Kampung Patin Desa Koto Masjid berapa tahun terakhir ini semakin dikenal, tidak saja di lokal namun juga nasional. Kampung yang dulunya miskin kini menjadi salah satu kampung kaya berkat inovasi dan pemberdayaan masyarakat.
Laporan HENNY ELYATI, Kampar
KAMPUNG Patin, ‘’si pesolek’’ yang dirindukan. Kampung yang berkembang dan sukses mandiri membangun ekonomi masyarakat melalui usaha mikro kecil menengah (UMKM) di bawah binaan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan Sekolah Tinggi Pariwisata Riau membuat kampung ini juara 1 regional Sumatera dan juara II nasional sebagai desa wisata.
Tidak saja sebagai desa wisata, Kampung Patin juga tumbuh berkembang dan mandiri. Zero pengangguran dan perekonomian terus meningkat. Kolaborasi pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, perusahaan, perguruan tinggi dan media massa membuat desa ini berhasil menggali potensi-potensi desa dan mengembangkannya sebagai daerah pembudidaya ikan patin.
‘’Setiap rumah wajib memiliki satu kolam. Itu motto kami,’’ ujar Kepala Desa Koto Masjid Arjunalis kepada Riaupos.co, baru-baru ini saat berkunjung ke sana.
Sesuai dengan motto ini, Kampung Patin Desa Koto Masjid ini mampu memproduksi 15 ton ikan patin setiap harinya. Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, produksi juga dipasarkan di luar Provinsi Riau bahkan hasil turunan pengolahan ikan patin sudah menembus pasar internasional.
Usaha budidaya perikanan ikan patin di Desa Koto Masjid sangat berkembang pesat. Selain menghasilkan ikan patin segar, Desa Koto Masjid juga menghasilkan bibit ikan patin, olahan salai ikan patin, kerupuk ikan patin, dan juga nugget ikan patin. Saat ini telah dibangun sentra pengelohan ikan patin dengan luas lahan sekitar 3 hektare.
Dengan harapan mampu menyerap seluruh panen ikan patin Desa Koto Masjid yang selalu meningkat. Desa Koto Masjid diyakini menjadi desa percontohan bagi desa di Riau, bahkan bagi daerah lain di Indonesia dalam peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Karena apa yang dilakukan Desa Koto Masjid dalam bidang perikanan sudah membuktikan mereka bisa menaikkan ekonomi masyarakatnya.
Pelopor Kampung Patin Desa Koto Masjid Suhaimi kepada Riaupos.co bercerita, Desa Koto Masjid adalah kampung yang direlokasi ke tempat yang lebih tinggi, karena pembangunan waduk PLTA Kota Panjang pada 1989-1992. Warga desa hanya memanfaatkan sektor perkebunan karet yang bergantung pada cuaca. Jika hujan turun, mereka tidak bisa menderes karet.
‘’Kalau hanya berharap dari perkebunan karet, peluangnya sedikit. Kami mencoba mencari komoditas baru, mencoba memilih teknologi, dan pembinaan yang tepat. Alhamdulillah, akhirnya terpilih komoditas ikan patin,’’ ucap Suhaimi.
Seiring waktu berjalan, kata Suhaimi, desa wisata Kampung Patin menjelma sebagai sentra perikanan yang mampu menghasilkan 15 ton patin per hari. Bagaimana tidak, hampir semua warga memiliki kolam ikan patin. Bisa dibilang tiada rumah tanpa kolam ikan.
‘’Kini ada 160 hektare cakupan kolam ikan yang menopang ekonomi warga di Kampung Patin,’’ katanya.
Hampir setiap rumah di sini terdapat kolam ikan. Satu rumah minimal ada satu kolam patin. Nilai tambahnya adalah wisata alam dan edukasi. Putaran uang di desa ini, bila dihitung dari hasil panen ikan, bisa mencapai Rp190 juta per hari. Karena ada bonus destinasi wisata, sejumlah pelajar, mahasiswa, akdemisi, kelompok tani, dan aparatur pemerintah, sering datang untuk melihat inovasi perikanan sembari berwisata.
UMKM di Kampung Patin dikembangkan dengan membuat produk olahan ikan patin, yaitu ikan asap atau dikenal dengan salai patin, nugget, kerupuk, bakso, abon, siomay, empek-empek, serta kerupuk kulit. Di desa ini telah banyak menyerap tenaga kerja. Sedikitnya, ada 32 usaha pakan ikan dan 60 kepala keluarga yang bekerja. Warga lainnya menjadi penyuplai bahan baku pakan ikan sebanyak 35-40 ton per hari.
‘’Belum lagi yang bekerja pada bagian pengolahan. Di sini, ada 12 blok pengasapan ikan salai patin. Ditambah lagi warga yang bekerja memanen ikan,’’ imbuh Suhaimi.
Warga di Kampung Patin tidak hanya menjual produk UMKM, pelet, benih, dan ikan segar. Namun, juga memfasilitasi kegiatan pelatihan pembenihan ikan, cara pembuatan pakan ikan, dan pengolahan ikan.
‘’Dengan adanya pelatihan ini, orang bisa rutin datang sekaligus beriwisata alam,’’ kata Suhaimi.
Sejarah Kampung Patin
Desa Koto Masjid, awalnya merupakan desa transmigrasi penduduk lokal akibat pembangunan PLTA ini adalah desa miskin. Namun dengan pengembangan perikanan yang diinisiasi Suhaimi dengan membuat kolam ikan patin ini membuat Desa Koto Masjid menjadi desa yang sejahtera di Kabupaten Kampar. Desa ini merupakan desa binaan PT Pertamina Hulu Rokan dan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Riau yang membuat daerah ini semakin terkenal sebagai desa wisata yang lengkap.
Kepala Desa Koto Masjid Arjunalis kepada Riaupos.co menjelaskan Desa Koto Masjid adalah nama suatu desa yang terletak di wilayah Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Nama dari Koto Masjid diambil dari nama sebuah dusun atau kampung pertama semasa Koto Masjid masih bergabung dengan Desa Pulau Gadang (sebelum pemekaran desa). Sekarang, wilayah lokasi dari dusun tersebut berada di genangan waduk PLTA Koto Panjang.
Desa Koto Masjid merupakan desa pemekaran dari Desa Pulau Gadang pada tahun 1999 sesuai dengan Keputusan Gubernur Riau Nomor: 247 tahun 1999 dengan jumlah 343 kepala keluarga (KK) dan jumlah penduduk 1.239 jiwa. Sebagai Pejabat Sementara (PJS) kepala desa adalah Bakarudin. Selanjutnya dua tahun kemudian, tepat pada tahun 2002 dilakukanlah pemilihan kepala desa yang pertama dengan jumlah calon kepala desa sebanyak lima orang. Dari lima calon tersebut terpilihlah Bakarudin sebagai Kepala Desa Koto Masjid untuk periode 2002-2007. Luas wilayahnya sekitar 425,5 hektare.
Perkembangan bidang perikanan Koto Masjid juga tidak terlepas dari dukungan sumber air yang sangat memadai. Pada awalnya Koto Masjid tidak memiliki sumber air dan tergolong daerah yang kurang baik untuk budidaya ikan. Namun, sejak ditemukannya sumber mata air berupa air bawah tanah yang sangat melimpah, Desa Koto Masjid berubah menjadi salah satu kawasan budidaya air tawar yang cukup dikenal dengan pemanfaatan air melalui sumur bor (artesis).
‘’Dulu desa kami ini masuk desa miskin dan sekarang menjadi desa kaya di Kabupaten Kampar dan semakin berkembang menjadi desa wisata setelah PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) masuk ke sini, membina masyarakat dan menjadikan Kampung Patin desa wisata yang lengkap dari hulu hingga hilir. Makanya daerah ini selalu dirindukan. Banyak yang datang ke sini ingin kembali berkunjung,’’ ujar Arjunalis.
Pada tahun 2022, Desa Koto Masjid dinobatkan sebagai desa pembudidaya ikan patin oleh Menteri Perikanan RI. Sebelumnya pada tahun 2021, di-SK-kan sebagai desa wisata Kampung Patin oleh Menteri Pariwisata RI.
‘’Membangun Desa Koto Masjid seperti sekarang ini tidaklah mudah, perlu bimbingan semua pihak, baik dari instansi terkait maupun perusahaan,’’ sebutnya.
Melalui binaan PT PHR dan STP Riau, Desa Koto Masjid dapat berkembang dan mengembangkan usaha hingga nama Kampung Patin tercatat di Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Pusat.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Kampar terus mendorong desa-desa di daerahnya untuk lebih maju dan mandiri. Termasuk Kampung Patin Desa Koto Masjid, satu dari ratusan desa yang mampu bersaing ke kancah nasional.
‘’Pemerintah daerah mendorong agar seluruh desa di Kabupaten Kampar terus bersaing dalam memajukan desa masing-masing,’’ kata Kadis Pariwisata Kampar Akyar Nur, Jumat (23/8).
Di Kabupaten Kampar, lanjut Akyar Nur, terdapat 137 badan usaha desa (Bundes) dan 69 destinasi religius menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan. Sehingga Bundes-Bundes yang ada saat ini bisa mencapai kemajuan seperti Kampung Patin.
‘’Pencapaian Kampung Patin berkat kerja sama semua pihak, terutama masyarakat desa yang bisa dibina dalam membangun usaha. Termasuk PT PHR dan STP Riau yang selalu membinanya. Pemerintah daerah mengucapkan terima kasih atas masukan dan pelatihan-pelatihan yang diberikan perusahaan,’’ ujar Akyar.
Pemda Kampar berharap perusahaan PT PHR dan STP Riau tidak saja berhenti di Kampung Patin. Tetapi terus melakukan pembinaan dan support di desa-desa lainnya. Sehingga ke depan, desa di Kabupaten Kampar ataupun Bundes-Bundes dapat bersaing ke kancah nasional serta menumbuhkan progres pariwisata.
Pola kerja sama yang diterapkan adalah pelaksanaan program CSR melalui penerapan pentahelix yaitu melibatkan unsur academician (akademisi), business (bisnis), community (komunitas), government (pemerintah) dan media (publikasi media) dalam pengembangan wisata berbasis komunitas.
Coordinator Social Performance (CSR) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Winda Camelia menjelaskan, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Riau melakukan pembinaan khusus program pariwisata di Desa Koto Masjid atau Kampung Patin. Selain Kampung Patin, PT PHR juga melakukan pembinaan untuk desa-desa lainnya di Provinsi Riau.
‘’Kampung Patin kita kembangkan dan bina sejak akhir tahun 2019. Perusahaan fokus dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia,’’ ujar Winda.
Pembinaan SDM yang dilakukan seperti pelatihan terkait dengan produk, packing dan digital marketing. Selanjutnya ada juga pelatihan khusus tour guide dengan membuat souvenir dan kuliner.
‘’Kita berharap melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan ke Kampung Patin ini menjadi mandiri dan role model untuk desa-desa wisata di daerah lain,’’ sebut wanita berkacamata ini.
Salah satu implementasi dari pelatihan yang dilakukan PT PHR bersama STP Riau adalah produk abon patin yang sudah merambah pasar internasional. Sekarang, abon patin sudah sampai ke negara tetangga Malaysia.
Wujud dari pemasaran ini, menjadikan hasil UMKM masyarakat binaan menjadi oleh-oleh kepada setiap pejabat yang berkunjung ke PT PHR, baik itu tamu internal maupun external.
Selain menjadikan oleh-oleh tamu, PT PHR juga giat melakukan pameran-pameran yang melibatkan SKK Migas dan pemerintah. Perusahaan selalu menampilkan hasil UMKM dari Kampung Patin.
Bantuan yang diberikan PHR dalam mengembangkan Kampung Patin adalah merupakan kombinasi antara bantuan infrastruktur dan perlengkapan seperti peralatan produksi dan pemasaran, plang dan atribut program desa wisata, renovasi toilet, perlengkapan homestay, pembentukan bank sampah, maupun pelatihan untuk peningkatan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia seperti pelatihan UMKM, pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja, pelatihan packaging dan food hygiene, pelatihan identifikasi objek wisata, pelatihan tour guide, pelatihan homestay, pelatihan kuliner dan suvenir.
Corporate Secretary PHR WK Rokan Rudi Ariffianto menyampaikan, sejauh ini, PHR telah melaksanakan program pengembangan desa wisata di Kampung Patin Desa Koto Masjid tersebut. Program itu meliputi perikanan, perkebunan, pertanian, hingga ekowisata. Desa ini bahkan telah memiliki produk unggulan berbahan olahan patin yang dibudidayakan masyarakat setempat, keberhasilan ini berkat kolaborasi pentahelix yang diterapkan oleh PHR.
Melalui program TJSL, PHR terus bergerak dan menggali potensi di Provinsi Riau yang juga berdampak pada kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.
‘’Banyak sekali potensi di desa tersebut, terutama di bidang ekonomi masyarakat dan pariwisata,’’ kata Rudi.
Secara terpisah, Direktur Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Riau Dr Eni Sumiarsih kepada Riaupos.co menjelaskan, selain wisata Kampung Patin, Desa Koto Masjid masih punya tempat wisata andalan yang tak kalah menarik, wisata Puncak Kompe, Sungai Gagak, dan Lembah Aman. Di sejumlah destinasi itu juga tersedia fasilitas penginapan bagi wisatawan. Ada 18 homestay yang disediakan dan beragam kuliner yang dapat dinikmati oleh para wisatawan yang berkunjung.
‘’Saat ini di Desa Wisata Kampung Patin telah terbentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Kelompok itu menghimpun masyarakat yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk mengembangkan Desa Koto Masjid menjadi desa tujuan wisata. Kelompok ini merupakan masyarakat yang peduli terhadap kemajuan daerah melalui pariwisata,’’ ujar Eni.
Selain ikan patin, Desa Koto Masjid juga punya sentra kerajinan tangan hasil olahan bambu, seperti rotan, dan pandan. Bahkan teman difabel (tuna rungu) juga ikut serta dalam mengolah produk kriya olahan bambu lidi rotan.
Desa ini pun memiliki program home recycle creative, di mana produk-produk ekonomi kreatifnya memanfaatkan sampah yang masih layak pakai atau limbah paralon, lalu dibuat menjadi pot, tempat tisu, baki gelas, hiasan dinding dan piring lidi rotan.
Selain mengurangi sampah juga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Ada pula produk fesyen yang dihasilkan, yakni batik khas Kampar, tas rajut, hingga sendal rajut.
Salai Patin, Produk Unggulan
Salah satu produk unggulan Kampung Patin Desa Koto Masjid selain ikan patin segar adalah salai patin. Salah satu UMKM yang memproduksi salai patin adalah UMKM Riski Salai. Salai dipasarkan ke Medan, Aceh, Palembang, Bengkulu, Padang, Pekanbaru, Dumai dan Batam.
UMKM Rizki Salai ini mampu memproduksi 3 ton salai setiap harinya. Dimana ada lima tungku milik Rizki Salai. Dari 1 kilogram ikan segar, setelah melalui proses pengasapan ikan akan menjadi 300 gram salai. Dalam satu tungku mampu menyalai ikan 600-700 kilo. Harga ikan patin segar di Kampung Patin Rp20.000 per kilogram, namun bisa menjadi ikan salai maka hanyanya menjadi Rp80 ribu per kilogram.
‘’Semakin kering ikan disalai, maka sekin tahanlah ikan tersebut disimpan. Oleh karena itu, ikan salai yang bagus tingkat kekeringannya harus benar-benar diperhatikan. Jika kurang dari 30 persen ikan berada di tungku maka dalam waktu dua minggu ikannya berjamur,’’ tutur Zaidi, salah satu pekerja sambil memperlihatkan perbedaan dari permintaan masing-masing daerah.
‘’Ini sudah pesanan semua. Nanti kalau ini jadi salai, kita tinggal kemas dan kirimkan sesuai pesanan,’’ katanya lagi.
Zaidi sudah bekerja di depan tungku ini sejak sentra ini dibuka tahun 2011. Dalam satu tungku pengasapan ikan, ada empat-lima orang pekerja. Tiga orang ibu-ibu bertugas membersihkan ikan patin sedangkan dua orang mengawasi tungku, menjaga api tetap menyala dan membolak-balik ikan agar kering secara merata.
‘’Bekerja sejak pukul 08.00 WIB sampai ikan selesai dibersihkan. Pulang ke rumah tidak tentu, kadang pukul 17.00 WIB, tapi ada juga pukul 20.00 WIB. Pernah juga pulang pukul 23.00 WIB. Pokoknya sampai selesai ikannya dibersihkan. Semuanya tergantung besar kecilnya ikan patin yang hendak dibersihkan,’’ aku Suryati (46).
Tiga orang ibu-ibu yang ditemui berbagi tugas walaupun secara keseluruhannya membersihkan ikan patin, namun tetap ada pembagian tugas sehingga pekerjaan yang mereka lakukan lebih cepat dan teratur. Satu orang membelah perut dan punggung ikan, satu orang memisahkan perut ikan dan satu lagi membilas ikan.
‘’Kami terima upah Rp600 per kilogram ikan, kami kerja borongan, dibayar per harinya. Dalam satu minggu hanya bekerja empat hari sedangkan tiga hari lagi untuk keluarga dan bekerja serabutan ke tempat lain,’’ sebut Nelisma (48).
Dalam sehari, kelima pekerja ini mampu mengerjakan ikan untuk diasap (salai) 1-1,5 ton. Perut-perut ikan ini dikumpulkan nantinya untuk dijadikan pakan ikan dan pupuk organik.
‘’Perut ikan ini sudah ada yang mengumpulkannya, jadi memang semua bisa dimanfaatkan,’’ sebut Elna Lifta (35).
Setelah ikan dibersihkan, ikan pun ditaruh dan disusun rapi di atas pemanggangan. Bila sudah penuh maka ikan yang sebelumnya berada di tungku dinaikkan ke atas. Demikian seterusnya hingga rak pemanggangan penuh. Waktu yang dibutuhkan dalam pengasapan dari ikan mentah menjadi salai kira-kira 8-10 jam.
‘’Tungku tidak bisa ditinggal, harus selalu dijaga dilihat komposisi bara apinya jangan sampai tidak merata. Dan tidak boleh juga ada nyala api yang besar,’’ sebut Zaidi.***
Editor: Edwar Yaman