JAKARTA (RP) - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Mahkamah Agung (MA) langsung merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memangkas peran pengadilan dalam pembuatan akta kelahiran. Masih butuh waktu untuk menyusun teknis barunya karena rawan pemalsuan.
Staf Ahli Kemendagri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antar Lembaga, Reydonnyzar Moenek, mengatakan pihaknya menyambut putusan MK untuk segera menindaklanjuti. "Intinya kita akan terbitkan surat edaran atau panduan," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Hanya saja panduan bagi kepala dinas Pencatatan Sipil untuk teknisnya di lapangan itu masih akan dirumuskan. Donny berharap dalam waktu dekat Kemendagri sudah bisa merilis agar bisa segera digunakan.
"Kita harus tetap mengedepankan kehati-hatian. Sebab menyangkut implikasi hukum," ucap pemilik sapaan akrab Donny itu.
Terlebih, saat ini kedudukan anak berdasarkan status hukumnya sudah bertambah pasca keluarnya putusan MK putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 hasil pengujian Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Machica Mochtar.
Sehingga terdiri atas anak temuan, anak dari seorang perempuan yang tidak jelas ayahnya, anak pasangan suami istri hasil perkawinan sah, dan anak dari pasangan tidak sah.
Tanpa kehati-hatian dan teknis yang baik, kata Donny, bisa bermasalah pada kemudian hari.
"Jadi harus betul-betul ada keyakinan yang memadai, general assurancenya, dan sebagainya. Salah menetapkan maka implikasinya banyak misalnya menyangkut warisan dan lain-lain. Tidak sesederhana itu maka dulu diurusnya di pengadilan," ulasnya.
Ketua MA, Hatta Ali, mengapresiasi putusan MK soal hilangnya peran pengadilan dalam pembuatan akta kelahiran itu. Lembaga peradilan tertinggi itu langsung merilis Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 1 tahun 2013 tentang Pencabutan SEMA RI nomor 6 tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif, kemarin.
Hatta dalam surat edarannya mengatakan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 18/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pasal 32 ayat 2 Undang Undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaga Negara Republik Indonesia tahun 2006 nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4674), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun, tidak perlu dengan penetapan Pengadilan Negeri.
Dengan demikian sejak tanggal 1 Mei 2013, Pengadilan tidak lagi berwenang untuk memeriksa permohonan penetapan pencatatan akta kelahiran dan sehubungan dengan hal tersebut maka SEMA nomor 6 tahun 2012 tanggal 6 September 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif menjadi tidak relevan dan oleh karenanya harus dicabut.
Atas dasar itu Hatta meminta kepada semua pengadilan negeri agar segera menyelesaikan semua permohonan yang sudah terlanjur masuk sebelum tanggal keluarnya putusan MK itu pada 30 April 2013.
"Yang telah diregister sebelum tanggal tersebut agar terus diselesaikan sesegera mungkin supaya masyarakat bisa memperoleh haknya," kata dia.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, mengatakan dinas catatan sipil harus berjuang keras agar hak masyarakat mendapatkan akta kelahiran bisa terpenuhi. Jangan menunggu masyarakat datang tetapi harus melakukan jemput bola seperti yang dilakukan pengadilan saat keluarnya SEMA nomor 6 tahun 2012 yang akhirnya dicabut lagi karena hadirnya putusan MK terbaru itu.
Saat SEMA nomor 6 tersebut berlaku sejak September 2012, kata Ridwan, program jemput bola bagi masyarakat yang sudah berusia lebih dari satu tahun namun belum punya akta kelahiran bergulir sampai ke daerah. "Pengadilan Negeri melakukan sidang keliling khusus akta ini," katanya.
Sebab pemberian akta kelahiran merupakan kewajiban negara dan ada kepentingan untuk mendata jumlah penduduk. Atas dasar itu maka inisiatifnya ada pada pemerintah, bukan sekadar menunggu permintaan dari masyarakat. "Cuma memang catatan sipil harus kerja ekstra dan lebih teliti," terusnya.
Di luar itu, pengadilan mengalami pengurangan beban kerja cukup signifikan karena tidak ada lagi proses pengajuan pembuatan akta tersebut. "Ya karena memang permohonan paling banyak itu adalah permohonan untuk akta kelahiran. Di pengadilan mana pun jumlahnya paling banyak," ungkapnya.
Sebelumnya, pada 30 April 2013 MK mengabulkan permohonan pengujian pasal 32 Undang Undang (UU) nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pemohon atas nama Mutholib berprofesi sebagai juru parkir asal Wonokromo, Surabaya, merasa hak konstitutionalnya dilanggar akibat rumitnya pembuatan akta kelahiran yang sudah terlambat lebih dari setahun sejak lahir itu.
Majelis yang dipimpin Ketua MK, Akil Mochtar, kemudian menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Ada sembilan poin yang menjadi kekuatan hukum baru dimulai dari kata "persetujuan" dalam pasal 32 ayat 1 UU tersebut dinilai bertentangan dengan UU Dasar (UUD) 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai "keputusan".
Kata "Persetujuan" itu juga diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagai "keputusan". Selain itu, mahkamah menetapkan bahwa frasa "sampai dengan satu tahun" dalam pasal 32 ayat 1 UU i23/2006 itu bertentangan dengan UUD 1945.
Maka kalimat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Kan begini, kalimatnya semula enam puluh hari atau sampai dengan satu tahun. kalau sudah cukup enam bulannya kan satu tahun tidak perlu lagi," ujar Akil, usai sidang.
Pada intinya, lanjut Akil, pengurusan akta lahir itu cukup kepada kantor Catatan Sipil.
Mutholib sendiri merasakan kesulitannya saat memeroses akta di Pengadilan Negeri Surabaya dengan nomor registrasi 2194/Pdt/20/PN.Sby. Pemohon mengaku merasa kesulitan dalam mengurus pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu itu karena proses birokrasi yang harus dilalui sangat berbelit.
Mulai dari minta surat pengantar kepada RT dan RW, kelurahan, kecamatan, kantor dinas kependudukan dan catatan sipil, pengadilan negeri, kantor pos besar, bank, dan harus membawa dua orang saksi. Pemohon juga harus mengeluarkan biaya resmi Rp 236 ribu ditambah biaya lain yang cukup memberatkan pemohon.(gen/jpnn)