SUAKA ELANG-CHEVRON INISIASI PELEPASLIARAN PERTAMA DI SUMATERA

Berharap Lahirnya Pusat Konservasi Elang di Riau

Feature | Senin, 30 Juli 2012 - 08:26 WIB

Berharap Lahirnya Pusat Konservasi Elang di Riau
Elang Brontok saat di lepas di Hutan Adat Buluh Cina. (FOTO: CHEVRON)

Laporan BUDDY SYAFWAN dan HENNY ELYATI, Buluh Cina

Riau memiliki posisi sangat penting dalam kaitannya dengan keseimbangan ekosistem karena termasuk dalam jalur migrasi burung elang.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pada 14 Juli lalu, Hutan Adat Buluh Cina, Kampar, menjadi saksi kegiatan pelepasliaran burung elang yang pertama di tanah Sumatera.    

Perkumpulan Suaka Elang (PSE), dengan menggandeng PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), menginisiasi sebuah kegiatan yang menjadi tonggak bersejarah dalam pelestarian burung elang di Riau.

Mereka melepasliarkan seekor Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus) yang dibawa dari pusat konservasi PSE di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat.

PSE merupakan lembaga non-profit yang bergerak di bidang rehabilitasi dan pendidikan konservasi berbasis raptor.

‘’Sejauh yang saya tahu, ini merupakan pelepasliaran elang pertama di Sumatera dengan melalui prosedur yang benar,’’ tutur Gunawan, selaku Koordinator Pengembangan Program PSE saat ditemui Riau Pos di sela-sela acara yang dilaksanakan Sabtu (14/7) lalu.

Pelepasliaran yang benar harus melalui beberapa tahapan tertentu, salah satunya, secara perlahan elang harus ‘dilatih’ untuk berjuang hidup di alam bebas sebelum benar-benar dilepasliarkan. Tidak boleh dilepaskan begitu saja.   

Mengapa kegiatan pelepasliaran ini penting? Burung Elang adalah puncak dari mata rantai makanan di alam liar, atau juga dikenal dengan istilah top predator.

Perannya penting untuk menciptakan keseimbangan ekosistem. Ketika elang kehilangan tempat tinggal dan sumber makanan, bisa jadi ini bakal menjadi pertanda buruk.

Gunawan mencontohkan ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Riau pada 1997 lalu. Dalam waktu yang hampir bersamaan, terjadi serangan wabah belalang di Lampung yang menyebabkan gagal panen di kalangan petani.

Penyebabnya tak lain adalah tidak tertanggulanginya populasi belalang. Wabah merebak karena secara tidak langsung berkaitan dengan terganggunya jalur migrasi elang di Riau akibat asap kebakaran hutan.

Provinsi Riau, jelas aktivis yang sangat mengenal kehidupan burung raptor itu, merupakan pintu masuk bagi burung elang migran yang berasal dari Siberia.

Dua jalur utama lainnya adalah dari arah Sabah (Malaysia) menuju Kalimantan dan dari Filipina menuju Sulawesi. Elang dari Siberia bermigrasi ke Indonesia pada sekitar bulan September hingga November.

Elang-elang tersebut menyusuri pesisir pantai beberapa negara, termasuk salah satunya adalah Pulau Rupat yang berlokasi di seberang Dumai.

‘’Ketika kebakaran itu terjadi, elang migran yang jumlahnya mencapai ribuan tersebut menghindar dari rute tahunan yang biasa mereka lintasi,’’ tutur dia.

Ini juga yang kemudian, menurut Gunawan, menjadi cikal-bakal mengapa Riau dijadikan pilihan utama untuk lokasi pelepasliaran Elang Brontok.

‘’Selain berharap bisa memberikan rumah baru bagi Elang Brontok bernama Duduy ini, kita juga ingin memberikan penyadartahuan kepada masyarakat bahwa menjaga ekosistem hutan Riau yang menjadi rumah bagi berbagai jenis satwa termasuk elang adalah sebuah keharusan,’’ tegas Gunawan.

Dalam kegiatan ini, PSE berkolaborasi dengan Raptor Indonesia (RAIN) Simpul Riau dan Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH). RAIN merupakan jaringan peneliti raptor di Indonesia.

Pelepasliaran Elang Brontok ini memang tidak secara langsung dapat menyelesaikan segala persoalan. Namun, secara tidak langsung, kegiatan semacam ini memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya ekosistem hutan yang terjaga.

Elang yang dilepasliarkan diberi nama Duduy. ‘’Elang tersebut kami dapatkan dari seorang pemilik satwa yang secara sukarela menyerahkannya kepada kami. Menurut pemiliknya, elang itu dulu diperoleh dari Sumatera,’’ papar Gunawan.

Ke depan, dia berharap lahir pusat konservasi elang di Riau dengan, salah satunya, mereplikasi apa yang pernah dirintis PSE di Jawa Barat.

Pemilihan Lokasi

Penjuangan untuk menyelamatkan Duduy ternyata juga bukan hal yang mudah. Mereka harus berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) di Jawa Barat maupun Riau, kemudian masalah pengangkutan satwa, hingga survei yang harus dilakukan di tiga lokasi, yakni Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim di Minas, Kabupaten Siak, Hutan Alam di lingkungan kompleks Chevron di Rumbai, serta Hutan Adat Buluh Cina.

Tahura SSH awalnya menjadi pilihan pertama untuk ‘’rumah’’ Duduy. Dengan kawasan hutan yang diawasi ini, diharapkan bisa memastikan terjaganya mata rantai kehidupan. Namun, di kawasan tersebut ternyata ditemukan elang sejenis sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan persaingan hidup elang dalam satu wilayah jelajah.

Sebagai alternatif kedua, mereka melakukan survei di kawasan Hutan Alam Chevron di Rumbai yang luasnya mencapai 400 hektare dengan kondisi yang terjaga baik. Namun, hasil survei menunjukkan bahwa selain ditemukan elang sejenis, Hutan Alam Rumbai memiliki sejumlah sarang elang ditemukan di antara rimbunnya pepohonan.      

‘’Sarang-sarang elang seperti itu hanya bisa ditemukan di lokasi-lokasi yang ekosistemnya bagus. Karena itulah, kami survei lagi hingga akhirnya diputuskan lokasinya di Buluh Cina,’’ papar Gunawan.

Pemilihan lokasi mempertimbangkan faktor-faktor, di antaranya, kejelasan status perlindungan lokasi, karakteristik habitat, ketersediaan pakan, kehadiran burung sejenis atau pemangsanya, serta tingkat gangguan dan ancaman dari manusia.

Elang termasuk tipikal raptor yang sensitif dan rentan untuk berkonflik antar sesamanya. Karena itulah, untuk proses pelepasliaran tidak serta-merta bisa dilakukan tanpa survei untuk memastikan lingkungan yang baru bisa memenuhi standar tempat hidup yang layak. Karenanya, tidak mungkin menempatkannya di satu wilayah yang di sana juga ada populasi sejenis.

Kemitraan dengan Pihak Swasta

Lantas, apa yang melatarbelakangi pihak swasta seperti Chevron untuk menginisiasi pelepasliaran ini? Imamul Ashuri, selaku Manager Policy, Government, and Public Affairs (PGPA) PT CPI, mengatakan bahwa pihaknya memiliki komitmen yang sama dengan PSE untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Komitmen tersebut, dijelaskan Imamul, diaplikasikan dalam operasional perusahaan maupun dalam kebijakan yang berkaitan dengan penanganan permasalahan lingkungan.

Imamul menjelaskan, Chevron juga mengelola kawasan hutan seluas berkisar 400 hektare di Rumbai yang kondisinya tetap tejaga seperti aslinya hingga saat ini.

Luasan itu belum termasuk hutan-hutan yang juga terjaga baik di kompleks Chevron lainnya seperti di Minas, Duri, dan Dumai.

Kawasan hutan tersebut masih menyimpan sejumlah koleksi tumbuhan dan satwa yang masuk kategori dilindungi.

‘’Terus terang, kebijakan perusahaan adalah karena kita yang tinggal di hutan, makanya kita yang beradaptasi dengan lingkungan. Satwa-satwa itu adalah pemilik habitat tersebut, dan kita yang harus menyesuaikan diri,’’ ungkap Imamul.

Kegiatan pelepasliaran ini juga dihadiri oleh Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kementeriaan Kehutanan Bambang Supriyanto, Kabid Teknis BBKSDA Riau Syahimin, serta Kepala Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat, Agus Priambudi. Yang menarik, dalam kegiatan ini juga diselenggarakan lomba foto yang dikoordinatori oleh Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pekanbaru dengan melibatkan komunitas fotografi.

Upaya pelepasliaran elang di Buluh Cina ini juga mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat. Hal tersebut setidaknya disampaikan Kepala Desa kawasan berjuluk Negeri Enam Tanjung, Feri Rinaldi.

‘’Selain memperkaya populasi satwa, ini juga menjadi kehormatan bagi kami,’’ jelas Feri yang juga diamini tokoh masyarakat Buluh Cina, Umar.  

‘’Kami berharap tak hanya untuk elang saja, kita siap mendukung upaya penyelamatan lingkungan seperti ini. Kami merasa terhormat karena diberikan kepercayaan untuk konservasi elang ini,’’ ujar dia.

Hutan Adat Buluh Cina, ditambahkan Umar, adalah salah satu kawasan hutan yang dikelola secara otonom oleh masyarakat adat setempat.

Di kawasan hutan ini, bukan saja perburuan, menebang kayu tanpa izin dari masyarakat adat akan dikenakan sanksi berupa denda atau sanksi adat lainnya.

Karenanya, beberapa tahun lalu, hutan yang pengelolaannya dilakukan secara turun-temurun oleh warga setempat itu pernah mendapatkan penghargaan tertinggi untuk upaya penyelamatan lingkungan berupa Kalpataru.  

‘’Kami memastikan, elang ini aman dari perburuan ataupun tindakan negatif yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Hutan ini kami jaga. Kami juga akan membantu bila ada petugas yang akan mengawasi perkembangan elang yang dilepaskan ini,’’ sebutnya.

Sementara itu, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kemenhut, Bambang Supriyanto, menjelaskan bahwa banyak sisi positif dari pelepasliaran Elang Brontok ini.

Selain menjaga ekosistem, masyarakat juga bisa memanfaatkan kawasan hutan dan keragaman satwa yang dimilikinya sebagai potensi wisata edukasi berbasis lingkungan.

‘’Kalau dikelola bagus, ini bisa memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan tanpa harus merusak atau menebang. Bisa dikembangkan untuk ekowisata elang yang sejalan dengan komitmen pembangunan berbasis lingkungan, green economic,’’ pungkas Bambang.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook