MENCERMATI NASIB SUNGAI DI PEKANBARU

Kalah oleh Pertumbuhan Kota

Feature | Minggu, 30 September 2012 - 09:06 WIB

Kalah oleh Pertumbuhan Kota
(Foto: Hardyono Makruf for Riau Pos)

Pernahkah anda mengetahui dulu sungai-sungai di wilayah Pekanbaru adalah penyumbang keperluan ikan untuk warga kota? Bila berkunjung ke pasar, akan sangat mudah mendapatkannya. Kini, ikan-ikan itu ibarat hilang ditelan masa. Layaknya sungai yang tinggal menyisakan asa.

Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Wajah Restu dan Darmawan sudah merah kehitaman. Topi yang mereka gunakan seakan tak mampu menghalangi sengatan panas matahari di pinggiran Sungai Sail di sekitaran perumahan Kuantan Regency, siang itu, Jumat (28/9/2012).

Pohon-pohon redup mereka jadikan tempat bersembunyi agar tak terlalu tersiksa oleh suhu udara yang demikian panas siang itu. Sudah hampir dua jam mereka duduk di pinggiran saluran air berwarna kuning kecoklatan yang keruh dan sesekali dilintasi sampah limbah rumah tangga. Baru ada beberapa ekor ikan di dalam tempayan yang mereka bawa. Beberapa ekor sejenis baung kecil dan gabus.

Tapi, mereka tak hendak berpindah dari tempat itu, karena memang, sebelumnya sudah berpindah dari beberapa lokasi. Mulai dari pinggiran Sungai Siak di bawah Jembatan Siak I, pelabuhan Tanjung Batu.

Susahnya mencari lokasi yang nyaman dan mudah  untuk mencari ikan membuat mereka akhirnya memilih bertahan di tempat itu. ‘’Ya, ini terakhirlah bang, kalau disana, dari pagi sudah, tak banyak ikan, makanya kami sampai di sini. Katanya disini sesekali ada juga ikan-ikan bagus,’’ungkap Darmawan saat ditemui.

Kawasan tempat mereka melemparkan kail itu, dulunya adalah bagian dari lokasi pemijahan ikan baung alami yang banyak mendiami Sungai Siak. Tapi, itu dulu, beberapa puluh tahun yang lalu. Sekitar tahun 70-80-an. Selepas itu, seiring perkembangan waktu, pertumbuhan kota yang demikian pesat dan tumbuhnya kawasan pemukiman, titik-titik yang menjadi habitat tumbuh kembang satwa air itupun mulai terusik. ‘’Limbah, penyempitan aliran sungai, pendangkalan, termasuk juga kerusakan catchment area menyebabkan hampir tidak ada lagi yang tersisa untuk para penghuni aliran sungai tersebut.

‘’(Maaf) Kalau bisa saya bilang, sekarang, sungai-sungai itu tidak lebih dari tempat buangan. Tempat orang membang limbah rumah tangga, termasuk juga sampah,’’ sebut Tengku Ariful Amri, Direktur Rona Lingkungan Universitas Riau.

Ditemui di ruang Laboratorium Kimia Fisik MIPA Universitas Riau, Ariful menyebutkan, idealnya hal tersebut tidak terjadi. Sungai, menurut dia, mempunyai banyak fungsi. Sungai juga menjadi salah satu urat nadi yang harusnya dikelola dengan menggunakan etika dan estetika.

Selain menjadi habitat hidup untuk makhluk hidup seperti ikan lainnya yang ada di dalam air, sungai juga mempunyai fungsi sebagai sarana atau moda transportasi, fungsi sosial sebagai urat nadi kehidupan masyarakat termasuk aktifitas mandi, cuci.   

Namun, disinilah letak kelemahan yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan. Tingginya keperluan masyarakat untuk lahan, menyebabkan terjadi perburuan dan perubahan terhadap fungsi kawasan. Sungai yang dulunya lebar dan dalam, berubah menjadi sempit dan dangkal. Bahkan, penelusuran kita menemukan ada banyak sekali aliran sungai yang kemudian ditutup karena kepentingan-kepentingan seperti itu,’’ ungkap dia.

Ariful mencontohkan seperti aliran Sungai Sail tersebut. ‘’Dulu, dari Sungai Siak, warga masih bisa menggunakan sampan untuk sampai ke Harapan Raya. Tapi sekarang kan sudah tak bisa lagi. Dulu, banyak orang mencari ikan di sungai-sungai kita ini. Tapi, sekarang, wah bisa kita bilang  hampir tak ada. Kalau dulu orang membawa ikan ke pasar menggunakan jerat, sekarang, ikan-ikan yang kita konsumsi berasal dari luar Pekanbaru. Dari Kampar, Pelalawan, dan daerah-daerah sekitar,’’ keluh lelaki yang lama berkiprah dalam menangani persoalan lingkungan di Riau ini.

Tak hanya di Sungai Sail, Sungai Sago, Senapelan, Air Hitam,  juga mengalami nasib yang sama. Menggambarkan sungai-sungai itu, dijelaskan Ariful, tidak serta merta membayangkan arus deras sungai-sungai besar seperti Sungai Siak. Sungai-sungai besar itu berasal dari saluran-saluran kecil yang kemudian bermuara ke sungai-sungai besar.

Penelitian yang pernah dilakukan Rona Lingkungan, jelas Ariful Amri, di Pekanbaru, ada sangat banyak sekali aliran sungai. Bahkan untuk anak-anak sungai, jumlahnya mencapai ratusan. Tapi kini, sudah banyak sekali anak-anak sungai yang selama ini menjadi sumber air untuk sungai-sungai besar tersebut yang hilang. ‘’Ada yang ditimbun dengan sengaja, ada juga yang akhirnya mati karena  daerah-daerah tangkapan air yang selama ini menjadi sumber mata airnya tergerus oleh pertumbuhan kota,’’ ungkap dia.

Beberapa sungai besar yang sampai sekarang masih ada, diantaranya adalah, Sungai Sail, Sago, Setukul, Sibam, Air Hitam, Senapelan, Limau, Umban Sari,Pengamban, Ukui, Tampan serta beberapa anak-anak sungai lainnya yang tidak tersebutkan satu demi satu.

Namun, dijelaskan Ariful, sungai-sungai tersebut menjadi urat nadi dari kehidupan masyarakat Kota Pekanbaru dulunya.

Lantas, apa yang menyebabkan hilangnya fungsi sungai sebagai perangkat sosial di tengah masyarakat? Ariful menyebutkan ada banyak sekali faktor. Mulai dari kesadaran masyarakat tentang fungsi sungai, kerusakan di hulu sungai termasuk juga lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pembangunan di areal sempadan sungai.

Selain lemahnya pengawasan, faktor lain yang yang juga penting adalah semakin rendahnya kesadaran untuk mempertahankan vegetasi kawasan di sekitar sungai yang berdampak walaupun sungai ada, namun, mengalami degradasi terhadap ketersediaan keperluan hidup makhluk yang ada di sekitarnya.

Menurut Ariful, kesetaraan antara hidrologi dan vegetasi itulah yang akan menjamin kelangsungan keberadaan sungai untuk jangka panjang. ‘’Hari ini, beberapa sungai sudah terancam menjadi parit karena dibangunnya perumahaan maupun hotel-hotel yang ada di sempadan sungai. Walau semuanya mengaku mengantongi Amdal, namun hal tersebut tidak menjamin bahwa aktivitas tersebut sesuai dengan ketentuan,’’ jelasnya.

Saat ini, mungkin hal tersebut diakui dia belum berdampak pada terjadinya perubahan ekosistem seperti sungai yang semakin mngering, atau kesulitan air. Namun, ke depan, kebijakan yang tidak memperhatikan ekosistem lingkungan termasuk sungai-sungai tersebut akan berdampak pada terjadinya pembengkakan cost pemeliharaan lingkungan bagi pemerintah dan masyarakat.

Ariful sendiri menilai pemerintah Kota Pekanbaru gagal dalam melaksanakan pembangunan dengan memperhatikan tata ruang sebagaimana diamanatkan oleh UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang maupun PP nomor 26 tahun 2008 tentang pengawasan penataan ruang di kabupaten dan kota.

Sementara itu, pengamat dan konsultan perencanaan perkotaan, Mardianto Manan mengungkapkan, konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan areal sungai tidak bisa diukur dengan membuat hitungan berdasarkan angka-angka.

Dia memisalkan perihal penentuan sempadan sungai dan pemukiman yang lazim disebut buffer zone  yang selama ini hanya dilihat dari aspek fisik 50 atau 100 meter dari bibir sungai. Padahal, bila mengacu secara praktis, daerah aliran sungai adalah kawasan dengan kontur kelandaian dataran yang sama hingga ditemukan punggung bukit. Artinya, sepanjang masih di dataran yang sama, harusnya tetap menjadi kawasan penyangga aliran sungai. Hanya saja, diakui Mardianto, dalam praktiknya, kondisi tersebut tidaklah terjadi.

Karena itulah, Mardianto yang juga Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (FORDAS) Riau itu menggambarkan bahwa DAS tidak diukur berdasarkan luasan atau wilayah administratif. ‘’Tak ada batas wilayah, tidak melihat kabupaten dan kota. Karena sungai diukur sebagai satu kesatuan dari hulu ke hilirnya. Karena itu juga, memeliharanya juga harus secara keseluruhan, lugas dia.

Lantas seperti apa mempertahankan kondisi sungai yang ada ke depan? Mardianto sendiri lebih melihat aspek perimbangan sesuai dengan ketentuan antara pengelolaan kawasan lindung (hutan, DAS) dan kawasan budi daya, yakni pemukiman, industri dan peruntukan lainnya.

Saat ini, Mardianto tidak menampik terjadi pertarungan yang luar biasa dahsyatnya yang pada akhirnya memang cenderung mengorbankan kepentingan kawasan-kawasan lindung tersebut.

Dia mencontohkan banyaknya anak sungai  dan kawasan tangkapan air yang akhirnya habis karena tingginya kepentingan ekonomi terhadap penguasaan lahan yang ada. Apalagi bila dikaitkan dengan di kawasan perkotaan.

‘’Bila dibandingkan antara mempertahankan lahan untuk bertani atau bercocok tanam dengan membangun ruko atau pemukiman, pastinya, lebih menguntungkan membangun ruko atau pemukiman. Namun, bila bicara dari aspek lingkungan, jelas untuk jangka panjang, akan berdampak pada biaya sosial dan ekonomi yang akan dikeluarkan ke depan,’’ jelas Mardianto.

Karena itulah, sambung Mardianto, bila dikaitkan dengan keberadaan sungai-sungai di Pekanbaru yang kondisinya  semakin kritis, Pekanbaru memang akan dihadapkan dengan persoalan besar ke depan. Apalagi bila tak ada upaya penyadaran lewat kebijakan bahwa sungai-sungai seperti Sail, Sago, Air Hitam, Senapelan juga merupakan urat nadi kehidupan.

Mardianto sendiri menilai, filosofi membangun Pekanbaru harusnya mengacu pada budaya sungai. Karena, awal mula berdirinya Pekanbaru berasal dari tradisi masyarakat sungai, yakni Senapelan. Namun, dalam kenyataannya, hal tersebut tidak termanifestasi dalam proses pembangunan kota, termasuk beberapa daerah lainnya di Riau.

Yang lebih memprihatinkan, dijelaskan Mardianto, sungai seperti kehilangan fungsi yang selama ini menjadi bagian yang terpisahkan dari masyarakat Pekanbaru itu sendiri. Dulu, masih banyak pemukiman yang menghadap ke sungai. Namun, kini, dengan membelakangi sungai, artinya, ya, hanya sebatas tempat membuang limbah rumah tangga.

Karena itulah, Mardianto sepakat dengan upaya membangun kawasan pinggir sungai dengan konsep water front city atau kota menghadap ke sungai. Hanya saja, sejauh apa progres dari rencana tersebut, memang belum tergambar.

‘’Saya sendiri masih membayangkan bisa melihat peradaban sungai masih ada di Pekanbaru, khususnya untuk sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Siak. Hanya saja, apakah mungkin dengan kondisi saat ini dan kebijakan yang ada, ya kita kembalikan lagi pada kebijakan pemerintah dalam menerapkan fungsi pengawasan dan penerapan sanksi juga kesadaran masyarakat,’’ ujarnya. *** 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook