Bahaya Covid-19 itu nyata. Para dokter dan pemerintah sudah menjelaskan dengan gamblang. Begitu juga para penyintas yang pernah merasakan beratnya kondisi mereka, tapi lolos dari maut. Tapi banyak juga warga yang tidak percaya pada virus ini. Di pasar-pasar, para pedagang dengan santainya berjualan tanpa masker, tidak jaga jarak, tak cuci tangan. Ada berbagai alasan. Ironisnya, sebagian besar karena tidak yakin virus ini benar-benar ada.
Laporan: Muhammad Amin (Pekanbaru)
PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Pedagang ikan di Pasar Dupa Pekanbaru itu terus memanggil pembeli. Suaranya keras dan lantang. Tidak ada masker yang dipakainya sehingga tak ada penghalang suaranya. Padahal dia memiliki masker. Hanya untuk disimpan. Pun tidak pula digantungkan di dagu seperti beberapa perilaku warga.
"Ada di dalam tas Bang. Kalau ada petugas baru dipakai," ujar pedagang itu, Budi, beberapa waktu lalu.
Mengapa dia tak memakai masker? Ternyata Budi mengaku kurang yakin dengan klaim pemerintah dan cerita banyak orang tentang virus corona atau Covid-19. Dia hanya memakai masker karena khawatir ada razia petugas. Secara periodik, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Pekanbaru memang datang ke pasar-pasar. Tapi menurut Budi, belum pernah ada tindakan tegas yang dilakukan petugas.
"Paling-paling hanya menegur. Kalau kami tak pakai masker disuruh pakai. Begitu saja, Bang!" ujar Budi.
Menurut Budi, dia tidak yakin dengan adanya virus berbahaya ini. Memang ada cerita pedagang dan keluarga yang sempat demam. Tapi beberapa hari kemudian sembuh. Mereka pun menganggap itu demam biasa saja. Bagi yang sakit, misalnya demam, memang tidak akan ke pasar. Budi menyebutkan, nyaris tiap hari petugas datang. Tak lagi memeriksa dengan termo gun, tapi menggunakan helm pemantau suhu tubuh.
"Mereka sudah tahu kalau ada yang demam tinggi. Langsung disuruh pulang," ujarnya.
Pedagang lainnya yang berjualan di lapak cabai bahkan menyebut tak khawatir sama sekali dengan virus corona. Dia yang tak mau disebutkan namanya itu menyebutkan, semua ini hanya rekayasa saja. Tidak usah terlalu dicemaskan.
Hal berbeda tentu saja disampaikan penyintas (survivor) Covid-19. Salah satunya Ibnu Mas’ud, seorang pengusaha travel umrah dan haji. Bagi Ibnu Mas'd, Covid-19 itu nyata adanya. "Sudah banyak korban bahkan ada yang meninggal. Jangan abai pada kondisi ini. Covid-19 itu nyata," ujar Ibnu Mas'd.
Dia mengimbau masyarakat Riau untuk tidak meremehkan bahaya virus ini. Ibnu Mas’ud yang pernah merasakan masa kritis selama beberapa jam akibat Covid-19 meminta masyarakat tetap waspada. Selama satu bulan dia harus dirawat di rumah sakit dan itu menjadi bukti bahwa penyakit dan virus ini benar-benar nyata. Mereka menyerang dan mengancam nyawa.
Ibnu Mas'd sendiri sempat masuk masa kritis ketika masuk hari ketujuh dan kedelapan di ruang isolasi RSUD Arifin Achmad awal Agustus 2020. Tapi dia kemudian lolos dari maut. Untuk itulah dia berpesan kepada siapa saja agar tidak meremehkan virus ini.
Tak hanya dia, tapi istri, keluarga dan beberapa karyawannya sempat positif Covid-19. Apa yang disarankan pemerintah yakni 3 M atau memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan hendaknya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dia juga meminta mereka yang terkena gejala hendaknya segera menyampaikan kondisinya pada petugas medis. Sebab, kondisi setiap orang berbeda. Salah satu kasus terakhir adalah kematian wartawan Muhammad Moralis. Diketahuinya bahwa Moralis terlambat dibawa ke rumah sakit walaupun sudah tahu kondisinya berat.
"Sekali lagi jangan anggap remeh situasi ini," ujarnya.
Terus Edukasi
Susahnya mengedukasi masyarakat di level bawah diakui beberapa petugas. Salah satunya adalah bidan di puskesmas yang sempat diwawancarai Riau Pos. Petugas ini bernama Rosmiati. Dia bertugas di Desa Pengalihan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Selain tugas rutin sebagai bidan di puskesmas, dia juga menjalankan kegiatan lainnya dari Satgas Covid-19 Inhil yakni sosialisasi bahaya virus ini.
Dari pengalamannya melakukan sosialisasi, ada beberapa kelompok masyarakat. Ada yang khawatir berlebihan, cemas tak menentu, bahkan paranoid dengan berita dan kejadian-kejadian baru. Ada yang menganggap Covid-19 biasa saja. Mereka paham, tahu bahayanya, tapi menganggap tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Tidak ada bukti, menurut mereka, virus ini dapat membunuh secara massal. Kelompok ketiga adalah yang menganggap virus ini tidak ada sama sekali.
"Memang ada yang begitu. Mereka tidak percaya sama sekali," ujar Rosmiati.
Kendati demikian, pihaknya terus melakukan sosialisasi bahaya Covid-19 ini. Walaupun jumlah kasus di Inhil terus menurun, sosialisasi tetap dilakukan. Mereka yang tidak percaya pun tetap diberikan edukasi. Bahkan di saat mereka kelihatan sehat-sehat saja, bahaya dapat terjadi di rumah mereka jika ada orang yang rentan.
"Bagaimana pun kami terus melakukan sosialisasi tentang bahaya Covid-19 ini. Tapi tiap orang memang beda-beda tanggapannya," ujarnya.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kota Pekanbaru, Dipa Handra menyatakan, orang yang tak peduli pada Covid-19 ini tidak peka pada penderitaan orang lain. Saat ini banyak penderita Covid-19 yang sangat menderita. Bahkan para perawat termasuk di antaranya.
Dia menyebutkan, perawat menjadi garda terdepan dan paling rentan terpapar virus ini. Di awal pandemi melanda, musibah yang melanda perawat termasuk paling banyak. Belakangan angkanya bisa ditekan karena pemahaman tentang virus ini makin baik. "Jadi tolong bantu kami dengan peduli. Jangan menambah beban kami. Tetaplah sehat," ujar Dipa.***