DEWARUCI KELILING DUNIA PADA BULAN RAMADAN, RUTE KANADA-PORTO (1)

Lima Hari Menggigil di Samudera Atlantik

Feature | Selasa, 31 Juli 2012 - 08:40 WIB

 Lima Hari Menggigil di Samudera Atlantik
JPNN berada di antara awak KRI Dewaruci saat berlayar menuju Kanada, beberapa waktu lalu. (Foto: JPNN)

BOSTON (RP) - Sudah lima bulan KRI Dewaruci mengelilingi Amerika Serikat. Dari pelabuhan terakhir di Boston, kapal legendaris itu bergeser ke Amerika Utara. Tepatnya di Saint John’s, Kanada.

Petang itu pukul 15.30, KRI Dewaruci keluar dari dermaga ikan Distrik Pelabuhan Boston. Sebuah kapal tunda yang membawa pandu pelabuhan menarik haluan Dewaruci menjauh dari dermaga.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kapal melewati perairan sedalam 40-an meter yang berwarna hijau bening. Sebagian ABK melaksanakan peran muka belakang. Mereka menempati posisi di tepian haluan, lambung, dan buritan.

Selesai peran muka belakang, dilanjutkan peran pemanduan sampai kapal menjauh dari teluk.

Puluhan warga Boston yang menyaksikan Dewaruci lepas sandar tak kunjung beranjak dari tepi dermaga. Mereka terlihat tidak rela berpisah dari kapal latih TNI-AL yang hampir sepekan sandar di ibu kota dan kota terbesar di Massachusetts itu.

Suasana makin menyentuh ketika lagu Sailing diperdengarkan melalui pengeras suara kapal.

Dewaruci menjadi kapal layar tiang tinggi terakhir yang meninggalkan Boston. Sehari sebelumnya, tiga kapal latih milik Brasil, Ekuador, serta Kolombia meninggalkan Teluk Massachusetts.

Perasaan sayang harus meninggalkan salah satu kota tua di AS itu begitu terasa di dada para ABK.

Keberangkatan tersebut molor sekitar 3,5 jam dari jadwal semula pukul 12.00. Itu terjadi menyusul insiden bocornya lambung kiri sehari sebelum berangkat, sehingga harus ditambal dengan kuat. Dewaruci harus tetap tepat waktu tiba di negara tujuan berikutnya.

Saat Dewaruci menyisiri alur pelayaran di barat daya Bandara Logan, sejumlah pesawat melintas di atas tiang Dewaruci. Pesawat-pesawat itu datang dan pergi dari bandara internasional tersebut.

Bandara itu berada di sebuah pulau sisi timur laut yang terpisah dari South Boston Waterfront, kawasan pelabuhan tempat Dewaruci sandar.

Selesai peran pemanduan, angin lumayan kencang bertiup dari lambung kiri kapal. Laju Dewaruci pun makin ringan, menyisiri belasan kepulauan di timur Area Taman Nasional Boston Harbor Island.

Di antaranya, Thompson Island, Spectacle Island, Gallop’s Island, George’s Island, dan Deer Island. Gugusan kepulauan itu mirip di kawasan Karimunjawa, Jawa Tengah.

Pulau-pulau itu menjadi objek wisata maritim. Bedanya, bila di Karimunjawa banyak anakan ikan hiu, di Boston gerombolan ikan paus sering menyembul ke permukaan.

Mereka sesekali menyemburkan mata air artesis dari lubang kepalanya. Beberapa di antaranya bermain-main dengan meloncat di atas permukaan air laut. Ada yang loncatannya sampai dua meter.

Semakin jauh dari daratan, hembusan angin makin kencang. Matahari petang masih menunjukkan sinarnya yang merah menyala. Meski begitu, udara terasa semakin dingin.

Karena itu, peran parade roll berupa ABK memanjat anak tangga di tiga tiang utama dan peruan (tiang horizontal di tiang depan) diakhiri.  ‘’Peran parade roll selesai... Peran parade roll selesai...’’ begitu instruksi yang terdengar dari dalam anjungan.

Berdasar prakiraan cuaca yang dilansir kantor BMKG Maritim Boston, cuaca hari-hari itu relatif normal. Kecepatan angin 7-9 knot. Ketinggian gelombang laut tidak lebih dari 2,7 meter.

Yang agak mengkhawatirkan hanya suhu udaranya. Menurut catatan BMKG, suhu paling rendah 15 derajat celsius. Tapi, termometer di jam tangan maupun termometer di kapal menunjukkan angka 11 derajat celsius.

Dan kondisi seperti itu terjadi selama lima hari pelayaran menuju Kanada.

Tidak banyak aktivitas yang dilakukan para awak kapal selama melintasi Samudra Atlantik dari Boston ke St John’s. Apel pagi pukul 08.00 dan apel sore 15.30 di geladak atas kerap ditiadakan. Petugas jaga di haluan harus mengenakan jaket dobel untuk mengawasi laju kapal.

Dinginnya air laut terasa hingga ke ruang-ruang dalam kapal. Hampir seluruh besi di kapal kebanggaan Indonesia itu terasa seperti es batu. Dingin sekali.

Sebagian besar AC (air conditioner) di kapal sudah dimatikan. Hanya pendingin ruangan di fresh room, tempat menyimpan bahan belanja basah, yang tidak dimatikan. (ari/jpnn/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook