Bepergian dengan orang yang baru dikenal, menjadi petaka bagi Juliar. Dan membawanya berada di titik terendah dalam perjalanan hidupnya.
Laporan MONANG LUBIS, Pekanbaru
JULIAR (25), seorang sarjana ekonomi dan ketua remaja Musala Bustanul Arifin di Desa Jangkang, Kecamatan Bantan, Bengkalis, Riau, terjebak dalam sindikat narkoba. Sudah setahun lebih mendekam di balik tembok Lapas Bengkalis.
Lelaki dengan tinggi sekitar 165 cm itu divonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkalis pada Kamis, 17 Januari lalu. Majelis hakim yang memvonisnya terdiri dari hakim ketua Dr Sutarno SH MH, didampingi dua hakim anggota Wimmi D Simarmata dan Aulia Fhatma Widhola.
Sepekan sebelumnya, pada 10 Januari, Juliar melakukan pledoi atau pembelaan. Jaksa penuntut umum Iwan Roy Charles SH dan Aci Jaya Saputra SH menolak semua pembelaan terdakwa dan keterangan saksi yang meringankan dengan alasan narkoba yang menjadi barang buktinya terlalu banyak. Yakni 25 kg sabu dan 20.800 butir ekstasi. Sehingga JPU bersikeras menuntut mati Juliar bersama dua terdakwa lainnya, Dedi Purwanto dan Andi Saputra. Ketiganya dijerat dengan UU Narkotika pasal 114 ayat (2) Jo pasal 132 dan pasal 112 ayat (2) UU tahun 2009.
Meski selanjutnya Pengadilan Tinggi Pekanbaru memutusnya dengan hukuman seumur hidup, pada Senin, 16 April lalu, namun dia merasa gundah. Pasalanya hakim agung bisa saja mengabulkan kasasi jaksa yang tidak terima hakim Pengadilan Tinggi meringankan hukumannya menjadi seumur hidup.
“Saya inginkan keadilan. Saya ingin keadilan karena saya tidak tahu apa-apa atas perkara yang kini saya jalani,” ungkap Juliar saat menerima kunjungan Riau Pos di Lapas Bengkalis.
Banyak prosedur yang harus dilalui untuk bisa bertemu dengannya. Dan perlu waktu 20 menit menunggunya keluar dari sel menuju tempat besuk. Ada kebingungan di raut wajahnya, karena dia tidak mengenal dan tidak mengetahui siapa yang membesuknya. Riau Pos melambaikan tangan ke arahnya, barulah dia yang mengenakan kaos tahanan oranye berkrah, mengerti dan langsung bersalaman sambil tersenyum lebar, lalu duduk bersila.
Memandangnya dari dekat, Juliar terlihat pucat dengan mata yang tak berbinar. Ada sejumlah jerawat batu yang mulai memerah di wajahnya. Kumis dan janggut yang belum dicukur beberapa pekan, rambut yang hanya lima sentimeter, namun tidak dirapikan ulang, memperlihatkan bahwa dia sudah tidak peduli dengan dirinya. Beberapa gigi bagian bawahnya mulai menguning atau bisa dikatakan berkarat.
“Tak mudah bagi saya terus bertahan di tempat ini,” ucapnya.
Menurutnya, banyak kejanggalan yang diterimanya. Mulai dari proses penangkapan, sampai dia menjalani persidangan dan divonis mati. Apa yang kini menimpanya semua berawal dari November 2017. Dia wisuda dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bengkalis dan mendapatkan gelar sarjana ekonomi. Bahagia atas capaian itu tak berlangsung lama, karena hingga memasuki bulan keempat, dia masih belum juga mendapatkan pekerjaan.
Sekitar akhir Maret 2018, Jefri alias To (25) tetangganya yang juga teman kecilnya mengajaknya bekerja memelihara itik. Tawaran itu disambutnya dengan penuh suka cita. Selain kediaman mereka hanya terpaut tiga rumah, dia bisa menjaga ibu dan kedua adiknya yang kini bersekolah di madrasah aliyah dan madrasah tsanawiyah.
“Tahap awal kami membeli tiga kotak anakan itik seharga Rp1,2 juta per kotaknya. Selanjutnya membantu membuatkan kandang dan seluruh perlengkapan untuk itik-itik itu. Sekitar Rp5 juta lah pengeluaran Jefri untuk modal awal,” ceritanya.
Selain mengurus itik, tak jarang dia diminta membelikan minyak untuk kapal dan perahu milik Jefri yang berjumlah dua unit. Meski di rumah Jefri yang mulai dipoles menjadi lebih bagus, setiap hari banyak pemuda berkumpul dan sebagian lainnya duduk-duduk, namun Juliar tak menghiraukan. Dia hanya sekadar bertegur sapa dan kembali tenggelam dengan aktivitasnya mengurus itik.
Sebulan berlalu, hingga suatu siang, Rabu, 25 April 2018, dia diminta Jefri jalan-jalan ke Pekanbaru naik mobil travel bersama teman Jefri bernama Rusmanto (27) warga Desa Pasiran, Kecamatan Bantan, atau hanya sekitar 3-4 km dari Desa Jangkang. “Nanti sekalian minta uang kepada Rusmanto Rp2 juta untuk pegangan,” ungkapnya mengulang kata-kata Jefri kala itu.