CATATAN AKHIR PEKAN

Bukan Generasi Selfie

Gaya Hidup | Minggu, 03 Januari 2016 - 11:13 WIB

Bukan Generasi Selfie
Firman Agus - Redaktur Pelaksana

BAGIKAN



BACA JUGA


Mulai 2016 ini, pemerintah kembali menegaskan melarang dengan tegas diwajibkannya pengajaran membaca, menulis dan berhitung (calistung) di pendidikan usia dini. Baik itu Taman Bermain, PAUD maupun TK. Karena di usia anak-anak di tingkatan PAUD adalah masa bermain dan melatih kreativitas, imajinasi dan adaptasi dengan lingkungan.

Memang dalam praktiknya, di usia PAUD ini telah banyak orangtua merecoki anak-anaknya dengan belajar membaca dan berhitung. Bahkan sudah lazim di masyarakat, bila orangtua dengan bangga mengatakan anaknya sudah bisa membaca di saat masih TK, bahkan PAUD. Sebaliknya, merasa malu bila belum bisa.

Mungkin selama ini kita tak sadar, memaksa anak-anak di usia tersebut untuk bisa calistung akan mengurangi makna pendidikan di tingkat PAUD itu sendiri. Daya imajinasi, kreativitas dan adaptasi dengan lingkungan itu akan terkuras karena dipaksakan belajar calistung. Apalagi tingkat kemampuan anak-anak berbeda-beda.

Apakah ini juga yang menjadikan anak-anak kurang menyerap makna dalam pelajaran yang didapat di sekolah di tingkat selanjutnya? Memang perlu studi untuk itu. Tapi fenomena yang terjadi, mereka tahu dalam pelajaran atau menjawab soal, tapi lupa dalam praktik sehari-hari. Seperti sering orangtua berujar, “Apa itu yang diajarkan di sekolah?”. Contoh kecil misalnya, buku-buku pelajaran mengajarkan mereka kalau membuang sampah di tempat sampah, menyeberang harus di zebra cros atau jembatan penyeberangan. Tapi bagaimana dalam praktiknya? Banyak yang tidak dijiwai. Hanya diingat dan dihapal sebatas menjawab pertanyaan soal-soal ujian atau guru di kelas.

Salah satu contoh lagi misalnya melihat perilaku berkendara di jalan raya. Apakah perilaku ugal-ugalan dan seenak perutnya sendiri itu cermin dari sifat pribadi, atau memang pendidikan yang diterima dulu hanya sekadar formalitas belaka, sehingga kehilangan makna? Sehingga kata-kata, “Kan ndak ada yang lihat”, ‘’mumpung jalan sepi’’, atau “polisi kan nggak ada” seakan menjadi pembenaran akan sikap yang salah tersebut.

Memang tidak bisa digeneralisirkan dan manusia ini tak ada yg sempurna. Tapi, kalau mayoritas sudah berpikiran seperti itu, tentu proses pembentukan karakter pendidikan di tingkat dasar yang kembali harus dipertanyakan.

Mungkin sudah terlalu sering kita “memaafkan” sehingga menganggap biasa kesalahan-kesalahan kecil tersebut. Ditambah belum tumbuhnya kesadaran sendiri hingga menjadi kepribadian dan akhirnya menjelma menjadi budaya.

Maka, tak selayaknya tanggung jawab pendidikan dasar itu hanya dibebankan ke pemerintah semata. Tidak fair juga misalnya angka 285.373 angka putus sekolah di Riau itu disalahkan ke pemerintah sepenuhnya. Karena tanggung jawab keluarga dan warga sekitar juga ada. Misalnya, mungkin kini sudah jarang ada anggota masyakarat yang melaporkan tetangga atau warganya yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi atau problem keluarga. Apalagi di perkotaan.

Kondisi ini menjadikan wajib belajar sembilan tahun itu baru sebatas slogan. Pemerintah punya program, tapi kurang tersosialisasi. Sementara kita terkadang sebagai masyarakat tidak peduli dan menganggap itu sebagai urusan pemerintah. Sehingga ada ungkapan, ‘’untuk itu mereka digaji dengan uang rakyat’’. Sehingga, kebijakan pendidikan dengan program wajib belajar 9 tahun (hingga SLTP), dalam praktiknya pun tidak berjalan dengan semestinya. Akan malanglah nasib anak-anak yang orang tuanya tak mampu dan tak peduli, lingkungan tetangga tidak care dan negara yang semestinya hadir, belum menyentuhnya. Padahal esensi wajib belajar sembilan tahun itu di sana. Kehadiran negara menjamin pendidikan mereka.

Mungkin, belum terlambat untuk memperbaiki yang dimulai dari ruang lingkup pendidikan terkecil, keluarga. Saatnya membangun generasi peduli, bukan generasi sefie. Setelah itu, kita tuntut tanggung jawab negara untuk selalu hadir bagi rakyatnya.***

Firman Agus  - Redaktur Pelaksana









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook