FSGI Beberkan Sejumlah Pungli PGRI di Daerah

Hukum | Kamis, 02 Januari 2014 - 20:28 WIB

JAKARTA (RP) - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkap dugaan pungutan liar oleh sejumlah pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di berbagai daerah. Dugaan pungutan liar itu diperkuat dengan sejumlah data atas laporan guru-guru yang keberatan.

"Para pengurus PGRI di sejumlah daerah diduga melakukan pungli. Misalnya, sejumlah guru di daerah mengeluhkan pungutan gaji ke-13 sebesar Rp 50-400 ribu per orang yang dikenakan oleh PGRI," kata Sekretaris Jenderal FSGI, Retno Listyarti saat merilis catatan akhir tahun dunia pendidikan nasional versi FSGI di Jakarta, Kamis (2/1).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Menurutnya, pungutan serupa juga ditarik dari para guru yang bukan anggota PGRI untuk kegiatan rutin organisasi dan pembangunan sarana organisasi. Hal ini dilaporkan ke FSGI oleh Fahmi Hatib, guru SMP Negeri 1 Monta, Kabupaten Bima, yang juga mantan Bendahara PGRI Bima.

"Ada bukti Surat Edaran PGRI Kabupaten Bima, seluruh kepala sekolah di kabupaten itu wajib menarik pungutan dari para guru untuk pekan olahraga seni dan kongres pengurus besar PGRI pada 1-5 Juli 2013," bebernya.

Selain itu, Hariyantoni, guru di Kabupaten Banteng, Bengkulu, juga mengeluhkan tindakan PGRI mengenakan pungutan terhadap gaji ke-13 pada Juli 2013 untuk membangun gedung sekretariat PGRI provinsi. Besarannya sekitar Rp 150 ribu per orang.

"Hariyantoni mengatakan para guru di Bengkulu sempat mengancam akan melaporkan pungutan itu kepada penegak hukum karena dianggap sebagai pungutan liar," ujar Retno.

Hasil evaluasi FSGI sepanjang 2013 juga menyimpulkan pengekangan terhadap kebebasan guru dalam beroganisasi marak terjadi di berbagai daerah. Hal ini dikarenakan banyak birokrat pendidikan di daerah adalah pengurus PGRI. Padahal, dalam UU No.14/2005, pasal 1 butir (13) jelas disebutkan bahwa organisasi guru harus diurus oleh guru, bukan mantan guru, birokrat pendidikan apalagi politisi.

Meski jelas-jelas melanggar ketentuan UU, lanjutnya, namun PGRI tidak pernah mendapat teguran dari pemerintah. Padahal ketika pengurus PGRI menjabat birokrat pendidikan, akan terjadi konflik kepentingan. Bahkan, para guru yang kritis dan berani memilih organisasi guru selain PGRI di daerah-daerah tersebut mengalami bermacam-macam intimidasi.

"Mulai dari dihambat urusan kedinasannya, dihambat kenaikan pangkatnya sampai mutasi. Bahkan, ada aktivis FSGI di Mataram dalam satu tahun mengalami tiga kali mutasi,” pungkas Retno Listyarti.(Fat/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook