Bagi yang sudah nonton The Batman dan film-film Batman sebelumnya besutan Christopher Nolan, pasti bisa merasakan dan menilai seperti apa film terbaru yang diperankan Robert Pattinson tersebut.
SEJAK trilogi The Dark Knight berakhir hampir sedekade lalu, penantian panjang penggemar untuk mendapatkan film solo Batman yang sesuai harapan kini terjawab dalam The Batman yang dibintangi Robert Pattinson.
Tayang mulai 2 Maret 2022 di Indonesia, film ini begitu memuaskan hampir di semua lini. Mulai dari aspek cerita, penggambaran karakter, akting, sampai dengan aspek teknis seperti sinematografi dan scoring musik.
Keputusan sutradara Matt Reeves untuk fokus mendalami sisi detektif Batman pun berhasil dieksekusi dengan apik. Reeves begitu cermat menjahit setiap kepingan cerita Bruce Wayne demi menunjukkan kapasitasnya sebagai The World's Greatest Detective, seperti julukan yang selama ini disematkan untuknya.
Di sisi lain, karakter the Riddler juga memainkan peran penting dalam narasi Bruce Wayne tersebut. Kemampuan khas Riddler dalam teka-teki sukses memantik kemampuan investigasi pahlawan Gotham, meski tak jarang Wayne juga kelimpungan dalam menghadapi itu semua.
Kehadiran Riddler semakin bermakna karena dia tak hanya muncul sebagai penjahat yang membuat kekacauan, tetapi juga menggiring Batman pada pengungkapan rahasia besar Gotham dan masa lalu keluarganya.
The Batman juga menjadi bukti Reeves begitu memahami kehidupan Gotham dan mampu mewujudkannya dalam penulisan cerita maupun teknis audio-visual.
Sebagai salah satu entitas penting dalam semesta Batman, kota fiktif itu bukan hanya menjadi latar tempat, tapi juga saksi bisu perjalanan Batman dan sejarah kelam yang menghantuinya.
Dalam film ini, Gotham digambarkan begitu mencekam dan muram lewat visualisasi yang dominan gelap. Karakter di The Batman juga berulang kali menyebut Gotham sebagai kota yang kumuh, marak kejahatan, hingga dipenuhi orang-orang korup.
Visual kreatif Reeves itu kemudian dikuatkan dengan keputusan studio untuk tidak menggabungkan The Batman dengan DC Extended Universe.
Keputusan itu membuat cerita The Batman berhasil menampilkan semesta Batman yang kokoh tanpa perlu disisipi karakter DC lainnya. Lagipula, semesta Batman sebenarnya juga kaya akan cerita dan karakter yang patut dieksplorasi di masa depan.
Selain aspek cerita, The Batman juga unggul dari segi akting. Pattinson berhasil menjawab kritik dan menepis kecaman yang ia terima saat pertama kali diumumkan sebagai Bruce Wayne. Ia mengeksplorasi sisi Batman yang belum pernah disentuh sebelumnya.
Bruce Wayne versi Pattinson digambarkan sebagai seseorang yang masih kesulitan dalam mengatasi ketakutan akibat trauma masa lalu. Lewat mimik dan mikro ekspresi, Pattinson berhasil menggambarkan rasa takut yang berusaha ditutupi itu.
Akting Pattinson yang prima juga didukung dengan para karakter pendukung yang tampil memuaskan. Mereka berhasil menunjukkan kapasitas sebagai aktor dan aktris papan atas.
Akting Paul Dano sebagai Riddler menjadi salah satu yang patut mendapat apresiasi tinggi. Ia berhasil memerankan Riddler sebagai penjahat yang cerdik dan misterius.
Selain itu, Matt Reeves dan Pattinson juga berhasil mendalami karakter Bruce Wayne alias Batman meski dengan pendekatan yang baru.
Gaya berpakaian Bruce Wayne kali ini berbeda jauh dibanding film-film terdahulu. Bruce Wayne dulu amat terlihat sebagai seorang filantrop dengan setelan jas mewah dan kerap tampil di publik. Namun, penampilan Wayne versi Pattinson justru berbanding terbalik.
Bruce Wayne versi Pattinson tampil dengan pakaian lusuh dan sangat jarang berinteraksi dengan orang luar. Ia bahkan hanya sekali menggunakan setelan jas dan muncul di keramaian, yaitu saat menghadiri suatu pemakaman.
Hal itu sepertinya dilakukan untuk mendukung kondisi mental Bruce Wayne yang membuat ia enggan berurusan dengan dunia luar yang gemerlap. Perbedaan juga terlihat dari penggunaan gawai berteknologi canggih yang identik dengan Batman.
Matt Reeves tampaknya enggan menjadikan The Batman sebagai ajang pamer teknologi milik sang Caped Crusader. Hampir semua gawai yang digunakan relatif umum dan tidak terlalu berkesan.
Meski begitu, The Batman juga bukan tanpa cela. Film ini mengusung gaya slow-burning movie atau alur penceritaan yang pelan. Penonton diajak untuk mengikuti satu petunjuk ke petunjuk lain secara hati-hati dengan ketegangan yang terus meningkat.
The Batman layaknya film bertema detektif yang terus menghadirkan misteri, tetapi dengan tempo cerita yang lambat.
Selain itu, karakter penting yang terlibat dalam cerita The Batman juga cukup banyak. Mereka menghadirkan latar belakang dan motifnya masing-masing sehingga membuat cerita semakin ruwet.
Dua hal itu berpotensi menjemukan pada beberapa bagian, apalagi bagi penonton yang tidak familiar dengan kisah Batman secara umum.
Penonton juga perlu mengatur ekspektasi, karena The Batman cukup berbeda dengan film superhero lainnya. Sebab, tidak ada banyak adegan aksi atau pertarungan melawan penjahat yang bombastis.
Batman memang digambarkan sebagai karakter yang lebih brutal dari biasanya. Namun, porsi yang ditampilkan cenderung sedikit.
Bahkan, adegan bertarung dengan gaya silat Indonesia yang sebelumnya pernah diumbar juga terlalu samar. Hal ini mungkin dilakukan demi menonjolkan kisah Batman sebagai seorang detektif.
Meski demikian, semua cela itu sepadan dengan sensasi dan pengalaman menonton yang dirasakan. The Batman seolah sebagai pijakan awal dari era Robert Pattinson yang ambisius dan menjanjikan, terlihat dari bagaimana film ini ditutup.
Jika nanti sekuel The Batman berada di level yang sama atau bahkan lebih baik, bukan tidak mungkin Batman versi Matt Reeves bisa menjadi salah satu seri adaptasi terbaik yang pernah dibuat.
Lebih dari itu, The Batman berhasil menjadi ajang perayaan para penggemar yang telah menanti kembalinya sang Caped Crusader ke layar lebar.
Sumber: People/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun