JAKARTA (RP) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian pasal 32 Undang Undang (UU) nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Birokrasi rumit untuk mendapatkan akta kelahiran dipangkas oleh putusan mahkamah itu.
Majelis yang dipimpin Ketua MK, Akil Mochtar, kemarin menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Ada sembilan poin yang menjadi kekuatan hukum baru dimulai dari kata "persetujuan" dalam pasal 32 ayat 1 UU tersebut dinilai bertentangan dengan UU Dasar (UUD) 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai "keputusan".
Kata "Persetujuan" itu juga diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagai "keputusan". Selain itu, mahkamah menetapkan bahwa frasa "sampai dengan satu tahun" dalam pasal 32 ayat 1 UU i23/2006 itu bertentangan dengan UUD 1945. Maka kalimat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Kan begini, kalimatnya semula enam puluh hari atau sampai dengan satu tahun. kalau sudah cukup enam bulannya kan satu tahun tidak perlu lagi," ujar Akil, usai sidang.
Pada intinya, lanjut Akil, pengurusan akta lahir itu cukup kepada kantor Catatan Sipil. Selengkapnya, pasal 32 ayat 1 UU 23/2006 itu pasca putusan MK berubah menjadi "Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat 1 yang melampaui batas waktu 60 hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan kepala instansi pelaksana setempat."
Sebelumnya, pasal tersebut berbunyi; "Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat 1 yang melampaui batas waktu 60 hari sampai dengan satu tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan kepala instansi pelaksana setempat."
MK juga memutuskan bahwa pasal 32 ayat 2 UU 23/2006 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatah hukum mengikat.
Selain itu, frasa "dan ayat 2" dalam pasal 32 ayat 3 UU 32/2006 itu diputuskan bertentangan denagn UUD 1945. Frasa ini dinyatakan tidak empunyai kekuatan hukum mengikat.
Permohonan pengujian pasal 32 UU 23/2006 itu diajukan oleh pemohon atas nama Mutholib, warga Wonokromo, Surabaya. Dia adalah warga yang memohon akta kelahiran yang melampaui batas waktu di Pengadilan Negeri Surabaya dengan nomor registrasi 2194/Pdt/20/PN.Sby.
Pemohon mengaku merasa kesulitan dalam mengurus pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu itu karena proses birokrasi yang harus dilalui sangat berbelit. Mulai dari minta surat pengantar kepada RT dan RW, kelurahan, kecamatan, kantor dinas kependudukan dan catatan sipil, pengadilan negeri, kantor pos besar, bank, dan harus membawa dua orang saksi.
Pemohon juga harus mengeluarkan biaya resmi Rp 236 ribu ditambah biaya lain yang cukup memberatkan pemohon.
Mutholib bukan satu-satunya yang risih dengan kerumitan dalam UU itu. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Jaringan Kerja Peduli Akte Kelahiran (Jaker-PAK) kemarin mengajukan permohonan untuk pengujian UU yang sama namun merinci pada beberapa pasal terdiri atas pasal 3, 4, 27 ayat 1, 29 ayat 1 dan 4, pasal 30 ayat 1 dan 6, 32 ayat 1 dan 2, 90 ayat 1 dan 2, serta penjelasan umum UU tersebut.
"Lahirnya undang undang ini yang menganut stelsel aktif penduduk, bukan hanya gagal jaga hak anak, tapi bertentangan dengan maksud konstitusi pasal 28 D ayat 1 UUD 1945," kata Komisioner KPAI, Latifah Iskandar saat pendaftaran gugatan ke gedung MK, kemarin.
Terbukti, menurutnya, lebih dari 50 persen anak di Indonesia saat ini tidak memiliki akta kelahiran. Semestinya, soal akta ini, kewajiban pencatatan kelahiran dibebankan kepada negara dan bukan kepada warga negara.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, Rinto Trihasworo, mengatakan pencatatan kelahiran sebenarnya kebutuhan mendasar bagi negara sehingga negara harus proaktif.
"Tanpa akta, bagaimana negara bisa tahu populasi masyarakatnya. Bagaimana bisa menentukan kebijakan jika data penduduk tidak akurat terutama untuk kepentingan kebijakan pendidikan dan kesehatan," ungkapnya.(gen/jpnn)