MENTERI Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, akhirnya mulai membuka tabir permainan oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI yang menjadikan BUMN sebagai sapi perahan untuk mendapatkan uang. Selama ini Dahlan memang belum banyak bicara mengenai modus anggota dewan yang menghalalkan segala cara untuk memalak BUMN, termasuk dengan melakukan intervensi ke dalam internal BUMN.
Apa dan bagaimana modus oknum anggota dewan mencari celah mendapat curahan dana BUMN? Berikut liputan wartawan JPNN, Natalia Laurens di acara wawancara eksklusif JTV, "Blak-blakan dengan Dahlan Iskan", Senin (29/10).
Pak Dahlan menyadari bahwa potensi musuh akan banyak kalau menerima tawaran posisi Meneg BUMN, tapi Bapak tetap mengambilnya. Apa yang tergambar dibayangan Bapak saat itu?
Sebetulnya, saya membayangkan bahwa yang paling sulit justru internal BUMN, karena waktu itu kan BUMN, diisukan sering kongkalikongah dan lain-lain. Saya sebetulnya membayangkan masalah internal yang lebih berat, karena itu saya kemukakan konsep untuk BUMN itu begini. Saya lontarkan satu pertanyaaan, kenapa BUMN itu tidak maju? itu penyebabnya banyak. Tapi penyebab utama adalah direksinya tidak kompak. Kenapa tidak kompak? penyebabnya banyak. Tapi penyebab utama, 80 persen adalah karena intervensi. Sehingga intervensi itu merugikan BUMN bukan karena uang saja, tapi setting manajemennya juga rusak karena intervensi itu.
Intervensi itu dari mana?
Intervensi ini ada dua, intervensi yang datang dari luar dan intervensi yang diundang oleh orang dalam. Nah, ini dua-duanya yang saya harus atasi. Oleh karena itu prioritas saya pertama adalah bagaimana membentengi intervensi itu. Termasuk mencegah terjadinya intervensi yang diulang.
Intervensi dari dalam misalnya begini : Anda Direktur Utama, saya direktur. Kemudian saya jadi direktur lagi. Saya sangat berambisi menggantikan anda untuk menjadi Direktur Utama. Nah kemudian saya cari backing di luar supaya nanti saya bisa menggantikan anda. Tapi kan anda juga enggak tinggal diamkan. Wah ini kelihatannya direktur saya ini berusaha mau gantikan saya, lalu anda cari backing juga di luar. Model yang begini-begini, itu intervensi yang datang dari dalam sebetulnya. Saya tidak mau terjadi seperti itu.
Artinya, harus solid. Supaya jadi solid, itu kementerian hanya akan memilih direktur utamanya. Setelah Direktur Utama ditetapkan, baru nanti kementerian dan Direktur Utama memilih siapa saja menjadi direktur di bawahnya. Dengan demikian terjadi kekompakan. Kalau dulu kan enggak gitu.
Berarti bisa angkat teman dekatnya?
Kan mesti didiskusikan. Contoh anda ajukan beberapa nama, itu bisa peluang KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme). Tapi kita kan tidak bisa begitu saja terima yang anda ajukan. Kita diskusikan, kenapa pilih si A atau si B. Ini kan jadinya terbentuk tim yang solid, sehingga tidak mungkin dia mengundang intervensi dari luar, karena sudah solid. Atau dari luar intervensi juga sulit, karena solid. Intervensi luar misalnya yang terjdi belakangan ini saya sebut kongkalikong itu, ada misalnya oknum anggota DPR yang minta bagian atau minta setoran.
Ini intervensi yang diundang, atau intervensi dari luar?
Dulu ada dua. Ada yang dari luar, ada juga yang dari dalam. Dari dalam misalnya begini, ada perusahaan misalnya Karya itu, apakah Adhi Karya atau apakah yang sering disebut-sebut itu. Konstruksi gitu. Untuk mendapatkan proyek, katakanlah gedung DPR, waktu itu yang ramai itu, mungkin dia yang aktif, karena ingin mendapatkan proyek dia ya aktif menawarkan untuk kongkalikong.
Bisa juga, orang dari DPR yang mengajak kontraktor ini untuk kongkalikong. Bisa juga begitu. Intinya saya tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja dari BUMN yang berinisiatif. Tetapi, dalam hal yang terjadi sekarang, itu sudah sepenuhnya intervensi pada BUMN berasal dari luar.
Artinya Bapak ingin mengatakan bahwa pungli atau kongkalikong itu terjadi, karena intervensi dari luar?
Iya dari luar.
Luar ini dari DPR maksudnya?
Iyalah. Kalau saya sebut dari DPR, orang DPR marah. Katanya harus menyebut dengan oknum anggota DPR. Saya ikutlah nyebutnya oknum anggota DPR. Sama saja.
Bagaimana polanya?
Sebenarnya saya prihatin, KPK sudah besar-besaran menangkap orang yang korup. Ternyata orang-orang itu enggak kapok. Jadi seperti yang baru saya ungkapkan.
Misalnya begini; ada perusahaan BUMN, kecil sekali, susah dan tugasnya juga melayani petani. Perusahaan ini akan mendapat bantuan dari pemerintah sekian ratus miliar. Karena tahu soal itu, oknum anggota DPR tadi datang. Dia minta bagian 10 persen dan mengatakan harus dibayar di depan sebelum turun dari APBN itu.
Tapi karena setahun terakhir ini saya sudah pagari hal seperti itu maka Direktur Utama perusahaan itu menolak. Tapi karena didesak terus, maka Dirutnya mengajak direktur yang lain menemui oknum anggota DPR tersebut.
Tapi itu tetap dia (anggota DPR) tidak malu dan tetap minta bagian 10 persen di depan tiga orang dari jajaran direksi ini. Ini kan sudah tidak rahasia lagi kan, kalau sudah di depan tiga orang ini. Kok ya dia sampai hati ya. Ini perusahaan kecil yang tugasnya melayani petani. Dia berani meminta begitu.
Seharusnya ada penyadap di situ Pak?
Kan sudah ada saksi di situ. Mereka tiga orang nemuin anggota DPR itu. Saya sudah ngomong dengan Dirut, kata dia ada yang minta bagian 10 persen. Tapi Dirut tidak berani kongkalikong seperti itu. Dia (Dirut) "ngelesi". Ngeles menolak permintaan anggota DPR itu, dengan pura-pura tanya Direktur keuangannya, "Eh ini ada permintaan ini 10 persen,". Dia sebetulnya tidak tanya sungguh-sungguh. Itu sudah diatur. Lalu direktur keuangannya jawab, "Enggak ada pak, enggak ada anggarannya untuk itu" Terus, nanti Dirut bilang ke anggota DPR itu, "Pak menurut direktur keuangan, enggak ada mata anggarannya, enggak ada anggarannya".
Tapi tetap enggak menyerah si oknum anggota DPR ini. Bahkan dia (oknum anggota DPR) malah ngajari direktur-direkturnya. Katanya, "Lho ini enggak perlu dari anggaran langsung".
Ini kan berarti dia nguber, ngebet banget dapat uang dan akhirnya ngajarinnya. Dia mengajarkan uang itu tidak perlu langsung diberikan, tapi melalui vendor atau rekanan. Nanti rekanan yang akan memberikan jatah itu pada anggota DPR tersebut.
Lalu bagaimana tanggapan direksi BUMN itu setelah mendengar oknum anggota DPR itu?
Teman-teman direksi tidak mau diajak begitu. Mereka bilang: "Lho Pak kami itu enggak punya rekanan. Rekanan kami itu petani semua. Enggak mungkin kami melakukan itu pada petani, terus disetorkan ke bapak". Sampai dijelaskan begitu oleh direksi kami. Tapi masih memaksakan. Tapi sudah ditolak. Jadi memang begitu. Ini satu kasus. Yang lain, ada beberapa lagi. Ini kebangetan, sudah tahu perusahaannya kecil, lagi susah, petani juga, kok ya tega.
Itu oknumnya atas nama sendiri atau dari Partainya Pak?
Saya tanya pada direksinya itu, dia bilang oknum itu mengaku disuruh mewakili dari teman-temannya. Nah saya tidak jelaskan lebih lanjut, apa temannya satu fraksi atau satu partai, atau satu komisi, saya tidak jelaskan. Tapi yang jelas, itu bukan dia sendiri.
Kalau perusahaan yang kecil saja begitu, bagaimana dengan perusahaan yang besar ya Pak?
Saya sudah tekankan tidak boleh terjadi itu. Yang seperti ini banyak, saya sudah cek, tapi mereka ngaku enggak mau kongkalikong. Yang seperti itu harus diakhiri.
Saat menjabat sebagai Dirut PLN, apa pernah ada yang memberi upeti?
Selama di PLN, jangankan upeti. Gaji aja kan tidak saya pakai, tidak saya ambil. Mobil, saya pakai mobil saya sendiri, rumah pakai rumah saya sendiri. Handphone, punya saya sendiri. Jadi untuk apa ambil upeti. Gaji saya dulu cukup besar, hampir Rp 150 juta. Itu enggak saya ambil, ngapain saya ambil upeti. Di kementerian juga saya tidak ambil gaji. Kalau sebagai menteri BUMN, kebetulan saya kasihkan orang. Saya kasihkan pada anak-anak muda, yang saya minta pulang dari Jepang. Saya tahu di Jepang, gajinya tinggi, di sini gajinya rendah, karena itu gaji saya otomatis jadi gaji dia. Agar mereka pulang ke Indonesia.
Bapak ini sering disebut mencari pencitraan untuk 2014, bagaimana tanggapan Bapak?
Saya itu dibilang pencitraan, Alhamdulilah. Dibilang banyak kerja Alhamdulilah, enggak apa-apa.
2014 apa akan maju?
Saya itu percaya sepenuhnya pada takdir. Saya tidak mendahului. Kalau di Atas takdirnya bagaimana, saya terima. Saya lihat dalam perjalanan, banyak orang yang sangat mau jadi presiden, tapi toh enggak bisa jadi juga. Jadi saya sangat percaya bahwa dalam urusan jabatan itu campur tangan Tuhan sangat menentukan. Sekarang kita bekerja dulu saja.***