya skenario politik di balik naiknya harga elpiji biru tersebut.

‘’Setidaknya terlihat kalau ada dua target sekaligus,’’ kata Ray di Jakarta, Ahad (5/1).  

Ia memparkan bahwa target pertama adalah menjadikan Menteri BUMN Dahlan Iskan sebagai sasaran tembak. Menurut dia, sebagai menteri yang menanungi BUMN termasuk Pertamina, nama yang bersangkutan dijadikan tercemar di mata masyarakat luas. ‘’Khususnya kelas menengah dan ikutannya,’’ ujarnya.

Lalu, mengapa Dahlan Iskan? Menurut dia, hal tersebut tentu tak lepas dari makin kokohnya nama DI sebagai pemuncak dalam berbagai survei kandidat capres Partai Demokrat hingga saat ini.

‘’Sementara nama yang digadang-gadang nampaknya tak jua menuai kesan positif di masyarakat,’’ imbuhnya.

Ray melanjutkan, bila nama DI berhasil dibuat buruk di masyarakat, maka akan ada kemungkinan nama-nama yang diinginkan terpilih dalam konvensi akan makin mudah dinominasikan.

‘’Kesan ini hampir terlihat gamblang, kalau kita semua cermat melihat,’’ tandasnya.

Target kedua, tambah dia, adalah menjadikan partai-partai koalisi sebagai pahlawan. Ia mensinyalir, kalau telah ada skenario sejak awal tentang upaya menjadikan partai-partai yang selama ini selalu membela pemerintah sebagai partai yang pro rakyat. ‘’Ya, kita tunggu saja skenario dan permainan-permainan berikutnya,’’ katanya.

Bukan hanya Partai Demokrat yang sudah sejak dua hari lalu tegas menyatakan menolak kebijakan tersebut. Partai Amanat Nasional (PAN) juga ikut-ikutan buka suara menolak kenaikan harga elpiji.

Wakil Ketua Umum PAN Drajad H Wibowo menyebut jika kenaikan elpiji bukan serta merta kebijakan langsung pemerintah, karena diputuskan secara korporasi melalui RUPS Pertamina.

‘’Kami atas nama DPP sudah meminta pemerintah membatalkan kenaikan elpiji,’’ ujar Drajad dalam keterangan pers di Restoran Pulau Dua, kemarin.

Meski kenaikan elpiji itu sudah tercantum dalam Perpres 105 dan 106, Drajad menilai bahwa para menteri terkait tidak mengetahui langkah untuk menaikkan elpiji.

Dalam hal ini, dirinya menyebut bahwa menteri ESDM dan menteri perekonomian sama sekali tidak tahu terkait hasil RUPS Pertamina.

‘’Justru, di lingkungan kabinet juga kaget dengan kenaikan BBM itu,’’ dalihnya.

Menurut Drajad, pengguna elpiji 12 kg selama ini memang didominasi masyarakat kelas menengah, dan menengah ke atas. Industri kecil juga memanfaatkan elpiji 12 kg untuk keperluan produksi.

Meski begitu, kenaikan yang drastis ini akan memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat miskin.

‘’Timing kenaikannya tidak tepat karena masyarakat baru pulih dengan kenaikan BBM,’’ ujarnya.

Senada PPP juga termasuk yang meminta penundaan. Sekjen PPP M Romahurmuziy mengatakan meski kenaikan harga LPG 12 Kg sebagai barang non subsidi adalah sepenuhnya kewenangan Pertamina sebagai korporasi, namun kebijakan kenaikan harga gas Elpiji 12 Kg akan berdampak pada migrasi besar-besaran ke LPG 3 Kg, bagi pengguna LPG 12 Kg yang merasa tidak mampu. Akibatnya LPG 3 Kg yang biasanya hanya digunakan masyarakat ekonomi lemah akan mengalami kenaikan.

‘’Kalau terjadi migrasi ini secara besar-besaran dan itu pasti akan terjadi kalau keputusan kenaikan Elpiji 3 Kg terus dilakukan maka itu akan menambah signifikan besaran subsidi gas dalam APBN,’’ ujar Romahurmuziy.

Dampak ini yang nampaknya tidak diperterimbangkan Pertamina. Padahal seharusnya ini harus dipertimbangkan Pertamina sebelum mengambil putusan soal harga 12kg, sehingga Pertamina tidak bisa bersikap seolah negara dalam negara hanya atas dasar formalitas diberikannya kewenangan soal itu oleh Peraturan Menteri.

‘’Terlebih kenaikan signifikan dan mendadak yang mengejutkan banyak pihak termasuk Presiden SBY,’’ tegasnya.

Pertamina nampaknya menurut Romi sapaan akrabnya- juga tidak mempertimbangkan kenaikan harga gas 3 Kg sebagai dampak ikutan dari dimulainya migrasi pengguna gas 12 Kg ke 3 Kg yang membuat gas 3 Kg menjadi langka dan naik harganya.

‘’Bahkan di Indramayu sekarang LPG 3 Kg sudah Rp25rb/tabung dari Rp17rb/tabung, langka pula barangnya. Untuk itu PPP meminta penundaan kenaikan harga LPG 12 Kg sampai dengan adanya perhitungan dampak migrasi ke 3 Kg,’’ tegasnya.

Meski demikian, Romi juga melihat keanehan ketika Menteri ESDM, Jero Wacik menyatakan ketidaktahuan atas langkah strategis korporasi, mengingat dirjen-dirjennya menjabat komisaris di Pertamina.

Demikian pula menteri BUMN yang dalam RUPS-nya telah mengesahkan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2014, pastilah di dalamnya sudah termuat pendapatan dari bisnis LPG.

‘’Kalaupun Pertamina berlindung pada unsur kerugian negara adalah tidak tepat karena Pertamina 5 tahun terakhir membukukan keuntungan sebagai korporasi. Bahkan Pertamina mencatatkan laba bersih terbesar dalam sejarah pada 2012 sebesar Rp25,89 triliun. BUMN itu bukan hanya mencari untung, tapi dia ada fungsi pelayanan hajat orang banyak. Jangan membandingkannya an sich dengan swasta murni dong,’’ tegasnya.

Sementara itu, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya harga BBM tidak lagi menjadi kewenangan pelaku usaha termasuk Pertamina.

Pola persaingan dan penetapan harga elpiji sebagaimana bahan bakar minyak dan gas lainnya tunduk pada UU Nomor: 2/2001 tentang minyak dan gas bumi (UU Migas), sebagaimana diubah dengan Putusan MK Nomor: 002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 yang menyatakan tidak mengikat Pasal 28 UU Migas tersebut.

Pasal 28 UU Migas semula menentukan bahwa harga BBM atau gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

MK dalam putusannya menyatakan tidak mengikat pasal ini dan menetapkan bahwa campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti BBM dan gas bumi.

Oleh Karena itu MK berpendapat bahwa penentuan atau penetapan harga BBM tetap di tangan pemerintah. Selain itu, dalam putusan tersebut MK tidak membedakan BBM subsidi atau nonsubsidi sehingga putusan ini sebenarnya mencakup pula penetapan atau penentuan harga LPG yang menurut definisi pasal 1 angka 2 dan 3 UU Migas merupakan bagian dari produk BBM dan gas bumi.(dyn/bay/dod)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook