KASUS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Pemerintah Tak Mampu Tegakkan Hukum Bagi Pengusaha Besar

Hukum | Senin, 01 Juli 2013 - 19:30 WIB

Riau Pos Online-Permintaan maaf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kebakaran hutan di Provinsi Riau dan beberapa daerah di sumatera yang menimbulkan asap besar hingga sampai ke negara di sekitarnya seperti Singapura, dan Malaysia, diduga untuk melindungi perusahan ‘hitam’ yang selama ini melakukan pembakaran hutan untuk membuka lahan baru.

Dengan permintaan maaf tersebut sebagai bukti bahwa pemerintah tak mampu menegakkan hukum bagi pengusaha besar, yang selama ini merusak hutan dan mengancam kehidupan masyarakat.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Hal itu diutarakan Dosen Hukum Lingkungan Universitas Indonesia,  Andri G Wibisana PhD dalam dialog: Asap dan Jati Diri Bangsa, bersama Ketua Komisi II DPR RI FPG Agun Gunandjar Sudarsa dan Ketua Komisi I DPR RI Mahfudh Siddiq di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (1/7).

"Permintaan maaf Presiden itu justru menjadi pertanyaan dunia internasional atas tak tegaknya hukum bagi pelanggar pembakar hutan untuk perluasan usahanya. Apalagi pemerintah tak mau menandatangani ratifikasi kebakaran hutan dengan segala konsekuensinya, dan kita memang tak pernah serius menangani pelanggaran ini (pembakaran hutan),” ujar Andri.

Karena itu lanjut Andri, wajar kalau Singapura mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah asap tersebut secara hukum, sebab menyadari negaranya sudah meratifikasi soal kebakaran hutan tersebut.

“Jadi, Indonesia harus bertanggung jawab. Persoalannya, kita memang tidak menandatangani perjanjian internasional atau ratifikasi kebakaran hutan," terangnya.

Sementara itu, Agun Gunandjar menilai jika pemerintah belum siap menghadapi era global dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, supremasi hukum, dan lingkungan. Padahal kata dia, sekarang ini tak ada satu negara pun yang bisa maju, tanpa membutuhkan negara lain.

“Presiden seharusnya juga mendesak Singapura dan Malaysia, agar ikut mewujudkan ketertiban dunia, perdamaian, dan keadilan sosial dengan menindak perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesia, yang terbukti melanggar hukum. Ini norma politiknya sebelum meminta maaf,” tegas politisi Golkar itu.

Selain itu menurut Agun, masalah antarnegara harus diselesaikan secara kenegaraan. Persoalan pelestarian kawasan hutan dari ancaman kerusakan, kedua negara itu juga harus ikut membiayai dan merawatnya. Juga masalah TKI,  money laundry, pencurian ikan dan lain-lain.

"Terlebih yang membakar itu diduga perusahaan kedua negara itu, maka presiden tak perlu meminta maaf. Melainkan melakukan negosiasi dalam rangka menjaga ketertiban dunia dan perdamaian abadi,” ucap Agun.

Mahfuh Siddiq mengatakan, sejak 2009 dalam konvensi perubahan iklim, semua negara khususnya Indonesia sebagai negara terbesar ketiga penyumbang emisi karbon, diminta menguranginya dari efek rumah kaca dan kebakaran hutan itu.

“Komitmen kita sudah baik, hanya tidak mampu menghadapi kekuatan pasar domestik dan global," ungkap Mahfud Siddik yang juga menyesalkan permintaan maaf Presiden. "Kalaupun kita minta maaf, tapi tiddak harus presiden, cukup dengan Menteri Kehutanan misalnya atau Gubernur," pungkasnya. (yud)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook