Nikah Siri, Bupati Diberhentikan

Hukum | Rabu, 05 Desember 2012 - 09:07 WIB

GARUT (RP) - DPRD Kabupaten Garut akhirnya menyepakati desakan warga Garut yang meminta agar Bupati Garut Aceng HM Fikri diberhentikan karena kasus pernikahan sirinya dengan Fani Oktora (18) yang hanya berumur empat hari dan pernyataan Aceng di media yang dinilai telah melukai perasaan perempuan.

Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh 29 dari 49 anggota DPRD Garut setelah lobi panjang dengan massa, Selasa (4/12).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Keputusan menyepakati pemberhentian Aceng sendiri, dilakukan setelah unsur pimpinan DPRD Garut menggelar rapat pimpinan secara tertutup.

Rapim juga memutuskan DPRD Garut akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti pemberhentian Aceng Fikri.

Ahmad Badjuri, Ketua DPRD Garut yang ditemui wartawan usai membacakan empat poin kesepakatan yang salah satu isinya menyepakati pemberhentian Aceng Fikri dari jabatan Bupati Garut mengungkapkan, pihaknya menyepakati tuntutan warga dan akan melaksanakan tahapan pemberhentian bupati sesuai dengan UU Nomor: 32/2004 dan UU Nomor: 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor: 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Badjuri menuturkan, pihaknya harus berkonsultasi dengan sejumlah pihak dan bertanya langsung kepada bupati terkait masalah yang saat ini mencuat di permukaan.

Ini dilakukan agar pengajuan pemberhentian bupati tidak salah seperti saat mengajukan pemberhentian mantan Wakil Bupati Garut Diky Chandra.

Ketika didesak batas waktu sidang paripurna untuk menetapkan pengajuan pemberhentian bupati, Badjuri mengatakan, bahwa pihaknya tidak bisa memasang target waktu penyelesaian masalah ini.

Karena, semua harus sesuai aturan. Namun, dirinya berharap prosesnya tidak terlalu lama agar segera diterima Gubernur Jawa Barat dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Dr Helmi Budiman, Ketua Komisi D DPRD Garut mengatakan, DPRD sempat menolak salah satu permintaan massa aksi yaitu pemakzulan bupati saat itu juga.

Menurutnya, hal tersebut tidak mungkin dilakukan langsung karena harus ada mekanisme yang harus ditempuh. Sekretaris DPRD Kabupaten Garut, Farida Susilawati menyebutkan, rapat paripurna tidak bisa dilaksanakan sesuai kehendak pengunjukrasa.

Hari Selasa, (4/12), DPRD telah menggelar rapat pimpinan (Rapim). Rencananya, Rabu (5/12), DPRD akan menggelar rapat paripurna terbatas untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus).

Empat poin kesepakatan antara DPRD dan massa aksi sendiri, sempat dibacakan Ketua DPRD Garut Ahmad Badjuri di depan massa aksi di ruang rapat paripurna. Setelah selesai dibacakan, massa aksi pun seolah puas dan bersorak kegirangan.

Langgar Sumpah Jabatan

Sebelumnya kepada media, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai, kepala daerah yang melanggar sumpah jabatan dapat diberhentikan.

Gamawan mengatakan, kasus nikah siri Bupati Garut Aceng HM Fikri dapat dikategorikan sebagai pelanggaran karena tidak menaati perundangan.

‘’Ini diatur pada Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan, di situ harus dicatatkan kepada pemerintah. (Sementara, red) ini siri tidak ada catatannya,’’ kata Gamawan di Kantor Kementerian PU, Jakarta, Senin (3/12). Dari pelanggaran ini, Aceng, kata Gamawan, bisa saja diberhentikan dari jabatannya.

‘’Kalau kepala daerah tidak mematuhi perundang-undangan yang berlaku, dia melanggar sumpah jabatannya. Kepala daerah dapat diberhentikan karena melanggar sumpah,’’ tegas Gamawan.

Namun Gamawan menjelaskan, pemberhentian kepala daerah sepenuhnya menjadi keputusan DPRD. ‘’Kalau dia diberhentikan maka itu harus ada usul dari DPRD. DPRD itu harus bersidang minimal 3/4 persen dari total jumlah anggota. Dari jumlah itu, 2/3 harus menyetujui,’’ terangnya.

Keputusan DPRD untuk memberhentikan kepala daerah kemudian disampaikan ke Mahkamah Agung. Apabila MA Menolak, maka keputusan usulan pemberhentian di-setop.

‘’Kalau (MA) setuju, DPRD harus mengusulkan ke presiden. Dalam waktu 30 hari paling lama presiden menentukan setuju atau tidak. Jadi kuncinya di DPRD,’’ imbuh Gamawan.

Rakyat Marah ke Bupati

Sebelumya, Selasa (4/12) siang, ratusan warga dari berbagai elemen mulai dari mahasiswa, kaum ibu dan elemen pergerakan pun turun ke jalan menuntut bupati mundur dari jabatannya.

Berbagai ekspresi kekecewaan mereka tuangkan, dari mulai memasang spanduk ukuran besar yang berisi tuntutan agar bupati mengundurkan diri, hingga memasangi foto bupati dengan celana dalam perempuan untuk kemudian fotonya dibakar.

Sekelompok ibu-ibu dari Aisyiyah Muhammadiyah Kabupaten Garut, menjadi kelompok yang pertama menggelar aksi unjuk rasa. Mereka menganggap kalau Bupati Garut, sudah melecehkan kaum perempuan, dan di luar batas kewajaran.

Menyikapi hal itu, mereka menuntut agar bupati segera turun dari jabatannya, karena sudah sangat membuat malu Garut di Indonesia. Ia pun sangat mengecam sikap dan perbuatan Aceng HM Fikri yang dinilai tidak mencerminkan figur seorang pemimpin.

‘’Sangat tidak wajar bila sesepuh Garut, orang yang memimpin Garut berbuat seperti itu. Kami ingin Aceng segera mundur dari jabatannya. Kami sangat malu memiliki Bupati seperti itu,’’ ujar Pimpinan Daerah Aisyiah Kabupaten Garut, Hajjah Yati.

Mereka pun sempat memasang baliho besar di pagar Kantor Bupati Garut yang bertuliskan tuntutan warga Muhammadiyah yang intinya menuntut bupati turun dari jabatannya.

Setelah ibu-ibu Aisyiyah, kelompok pengunjukrasa lainnya pun mulai berdatangan dan berkumpul di depan kantor bupati setelah sebelumnya menggelar orasi di bundaran Simpang Lima Rancabango Tarogong tidak jauh dari kantor bupati.

Begitu sampai di kantor bupati, sejumlah kelompok pengunjukrasa sempat merangsek masuk ke kantor bupati dan melakukan sweeping foto Aceng.

Ketegangan sempat terjadi saat massa aksi mendapati ruang kerja bupati terkunci, massa aksi meminta agar ruangan tersebut dibuka.

Kasatpol PP Kabupaten Garut Dr Suherman sempat meminta agar foto di dalam ruangan bupati diserahkan olehnya kepada pengunjukrasa agar massa aksi tak masuk ke ruang kerja bupati karena kuncinya tidak ada.

Tawaran itu ditolak mentah-mentah, Suherman malah menjadi sasaran kemarahan massa aksi. Kesal pintu tak juga dibuka, akhirnya massa aksi mendobrak pintu ruang kerja bupati.

Di dalam ruang kerja bupati, massa aksi mengambil foto Aceng saat dilantik menjadi Bupati Garut oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

Foto tersebut langsung diarak keluar setelah sebelumnya dipasangi celana dalam perempuan. Massa aksi pun, melanjutkan aksinya di gedung DPRD Garut.

Sesampainya di depan gedung DPRD, massa aksi sempat menggelar orasi. Saat itu, Ketua DPRD Garut Ahmad Badjuri pun sempat menemui massa aksi dan menyatakan dukungannya terhadap aksi yang dilakukan massa.

Badjuri menyayangkan apa yang dilakukan bupati dan pernyataan-pernyataan bupati di media massa.

Aksi unjukrasa sempat terhenti karena hujan mengguyur Kota Garut. Massa aksi pun masuk ke dalam lingkungan kantor DPRD. Mereka mendesak DPRD agar segera memberhentikan Aceng dari jabatannya sebagai Bupati Garut. Sempat terjadi lobi panjang antara massa aksi dan unsur pimpinan DPRD Garut.

Massa aksi meminta DPRD saat itu juga melaksanakan sidang paripurna untuk memberhentikan Aceng. Namun, DPRD meminta waktu kepada massa aksi untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan prosedur di antaranya harus membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk memintai keterangan kepada Bupati Garut.

Lobi-lobi panjang pun dilakukan. Sementara, massa aksi lainnya menunggu di ruang rapat paripurna DPRD Garut dan lingkungan sekitar kantor DPRD Garut.

Sekitar pukul 17.00 WIB lebih, akhirnya DPRD menyepakati tuntutan warga untuk memberhentikan Aceng Fikri dari jabatannya sebagai Bupati Garut dengan cara menempuh prosedur yang berlaku.

Kesepakatan tersebut, ditandatangani oleh 29 anggota DPRD Garut dan perwakilan elemen masyarakat yang saat itu ikut turun melakukan aksi unjukrasa.

Aceng Minta Maaf

Terpisah, Bupati Garut Aceng HM Fikri menilai, aksi unjukrasa yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat yang meminta dirinya mundur dari jabatannya adalah imbas dari pemberitaan di media terhadap masalah pribadinya. Hingga akhirnya, masyarakat tahu dan bereaksi.

Aceng yang dihubungi wartawan melalui telepon genggamnya mengungkapkan, sebenarnya dirinya berharap permasalahan dirinya dengan Fani Oktora (18) bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak diselesaikan lewat jalur hukum maupun politik.

Keluarganya pun, telah mengunjungi keluarga Fani dua kali. Namun, ternyata masalah ini tak juga terselesaikan. Aceng berharap, permasalahan ini dapat segera selesai.

Terkait tuntutan warga agar dirinya turun dari jabatannya, menurut Aceng, tuntutan tersebut tidak sederhana. Karena ada prosedur dan aturan yang harus dijalani untuk mencopot jabatannya. Aceng memohon semua pihak tidak tergesa-gesa dan mau melihat dulu permasalahannya.

‘’Saya mohon tidak tergesa-gesa. Kalau sudah dipastikan bersalah secara hukum, apa yang dilanggar sudah dipastikan, apa mau dikata,’’ katanya.

Aceng juga meminta maaf kepada Fani Oktora dan keluarganya serta warga Garut. Dirinya berharap, masalah ini tidak sampai berlarut-larut sehingga membebani warga Garut.

 ‘’Saya memohon maaf kepada rakyat Garut karena masalah pribadi saya ini justru menyita pikiran dan waktu rakyat Garut. Saya juga meminta maaf kepada Fany dan keluarganya,’’ katanya.

Terkait masalah dilaporkannya Aceng oleh Fani Oktora ke Mabes Polri, menurut Aceng, sebagai warga negara hal itu merupakan hak Fani. Namun, ia sangat berharap permasalahan ini bisa diselesaikan baik secara hukum juga politik.

‘’Sebagai warga negara, ia memang berhak melaporkan saya ke Mabes Polri. Saya harap hal ini terselesaikan, baik secara hukum dan politik,’’ ujar Aceng. (igo/sof/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook