RUU Tentang Desa Ditolak

Hukum | Kamis, 05 Juli 2012 - 07:45 WIB

JAKARTA (RP) - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Desa yang diajukan oleh pemerintah ke DPR ditolak oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.

Penolakan itu terungkap saat Rapat Dengar Pendapat LKAAM dengan Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Desa yang berlangsung di gedung DPR, Senayan Jakarta, Rabu (4/7), yang dipimpin Ahmad Muqowam.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

“LKAAM Sumatera Barat menolak RUU tentang Desa karena sejumlah substansi dalam RUU itu berpotensi melemahkan eksistensi nagari di Sumbar sebagai satu-kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi,” kata Ketua LKAAM, M Sayuti Dt Rajo Panghulu.

Sebelum RUU ini dibawa ke DPR, menurut M Sayuti Dt Rajo Panghulu, LKAAM Sumbar juga sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 72/2005 tentang Desa.

Lebih lanjut, pemangku adat di Minangkabau ini menjelaskan bahwa ada beberapa poin dalam RUU Desa yang mesti dibenahi untuk menjaga kebhinekaan dan kepancasilaan bangsa dan negara ini.

Kalau RUU itu disahkan DPR tanpa memberikan tempat khusus bagi Nagari di Sumbar, LKAAM berpandangan DPR tidak lagi menjaga eksistensi kebhinekaan dan kepancasilaan.

“Kami meminta Nagari di Minangkabau diberikan keistimewaan. Minimal diberikan pengakuan keistimewaan, dan tidak diutak-atik atau dipaksa-paksa untuk menjalankan Nagari tapi dengan roh non-Minangkabau,” tegas M Sayuti Dt Rajo Panghulu.

Oleh karena itu, agar pembahasannya oleh DPR nantinya tidak salah kaprah, LKAAM menawarkan agar nama undang-undangnya diubah terlebih dahulu menjadi Undang-Undang Pemerintahan Terendah atau Pemerintahan Terdepan.

Tawaran Ketua LKAAM itu direspon positif oleh anggota Pansus DPR RI asal Sumbar, Darizal Basir. Menurut Darizal, usulan dari LKAAM itu patut untuk dipertimbangkan sebab di Indonesia tidak semua menggunakan konsep desa.

“Jadi nama RUU Pemerintahan Terdepan patut untuk dipertimbangkan,” ujar mantan Bupati Pesisir Selatan, di Sumbar itu.

Sementara anggota Pansus RUU Desa Hermanto dari Fraksi PKS mengusulkan Jorong - bagian dari wilayah Nagari- ditetapkan sebagai Desa di Sumbar dengan alasan untuk meningkatkan jumlah dana yang masuk ke Sumbar, seiring bertambahnya jumlah desa yang diambil dari jumlah Nagari.

“Jika mengacu pada jumlah Nagari yang hanya 543, dana yang masuk ke Sumbar lebih sedikit, ditakutkan akan terjadi perlambatan pembangunan, dibandingkan dengan daerah lain. Sementara jumlah Jorong yang ada saat ini adalah 5.615,” ujar Hermanto.

Dicontohkannya, saat ini di Sumbar ada 543 Nagari. Jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan Riau dan daerah lain.

Jika sebutan lain desa itu diambil dari Jorong, jumlah desa akan banyak dan dananya akan lebih banyak.

Menyikapi wacana Hermanto itu, Ketua LKAAM menilai itu sebagai ancaman. Menurut M Sayuti Dt Rajo Panghulu, bagi etnis Minangkabau uang bukan segala-galanya.

“Kami ingin Nagari diberikan otonomi seluas-luasnya. Tapi tidak pula berpedoman pada uang,” tegas Sayuti.

Selain itu, LKAAM juga menyampaikan sejumlah kajiannya terkait dengan pembentukan RUU tentang Hak-hak Masyarakat Hukum Adat karena masyarakat hukum adat tersebut memang masih ada dan eksis di Sumbar.(fas/eca)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook