LPSK Sudah Berikan Hak Pemulihan 3.461 Korban Pelanggaran HAM di Aceh

Hukum | Jumat, 01 November 2019 - 16:48 WIB

LPSK Sudah Berikan Hak Pemulihan 3.461 Korban Pelanggaran HAM di Aceh
ILUSTRASI poster kasus pelanggaran HAM. LPSK telah memberikan bantuan kepada 3.461 korban pelanggaran HAM. (Salman Toyibi/Jawa Pos)

JAKARTA(RIAUPOS.CO)– Pemulihan korban pelanggaran HAM di Provinsi Aceh menjadi sorotan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK memandang, kesesesuaian dan kesatuan data korban, menjadi poin penting dalam memaksimalkan pemulihan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyatakan, pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah berkomitmen memperkuat agenda pemulihan korban pelanggaran HAM di Provinsi Aceh. Dukungan data diperlukan untuk proses pemulihan ini.

“LPSK percaya pada instansi yang berwenang melakukan assessment, semisal Komnas HAM yang memang dibiayai negara,” kata Manager dalam keterangannya, Jumat (1/11).

Dalam pemenuhan hak korban dugaan kasus pelanggaran HAM yang berat, lanjut Maneger, LPSK tidak lagi dalam posisi melakukan investigasi, apakah orang itu layak atau tidak sebagai korban. Namun, lebih kepada layanan apa saja yang dibutuhkan oleh korban.

“Karena sudah ada instansi lain yang melakukan assessment,” ungkap Maneger.

Maneger juga memaparkan, LPSK telah memberikan bantuan kepada bagi 3.461 korban dugaan pelanggaran HAM berat. Dia memaparkan, korban tersebut di antaranya merupakan korban dari tiga peristiwa yang terjadi di Aceh, seperti Jambu Kepok, Rumah Geudong, dan Simpang KKA.

“Layanan terdiri dari bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan psikososial,” ujar dia.

Sementara itu, Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Ainal Mardiah menyoroti rehabilitasi psikososial bagi korban kasus pelanggaran HAM. Menurut dia, pemenuhan rehabilitasi psikososial tidak akan maksimal jika dikerjakan sendiri oleh masing-masing instansi.

“Seperti dalam penanganan korban kekerasan seksual saat konflik terjadi. Tidak maksimal jika dikerjakan sendiri atau oleh satu instansi, seperti P2TP2A. Semua (pihak) terkait, baik eksekutif maupun legislatif,” urai Ainal.

Sebab, kata Ainal, yang menjadi target pemulihan bukan hanya korban, tetapi juga lingkungan tempat tinggal mereka. Karena masih banyak di antara masyarakat yang menyatakan, untuk apa mengungkap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi pada saat konflik masa lalu.

“Mereka beralasan ini aib dan sebagainya. Jadi, biarlah pulih dengan sendirinya. Itu yang terjadi dan sering mereka sampaikan,” pungkasnya.

Editor : Deslina

Sumber :Jawapos.com









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook