SETIAP orangtua selalu mengharapkan buah hatinya akan menjadi anak yang berbakti dan berguna. Tidak saja bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi masyarakat. Tapi kenyataannya tidak selalu sama dengan apa yang diharapkan. Berbagai kenakalan marak dilakukan oleh para remaja, bahkan perbuatan mereka cenderung sudah tidak dapat ditolerir.
Kondisi ini menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Pekanbaru dr Ekmal Rusdi disebabkan orangtua dalam menerapkan disiplin kepada anak sering tidak memperhatikan keberadaan anak sebagai seorang manusia. Anak sering dibelenggu aturan-aturan orangtua yang tidak rasional dan tanpa menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya, seperti hak anak untuk bermain.
Bahkan, tak sedikit orangtua yang beranggapan bahwa anaknya adalah hak milik dan tanggung jawabnya, sehingga ia berhak melakukan apa saja. Ada anak yang sejak kecil sudah diajarkan agar patuh dan taat kepada orangtua dengan cara kekerasan. Di mana, kekerasan ini pada akhirnya bermuara sebagai suatu kejahataan.
Ia mengatakan, kekerasan dipicu oleh tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami-istri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang bersifat struktural, disebabkan oleh sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikan perlindungan atas eksistensi manusia.
Padahal, peran orangtua dalam memberikan pendidikan yang bersifat disiplin positif berupa pendekatan mengasuh anak yang mengajar anak dan membimbing perilaku mereka, namun juga respek terhadap hak untuk perkembangan kesehatan, melindungi mereka dari kekerasan dan partisipasi dalam pembelajaran mereka.
‘’Disiplin positif bukanlah pengasuhan yang lunak dan bukan tentang hukuman, tapi pendidikan solusi jangka panjang yang mencoba membangun disiplin anak-anak sendiri dan mengajarnya tanpa kekerasan, empati, respek terhadap diri sendiri, hak asasi dan respek terhadap orang lain,’’ tuturnya.
Selain itu, ujarnya, orangtua hendaknya menyiapkan diri sebagai guru pertama bagi anaknya. Sebab pada usia 0-4 tahun, buah hati kita memerlukan rangsangan dengan belajar dan bermain. Menurut penelitian, anak-anak yang jarang diajak bermain atau jarang disentuh, perkembangan otaknya 20 atau 30 persen lebih kecil daripada ukuran normalnya pada usia itu.
‘’Paul Meier menyatakan, sampai usia enam tahun, 85 persen karakter anak telah terbentuk. Bahkan Bloom menyatakan, 50 persen potensi anak terbentuk sampai usia lima tahun, dan 30 persen lainnya akan terbentuk sampai usia delapan tahun. Di sini peran kedua orangtua sangat menentukan, akan apa dan siapa jadinya anak kita nantinya,’’ lanjut Ekmal.
Pada sisi lain, Ekmal mengatakan, adat dan tradisi Melayu mewajibkan orangtua untuk menyampaikan petuah amanah atau tunjuk ajar kepada anak cucunya, sehingga diharapkan anak cucunya menjadi manusia bertuah, yakni manusia yang sejahtera,sempurna lahiriah dan bathiniah.
‘’Dalam percakapan sehari-hari, manusia semacam ini disebut menjadi orang. Hal ini merupakan hutang jika orangtua tidak melaksanakannya. Elok anak karena emak, baik anak karena bapak, dengan cara mewajibkan memberi petuah amanah, tunjuk ajar janganlah kurang. Kalau anak hendak menakah, isilah dengan petuah amanah. Oleh karenanya, orang Melayu merasa hina bila disebut tak tahu adat atau tidak beradat,’’ tegasnya.
Pengaruh lingkungan memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan buah hati kita. Kendati demikian, dengan bekal dan tunjuk ajar yang bunda berikan sejak dini, diharap mereka tidak lepas terlalu jauh dari norma yang selama ini kita ajarkan.(tie)