RIAUPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK. Lembaga antirasuah menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi.
“Kita serahkan saja sepenuhnya pada presiden, karena presiden yang punya kewenangan untuk menerbitkan Perppu,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (3/10).
Mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menyebut bahwa elite partai politik secara tegas enggan adanya penerbitan Perppu KPK. Padahal, sejumlah elemen mahasiswa hingga tokoh masyarakat telah mendesak Presiden untuk menerbitkan Perppu.
“Karena kita juga mendengar penolakan Perppu dari para politisi, itu sepenuhnya tergantung pada presiden,” ucap Febri.
Berdasarkan kajian dari internal KPK dan masyarakat sipil, lanjut Febri, setidaknya ada 26 poin dalam revisi UU KPK yang akan melemahkan pemberantasan korupsi. Sebanyak 26 poin pelemahan tersebut telah disampaikan KPK kepada masyarakat.
“Bagi KPK sekarang sederhana saja, pertama kami sudah identifikasi kalau rancangan undang-undang ini nanti berlaku yang diketok beberapa waktu yang lalu ya, kalau itu berlaku maka setidaknya ada 26 poin yang bermasalah, atau berisiko bisa melemahkan KPK,” jelas Febri.
Sementara pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyatakan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 disebutkan salah satunya terkait adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini pun bisa menjadi rujukan jika Presiden ingin menerbitkan Perppu KPK.
“Perppu juga bukan anomali, banyak Presiden pernah menggunakan hak ini. Pada empat periode pemerintahan Presiden Soekarno ada 144 Perppu ditetapkan. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sebanyak delapan Perppu, Presiden BJ Habibie sebanyak tiga Perppu, Presiden Abdurrahman Wahid tiga Perppu, Presiden Megawati empat Perppu, Presiden SBY 20 Perppu, dan Presiden Jokowi dua Perppu,” kata Bivitri saat dikonfirmasi, Kamis (3/10).
Bivitri menjelaskan, selama lima tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi-JK, Presiden Jokowi pernah mengerluarkan Perppu kebiri dan Perppu Ormas. Menurutnya, yang paling fenomenal terkait Perppu Ormas untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). “Ini hanya contoh untuk menunjukkan bahwa ini memang lazim dan sudah digunakan,” tegas Bivitri.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini menyebut, tak lazim jika Perppu KPK melanggar konstitusi. Pasalnya, beberapa Perppu telah dikeluarkan pada masa Pemerintahan Jokowi-JK, bahkan itu tidak disertai tiga unsur yang diatur dalam putusan MK.
Bivitri menilai bahwa adanya dukungan penolakan penerbitan Perppu KPK disinyalir karena menyentuh hajat hidup para elite politik. Jadi bukan hal baru jika Presiden harus menerbitkan Perppu.
“Mungkin ‘perasaan’ ini muncul karena kalau soal KPK memang banyak menyentuh hajat hidup para elite politik. Kalau Perppu lain dianggap enggak masalah, begitu soalnya KPK langsung kebakaran jenggot,” pungkas Bivitri.
Sumber:jawapos.com
Editor :Deslina