NASIB orang siapa yang tahu. Kalimat itu menggambarkan kisah hidup Ahmad Sahroni, 36, yang dulu sopir pribadi, melesat cepat menjadi seorang direktur utama perusahaan yang sukses.
AGUS WIRAWAN, Jakarta
Malam itu Roni --panggilan Ahmad Sahroni-- tidak sungkan makan nasi goreng warung di samping kantornya. Padahal, beberapa tamu ’’antre’’ untuk bertemu dengannya. Pria kelahiran 8 Agustus 1977 itu mengaku lapar karena baru saja pulang dari Malaysia sejam sebelumnya.
’’Saya memang biasa makan di mana saja karena saya dulu juga orang biasa-biasa saja. Bukan keturunan orang kaya atau anak pejabat,’’ ujar Roni saat ditemui di kantornya, kawasan Tanjung Priok, Jakarta, pekan lalu.
Kondisi ekonomi yang pas-pasan membuat Roni tumbuh menjadi pribadi yang tidak neko-neko. Dia berprinsip tidak mau menyusahkan orang tuanya.
Dia ingat ketika duduk di bangku SMP sudah mulai mencari uang sendiri dengan cara menjadi tukang semir sepatu. Hasil yang tak seberapa itu kadang digunakan untuk membeli buku tulis atau untuk membayar tiket masuk kolam renang, olahraga kesenangannya.
Selain tukang semir sepatu, anak Betawi asli ini juga mamanfaatkan payung ibunya untuk mencari uang.’’Saya jadi ojek payung kalau musim hujan,” tambahnya.
Selepas SMA, Roni langsung mencari pekerjaan di pabrik atau di kantor, namun selalu gagal. Akhirnya dia nekat menjadi sopir ’’tembakan’’ di PT Millenium Inti Sentosa --sebuah perusahaan pengisi bahan bakar minyak (BBM) untuk kapal yang ada di dekat rumahnya di Tanjung Priok. ’’Nggak ada gaji tetap, hanya dikasih uang seiklasnya saja kalau habis nganterin barang,” kata dia.
Suatu saat dia duduk-duduk di lobi kantor perusahaannya karena cuaca di luar sangat panas. Namun, seorang kerabat pemilik perusahaan tiba-tiba datang dan mengusirnya dengan kasar. ’’Sopir itu tidak di sini tempatnya, di luar sana,” ungkap Roni menirukan kalimat bos-nya.
Tanpa panjang cakap, Roni bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan.”Saya cuma bisa ngelus dada. Ya Allah, nasib orang rendahan begini. Diusir seenaknya,” kenangnya.
Tapi, dia tidak menyimpan dendam atas perlakuan bosnya itu. Bagi dia, peristiwa itu justru menjadi cambuk untuk tidak puas hanya menjadi sopir. Di lubuk hatinya yang paling dalam, saat itu Roni bertekad untuk mengubah nasibnya. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi ’’orang besar’’ tanpa harus bersikap semena-mena kepada bawahan.
’’Sayang orang yang ngusir saya itu kini sudah meninggal. Kalau belum, pasti…,’’ kata Roni tidak melanjutkan kalimatnya. Dia kemudian tertawa.
Setelah beberapa tahun bekerja sebagai sopir di perusaahaan itu, Roni memutuskan keluar. Dia lalu bekerja di kapal pesiar Century berbendera Amerika Serikat. Dia cukup senang karena bisa ikut berlayar ke berbagai negara secara gratis.
”Pekerjaan saya waktu itu di dapur, seperti membersihkan alat-alat masak,’’ sebutnya.
Puas berlayar selama tiga bulan, Roni akhirnya rindu daratan. Dia lantas bekerja sebagai pelayan di restoran di kawasan Pecinan Jakarta, Atlanta. Ditempat itu Roni mengaku tidak mendapatkan perkembangan hidup yang berarti. “Saya lantas terfikir untuk kembali ke perusahaan lama, menjadi sopir. Tapi kali ini harus belajar bagaimana bos saya mencari uang,” sambungnya.
Sambil menyelam minum air, itulah peribahasa yang diterapkannya. Selagi masih menjadi sopir bos, Roni juga belajar bagaimana perusahaan itu mencari konsumen, membeli bahan bakar, hingga proses pengisian ke kapal.”Setiap kali ada waktu saya berusaha serap ilmunya. Bahkan saya juga angkat-angkat selang (pengisian) yang beratnya 75 kilo,” tuturnya.
Di sisi lain, bosnya justru semakin tenggelam dengan kekayaan yang berlimpah. Setiap hari hidupnya hanya diisi dengan berfoya-foya menikmati hasil kerja keras anak buahnya. “Bos saya waktu itu tiap hari kerjaannya mabuk, main perempuan, tidur hotel, kerja. Besoknya lagi seperti itu, tiap hari. Sedangkan saya anter-anterin seperti kerja 24 jam,” kenang Roni.
Suatu ketika, bos menantang Roni untuk menagih piutang perusahaan senilai Rp 1,7 miliar yang sudah tidak tertagih selama tiga tahun. Padahal bosnya sudah mengerahkan pengacara, debt collector, hingga aparat. “Kompensasinya cukup menggiurkan, kalau sukses langsung diangkat jadi karyawan tetap. Itu bos langsung yang ngomong,” tandasnya.
Strategi langsung dirancang. Roni pertama-tama menemui Satpam, lalu Kepala Satpam, berlanjut ketemu staf keuangan hingga akhirnya diantar menemui Direktur Keuangan.”Dalam waktu lima hari uang itu cair, tapi dipotong 25 persen untuk fee orang dalam. Setelah itu saya langsung jadi karyawan dengan gaji Rp 265 ribu dan uang makan Rp 6.000 perhari,” katanya.
Keberhasilan pertama itu membuat bos-nya sangat mempercayai Roni. Beberapa tantangan lain akhirnya juga dapat diselesaikan dengan baik. Alhasil, dalam waktu beruntun dia mendapat promosi jabatan dengan cepat.”Tahun 2001 diangkat, 2002 jadi manager, 2003 jadi Direktur. Sangat cepat, karena saya bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan penting,” ungkapnya.
Setelah ilmunya matang, anak penjual nasi padang di Pos 3 pelabuhan Tanjung Priok ini akhirnya memutuskan keluar pada 2004. Bersama beberapa temannya dia membuat perusahaan sendiri tanpa memiliki kantor.”Kebetulan di dekat kantor ada pohon besar, itu yang jadi kantor kita, nongkrong disitu, terima-terima telpon, transaksi dan lain-lain,” kata dia.
Meski tidak lagi bekerja di PT Millenium Inti Sentosa, namun, beberapa klien besar tetap mencari Roni dan kawan-kawannya saat ingin membeli bahan bakar kapal. Dia harus benar-benar bekerja keras untuk mengelola dan mencari keuntungan.”Kalau ada yang minta berapa ribu ton (bahan bakar), saya iya-iyakan aja. Uangnya dari mana, ya minjem orang dulu,” katanya sambil tertawa.
Pernah suatu ketika, Roni bertemu seorang pengusaha kapal dari Cirebon di lapangan golf. Tanpa tahu latar belakang Roni, bagaimana perusahaannya, pengusaha tersebut langsung meminta Roni mensuplai bahan bakar senilai Rp 1,9 miliar.”Bayar cash dimuka. Padahal harusnya takutlah. Akhirnya bisa kita layani sampai akhirnya jadi klien tetap,” tukasnya.
Namun bisnisnya juga tidak luput dari penipuan. Keputusan untuk bekerjasama dengan seorang pengusaha terkenal, justru membuatnya harus menganti uang Rp 550 juta. Padahal saat itu uangnya hanya sekitar Rp 80 juta. “Saya sampai nangis karena disuruh menandatangani surat utang Rp 550 juta. Setelah itu saya berdoa semoga diberi rezeki berlipat dari itu,” harapnya.
Benar juga, dalam waktu sebulan Roni mendapatkan banyak order memasok bahan bakar kapal. Ada saja pengusaha kapal yang datang untuk meminta suplai dalam jumlah yang sangat banyak. Dia akhirnya menyadari bahwa itu semua terjadi karena kepercayaan.”Mereka bukan cari bos saya yang dulu, tapi cari saya,” ujar Direktur Utama PT Ruwanda Satya Abadi ini.
Kerja keras Roni kini terbayar. Impiannya waktu kecil memiliki koleksi mobil super jadi kenyataan. Deretan mobil mewah kini ada di garasinya, antara lain dua supercar Ferrari 430 dan Ferrari 458, satu Lamborghini Aventador LP-700, dua Toyota Alphard, dua Mercedez Benz S-Class dan E300 serta dua sedan BMW.”Saya pernah jadi Ketua club BMW,” kata suami dari Feby Belinda ini.
Bendahara Partai Nasdem DKI Jakarta ini akhirnya juga terpilih sebagai President FOCI ( Ferrari Owner Club Indonesia) yang beranggotakan 80-an pemilik mobil Ferrari se-Indonesia sejak 9 Juni 2013 lalu.”Ini bukan tugas mudah karena saya masih muda tapi harus bisa memimpin bos-bos perusahaan terkenal. Saya berjanji FOCI akan lebih banyak melakukan kegiatan sosial,” jelasnya. (*)