RIAUPOS.CO . Online dating untuk mencari jodoh memang bikin penasaran, tapi juga was-was. Dr Rahkman Ardi, peneliti bidang cyber psychology, mengingatkan adanya model hiperpersonal dalam komunikasi secara daring (dalam jaringan).
’’Ada kecenderungan kita melebih-lebihkan imajinasi kita saat berkomunikasi dengan seseorang tanpa tatap muka,’’ jelas lulusan S-3 Universitas Warsawa tersebut.
Model hiperpersonal tersebut merujuk pada jurnal yang dikeluarkan Joseph B. Walther pada 1996.
’’Jadi, dengar suaranya, wah, ganteng ini. Kaya ini,’’ ucapnya, lantas terkekeh-kekeh.
Efeknya bisa banyak. Misalnya, hubungan secara online malah sangat mungkin berjalan dengan romantis dalam waktu yang singkat.
Hal itu terjadi karena imajinasi kedua pihak dipupuk. Kata-kata manis tanpa melihat gestur secara langsung.
Ardi menyatakan, hiperpersonal tersebut mungkin terjadi pada usia berapa saja. Tak hanya anak muda, tapi juga orang dewasa, bahkan orang tua.
Dengan demikian, solusinya adalah memahami hiperpersonal itu. "Itu hal yang sangat umum terjadi. Jadi, wajar dan harus kita pahami,’’ ucap pria 37 tahun tersebut.
Kesadaran itu bisa dimulai dari pemahaman saat menggunakan gadget. Jangan sampai hanya menguasai cara penggunaannya.
Namun, seseorang juga harus mengerti efek yang dibawa gadget. ’’Bahwa ada kelebihan dan kekurangan. Sebab, dia hanya alat, kita yang memakai,’’ tegas pengajar Fakultas Psikologi Universitas Airlangga tersebut.
Selain itu, Ni Putu Adelia Kesumaningsari SPsi MSc mengingatkan pentingnya kroscek data. Informasi pribadi yang diberikan di dating app sering berupa proyeksi diri ideal yang tidak sepenuhnya benar.
Googling bisa jadi salah satu caranya. Dari nama lengkap, seseorang mendapatkan banyak informasi di search engine itu. Atau, bisa juga dengan mengecek media sosial si doi.
’’Lihat frekuensi update-nya, lihat gaya bahasanya,’’ ujar dosen psikologi Universitas Surabaya tersebut. (dya/c13/any)
Sumber: JPNN.com
Editor: Deslina