Catatan Zulmansyah Sekedang, General Manager Riau Pos
Dua puluh tahun lalu, tepatnya pada 25 Januari 1993, H Moeslim Roesli menulis ‘’In Memoriam Wartawan Noerbahrij Joesoef; Orang Riau Pertama Kutuk G30S/PKI’’ di Harian Riau Pos.
Tiada yang menduga, dini hari Rabu (29/5), sekitar pukul 01.40 WIB, sang penulis in memoriam wartawan itu, sang ‘Penerobos Mitos’ yang suka memberi nasehat, dipanggil ‘pulang’ Allah Sang Maha Pencipta. Innalillahi wainnailaihi rojiun... Riau kembali kehilangan salah seorang tokoh terbaiknya.
Saya pribadi ‘’akrab’’ dengan Pak Mus — begitu saya menyapa beliau— saat-saat menjelang peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2005 yang dipusatkan di Pekanbaru. Sebagai Ketua Koperasi PWI Kalam Perkasa dan Ketua Panitia Lokal Konvensi Nasional Media Massa HPN ketika itu, saya ‘’diperintah’’ dua hal oleh beliau; pertama, membantu mencarikan donatur untuk penerbitan buku Menerobos Mitos; Seabad Pers Riau (dari Raja Ali Kelana sampai Reformasi) dan kedua mendistribusikan buku tersebut di acara konvensi dan memastikan semua delegasi dari 32 provinsi (ketika itu) mendapatkan buku bersampul biru bergambar tangan kanan menggenggam erat surat kabar.
Pak Mus ketika itu terlihat sangat enerjik, meski usianya sudah terbilang ‘’senja’’, melewati 65 tahun. Apalagi ketika menceritakan buku Menerobos Mitos yang akan diterbitkannya, semangatnya berlipat! ‘’Momentum Hari Pers di Riau ini harus ada jejak sejarahnya.
Andaikan Hari Pers ini digilir merata semua provinsi, maka Riau akan menjadi tuan rumah Hari Pers berikutnya pada 2033. Ini momentum langka!’’ begitu kira-kira kata-kata Pak Mus ketika itu.
Melihat semangatnya yang membara, mendengar ceritanya yang lugas dan tegas, saya pun mengangguk-angguk mengiyakan kata-katanya.
Pada beberapa kesempatan lain sesudah HPN 2005 itu, saya selalu bertemu Pak Mus. Terutama ketika peringatan-peringatan Hari Pers di daerah, acara-acara di PWI Riau atau ketika berbuka puasa bersama insan pers di Bulan Ramadan.
‘’Kalau saya sehat, Insya Allah saya akan selalu hadir di acara-acara wartawan,’’ ujarnya. ‘’Sekalian melepas rindu,’’ katanya menambahkan.
Dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, tatkala ada kesempatan berbicara berdua dengan saya atau dengan sejumlah wartawan muda di dekatnya, beliau selalu menyempatkan menyampaikan banyak ‘’nasehat’’. Salah satu yang paling saya ingat adalah soal integritas profesi.
Menurutnya, profesi wartawan adalah profesi yang sangat mulia. Tapi, ketika wartawan tak lagi memiliki integritas pada profesinya, maka wartawan itu sudah tak ada lagi nilainya, nol.
Bahkan minus! ‘’Saya bangga pada wartawan Riau Pos. Kompetensi dan integritas wartawannya terjaga,’’ katanya memuji.
Belakangan saya tahu, pengalaman Pak Mus menjadi wartawan berintegritas itu ternyata sangat panjang jejaknya, bahkan bermula ketika era Orde Lama. Saat itu, ketika usianya masih 19 tahun (1954), Moeslim Roesli muda sudah menjadi wartawan.
Hebatnya, di usia belia itu, Pak Mus bekerja di dua surat kabar sekaligus, yakni Harian Warta Berita dan Mingguan Waktu di Medan, Sumatera Utara. Tahun yang sama, Moeslim Roesli muda juga sempat ke Bukittingi, Sumatera Barat dan bekerja di redaksi Harian Nyata.
Dua tahun kemudian, bergabung dengan beberapa anak-anak muda Riau, beliau masuk ke Negeri Lancang Kuning dengan menerbitkan Harian Pewarta Kita di Kota Bagansiapi-api. Meski pun masih stensilan, Harian Pewarta Kita itu mampu mengimbangi tiga surat kabar beraksara Tionghoa di Kota Ikan tersebut.
Setelah itu, berturut-turut Moeslim Roesli menjadi wartawan Harian Pedoman dan Majalah Siasat pimpinan H Rosihan Anwar, tokoh pers yang sangat dikaguminya. Selama menjadi wartawan dan berpindah-pindah tempat tugas, tak pernah terdengar noda dan cela terhadap integritas beliau.
Moeslim Roesli muda juga ikut membidani lahirnya Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Biro Riau di tahun 1963. Bahkan selama lima tahun, 1963-1968, Moeslim Roesli dipercayakan memimpin LKBN Antara Biro Riau. Usianya saat itu masih sekitar 28 tahun.
Pada masa memimpin LKBN Antara itu, tepatnya di tahun 1966, berdasarkan Surat Keputusan (SK) PWI Pusat Nomor: 038/PP/1966 Moeslim Roesli dipercayakan menjadi Ketua PWI Riau dengan Moeslim Kawi sebagai Sekretaris. ‘’Duet Moeslim’’ ini adalah kepengurusan PWI Riau pertama di era Orde Baru dan Moeslim Roesli saat itu masih berusia 31 tahun.
Selain sebagai wartawan, sehari-hari beliau juga menjadi Humas di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI, dulunya Caltex), sekaligus sebagai associate editor dan akhirnya pensiun sebagai superintendent Hubungan Pemerintah dan Masyarakat PT CPI di tahun 1992.
Pada masa tuanya, Moeslim Roesli tetap aktif di dunia jurnalistik. Bahkan, beliau sempat menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Bisnis Mandiri. Selain itu, beliau juga aktif di berbagai yayasan dan organisasi sosial.
Kemarin dini hari, Pak Muslim berpulang ke Rahmatullah menyusul istri tercinta Tati Moeslim. Beliau tutup usia 78 tahun dengan meninggalkan empat putra-putri dan sembilan cucu.
Menurut putrinya Sandri Kartini, sebelum meninggal beliau sempat terserang stroke dan 11 hari dirawat di RS Ibnu Sina sampai akhirnya Sang Pencipta memanggilnya.
Gubernur Riau HM Rusli Zainal didampingi Septina Primawati Rusli saat melayat ke rumah duka di Jalan Rupat 20 sempat mengungkap rasa kehilangannya.
‘’Saya merasa sangat kehilangan beliau sebagai salah seorang tokoh pers yang ada di Riau. Bahkan, saya katakan, beliau ini adalah salah seorang tokoh nasional yang ada di Riau.’’
Usai Zuhur, jenazah almarhum Moeslim Roesli disalatkan di Masjid Al Ittihad dan dimakamkan di YKPI Rumbai. Selamat jalan Pak Mus, doa kami selalu menyertaimu. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang baik untuk mu di sisi-Nya. Amin...***