Animator Ronny Gani mendadak menjadi perhatian publik perfilman Indonesia setelah terlibat dalam film The Avengers. Padahal, Ronny tidak pernah belajar animasi secara khusus. Kini dia memilih tinggal di Singapura.
TRI MUJOKO BAYUAJI, Jakarta
The Avengers termasuk film box office tahun lalu. Film Hollywood yang diproduksi Marvel Studios itu meraup pendapatan lebih dari USD 1,5 miliar atau sekitar Rp 15 triliun (kurs USD 1 = Rp 10.000). Di balik kesuksesan film yang disutradarai Joss Whedon serta dibintangi Robert Downey Jr dan Chris Evans itu, ternyata terdapat sentuhan tangan anak Indonesia.
Dia adalah Ronny Gani. Pria kelahiran Jakarta, 16 Maret 1983, tersebut mendapat kesempatan besar menggarap film kelas dunia setelah bekerja di Industrial Light and Magic (ILM), studio digital effect Hollywood yang memiliki cabang di Singapura.
ILM berada di bawah naungan Lucasfilm Limited yang didirikan George Lucas, sutradara dan produser yang namanya melambung berkat film fenomenal Star Wars dan Indiana Jones.
"Saya bekerja di ILM sejak November 2011," ujar Ronny menjawab pertanyaan Jawa Pos melalui surat elektronik atau e-mail pekan lalu.
The Avengers adalah "karya" pertama Ronny saat berada di departemen VFX (visual effect). Departemen itu khusus menangani efek gerak animasi film-film Hollywood. Jutaan gerak animasi saat adegan peperangan antara para Avengers, superhero ciptaan Marvel, dan alien merupakan salah satu hasil kreasi Ronny dan departemennya. "Saya terlibat di bagian itu," ungkapnya.
Meski "tidak seberapa", scene itu cukup "menentukan" bagi jalannya film yang peredarannya ditangani Walt Disney Studios Motion Pictures tersebut. Sejak film itu meledak di pasaran, termasuk di Indonesia, nama Ronny mulai disebut-sebut sebagai salah seorang animator yang punya andil dalam kesuksesan film tersebut.
"Saya belum apa-apa. Masih harus terus belajar," tuturnya merendah.
Proyek kedua Ronny setelah The Avengers adalah film Pacific Rim. Film itu bertema invasi alien berjuluk Kaiju ke bumi. Para alien yang telah lama tinggal di perut bumi mendapat perlawanan dari bangsa seluruh dunia. Perlawanan tersebut diwujudkan dengan penciptaan robot-robot raksasa dalam proyek yang disebut Jaeger.
Pencapaian Ronny sejauh ini memang tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh proses panjang dan rumit. Sejak kecil Ronny memang menggemari film animasi atau film kartun. Ronny kecil juga suka menggambar.
Namun, dia tidak pernah memikirkan bahwa kegemaran dan hobinya itu kelak berguna untuk menunjang profesi. "Saya tidak pernah mengambil kursus atau sekolah art (seni, Red) apa pun," tegasnya.
Baru saat kuliah, mulai muncul keinginan Ronny untuk memaksimalkan kegemarannya itu. Dia ingin mempelajari desain grafis. Namun, keinginan tersebut ditentang orang tua. Bapak-ibunya menginginkan Ronny masuk fakultas ekonomi. Akhirnya, Ronny dan orang tuanya berkompromi mengambil jalan tengah.
"Saya akhirnya memilih masuk arsitektur. Orang tua saya juga senang," ujar lulusan Universitas Indonesia 2005 itu.
Meski begitu, Ronny sempat pesimistis terhadap akhir studinya. "Saya ragu apakah saya bisa hebat dan berhasil di bidang arsitektur," katanya.
Namun, di tengah pesimisme itu, masih ada sedikit harapan. Jurusan arsitektur memperkenalkan Ronny pada penggunaan software 3D (tiga dimensi). Sejumlah mata kuliah arsitektur memang mewajibkan mahasiswanya menggunakan software 3D untuk menciptakan karya.
Ronny pun memilih berkonsentrasi di dunia 3D melalui berbagai software yang ada. Dari situlah dia akhirnya memahami bahwa software 3D memiliki fungsi yang sangat luas. "Termasuk dalam pembuatan film dan animasi," jelasnya.
Berbagai materi dikumpulkan Ronny. Mulai buku tutorial, online tutorial, hingga mengikuti berbagai seminar 3D. Ronny pun akhirnya mantap memilih fokus pekerjaannya setelah lulus kuliah. "Semua itu saya lakukan untuk membuat demo reel/portofolio untuk melamar pekerjaan sebagai animator," ungkapnya.
Pekerjaan pertama "memaksa" Ronny pergi dari Jakarta menuju Batam. Dia bergabung di Infinite Frameworks Studios pada 2006. Dia sempat menghasilkan satu karya animasi pendek berjudul Sing to the Dawn.
Pengalaman bekerja itu digunakan Ronny untuk mencoba kemampuan di negara tetangga, Singapura. Januari 2008, dia diterima di Sparky Animation, sebuah perusahaan lokal Singapura yang mendapat order proyek untuk serial-serial kecil di televisi. Di perusahaan itu, Ronny menghasilkan film berjudul Veggie Tales: Big River Rescue.
"Tapi, saya merasa belum mendapat apa-apa di situ. Sebab, masih banyak yang bisa dieksplorasi di dunia animasi," ujarnya.
Setelah mendapat tambahan pengalaman, Ronny kembali meloncat pagar. Dia pindah ke Lucasfilm Limited Cabang Singapura. "Di Lucasfilm, saya mengerjakan proyek serial TV Star Wars: The Clone Wars," bebernya.
Tidak butuh waktu lama, Ronny langsung ditawari menjadi karyawan tetap di sana. Dia melanjutkan proyek yang sama selama 3"4 tahun. Baru pada akhir 2011 dia pindah ke departemen VFX untuk kemudian mengerjakan proyek-proyek film Hollywood.
Menurut Ronny, dibanding dukanya, banyak sukanya bekerja di ILM. Duka yang dia rasakan sebatas kewajiban untuk bekerja tanpa mengenal waktu. Namun, duka itu tertutupi karena lingkungan pekerjaaan yang kondusif dan tidak kaku.
"Kalau bekerja sesuai passion, pasti menyenangkan," ujarnya.
Hingga empat tahun bekerja di ILM, baru sekali Ronny melihat bosnya, George Lucas, datang di Singapura. "Meski kantor pusat saya ada di belahan dunia lain, beliau selalu memberikan perhatian penuh dan hands on terhadap kantor di Singapura," tuturnya.
Dalam menggarap proyek film, kru ILM tidak berkomunikasi secara langsung dengan sutradara. Saat mengerjakan Pacific Rim, misalnya, sutradara Guillermo del Torro cukup mengirimkan rekaman video terkait dengan keinginannya dalam penciptaan animasi.
"Tapi, secara interaksi, bisa dibilang kami langsung berhubungan dengan director meskipun melalui bantuan teknologi komunikasi," jelasnya.
Ronny ingin lebih banyak lagi anak muda Indonesia yang mau terlibat dalam industri film animasi dunia. "Yang penting terus mengembangkan skill dan disiplin," ujarnya.
Kini dia memilih tinggal di Singapura. Bahkan, mungkin pergi lebih jauh untuk mengembangkan karir dan kemampuan.
"Namun, suatu saat nanti saya pulang ke Indonesia. Saya ingin mendirikan sekolah animasi atau studio sendiri," tegasnya. (*/bersambung/c5/ari)