Setahun, 84 Komisioner KPU Diberhentikan

Hukum | Minggu, 04 Agustus 2013 - 09:03 WIB

JAKARTA (RP)- Posisi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) nampaknya menjadi makin krusial setelah ditetapkan sebagai satu-satunya lembaga pengadil kode etik pemilu sekitar setahun lalu. Statistik membuktikan, ratusan perkara telah masuk ke DKPP dimana, sekitar 84 penyelenggara Pemilu telah diberhentikan akibat pelanggaran kode etik.

‘’Dari 97 perkara yang diputus, sebanyak 84 komisioner KPU diberhentikan,’’ ujar Nur Hidayat Sardini, komisioner DKPP di Jakarta, kemarin (4/8).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Keputusan memberhentikan itu sebagian besar dilakukan untuk penonaktifan permanen. Sementara, sebagian kecil ada pemberhentian sementara, seperti yang menimpa tiga komisioner KPU Jawa Timur, Nadjib Hamid, Agus Machfud Fauzi, dan Agung Nugroho. Jumlah itu belum termasuk putusan terakhir DKPP yang memberhentikan delapan komisioner di Kabupaten Seram bagian Timur, terdiri dari lima komisioner KPU dan tiga pengawas Pemilu kabupaten.

Hidayat menyatakan, total, perkara yang sudah disidangkan per Kamis (1/8) berjumlah 113 perkara, dan sudah ada 97 di antaranya telah diambil keputusan. Selain vonis pemberhentian, DKPP juga memberikan vonis lebih ringan berupa peringatan. Ada 75 penyelenggara pemilu dari berbagai daerah yang mendapatkan peringatan tertulis.

‘’Ada juga penyelenggara Pemilu yang direhabilitasi kembali namanya,’’ ujar Hidayat. Jumlah penyelenggara pemilu yang direhabilitasi mencapai 264 komisioner. Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menyatakan, DKPP ini merupakan lembaga baru, yang berfungsi dalam menjaga kehormatan institusi Penyelenggara Pemilu. ‘’Pemberhentian ini adalah upaya untuk menyelematkan citra, bukan untuk menghukum,’’ ungkap Jimly.

Menurut Jimly, peradilan etik memiliki fungsi yang berbeda dibandingkan hukum. Peradilan etik memiliki fungsi menjaga kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini, kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu tetap terjaga dengan tetap memunculkan evaluasi melalui peradilan etik.

‘’Inilah beda peradilan etika dengan hukum, kalau hukum itu sifatnya menghukum dan memenjarakan, kalau kita memberikan pembinaan guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi Penyelenggara Pemilu,’’ ujarnya menambahkan. Jimly juga mendorong adanya peradilan etik dilakukan tidak hanya di penyelenggara Pemilu, tapi juga di institusi negara lainnya.(jpnn/bay)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook