Dia mengaku bersemangat disuruh jalan-jalan ke Pekanbaru. Terlebih lagi dia diberi uang saku Rp2 juta. Dengan uang itu dia berharap bisa membeli onderdil sepeda motornya yang sedang rusak. Siang itu,dia terlambat berangkat. Meski belum pernah berkomunikasi dengan Rusmanto, dia datang ke rumah Rusmanto yang sehari-hari honorer di kantor pemerintah kecamatan. Saat dia sampai di rumah Rusmanto, mobil travel jenis Avanza sudah menunggu. Jadi dia langsung menemui Rusmanto. Ternyata Rusmanto mengatakan tidak jadi pergi, dia digantikan Dedi Purwanto alias Eko (31).
Juliar tidak mengenal Dedi Purwanto, baru pertama jumpa dan kenalan di rumah Rusmanto. Usai menerima uang dari Rusmanto, dia langsung masuk ke dalam mobil, duduk di bangku bagian tengah, dekat pintu. Di dalam mobil tidak ada penumpang lain, hanya dia, Dedi bersama sopir. Hingga akhirnya naik perempuan, seperti mahasiswi dan travel menuju penyeberangan.
Sekitar setengah jam perjalanan, sampailah di pelabuhan roro, penyeberangan Air Putih, Desa Air Putih, Kecamatan Bengkalis Kota, tiba-tiba polisi datang menyergap dan memintanya, Dedi dan penumpang perempuan itu keluar untuk diperiksa. Polisi tidak menemukan apa-apa di tubuhnya. Polisi melanjutkan pemeriksaan ke bagasi mobil dan menemukan koper, satu tas dan satu kotak blender. Di dalam koper itu polisi mendapati sejumlah paket teh tulisan Cina dan dari dalam kotak blender ditemukan puluhan ribu pil.
Saat itu dia masih belum mengerti atas apa yang dilihatnya. Namun, saat polisi mengatakan bahwa itu narkoba, dia menjadi bingung. Terlebih dia baru tahu jika di bagasi mobil ada koper, tas, dan kotak blender. Dia menyebutkan tidak pernah tahu jika semua barang itu ada di bagasi.
“Kami digiring ke kantor polisi. Dedi Purwanto mengakui semua tas dan isinya termasuk kotak blender yang berisi pil itu adalah miliknya. Dia juga mengaku sudah tiga kali berhasil meloloskan narkoba milik Rusmanto bersama temannya bernama Andi Saputra dan diupah Rp10 juta,” katanya.
Sementara atas temuan itu, dia dituduh bagian dari kelompok Dedi Purwanto, karena berangkat dari tempat yang sama. Menurut penjelasannya, dia berkali-kali mengatakan, bahwa dia disuruh jalan-jalan oleh Jefri. Dia hanya punya urusan dengan Jefri, karena bekerja dengannya. Dia tidak ada urusan dengan Dedi Purwanto yang baru dikenalnya, atau Rusmanto yang hanya kenal nama dan wajah karena beda desa.
Bahkan ketika Jefri menelepon berulang-ulang ke ponselnya, begitu juga abangnya Jefri bernama Amri alias Deboy, menelepon hingga 10 atau 11 kali, pihak yang menangkapnya tidak peduli. Namun, ketika ponsel Dedi Purwanto yang berdering, ternyata Andi Saputra yang menghubungi (saat itu Iyar belum tahu siapa itu Andi), langsung dilakukan pengembangan.
Ternyata Andi warga Pasiran. Andi dibekuk di bengkel Fikri. Namun Fikri berhasil kabur saat mengetahui Andi dibekuk. Selanjutnya, lewat keterangan Andi diketahui ada barang bukti yang sama dengan yang di tas Dedi Purwanto di rumah Rusmanto. Andi mengakui bahwa dia dan Fikri yang akan membawa barang itu ke Pekanbaru (hal itu terungkap dalam persidangan).
Belakangan baru dia tahu ternyata ada 30 kg sabu dan 20 ribu butir lebih di rumah Rusmanto. Dia tidak mengenal Andi, tidak tahu apa pekerjaannya. Begitu juga sebaliknya, Andi Saputra dan Dedi Purwanto, tidak mengenal dia. Di Polsek Sungaialam, menurutnya dia terus ditekan dan dimasukkan ke dalam ruangan yang gelap dan kepalanya dipukuli dengan alas kaki. Malamnya dilakukan pengembangan di laut sekitar Desa Jangkang. Sampai pagi menunggu di laut, namun tidak ada hasil apa-apa. Menurut polisi kepadanya, mereka mengintai gerak-gerik Jefri.
Saat itu, Iyar mengaku semakin heran atas apa yang dilakukan polisi yang menangkapnya. Saat Jefri dan abangnya meneleponnya berulang-ulang tidak dikembangkan. Namun, saat sudah malam dan tanpa kepastian, menunggu Jefri hingga pagi. Selanjutnya, mereka dibawa ke Polda Riau untuk konferensi pers. Setelah dari Polda, dibawa ke Polres Bengkalis. Di sanalah ibunda dan keluarganya bisa membesuk. Sejak dilakukan penyidikan sampai hendak persidangan, barulah diminta untuk didampingi pengacara. Ketiadaan dana untuk membayar mengacara membuatnya hanya menggunakan pengacara yang memiliki hubungan kerabat dengannya. Kebetulan pengacara bernama Helmi dan Fahrizal baru beberapa tahun ini beracara.
Tak banyak yang dapat diperjuangkan dari proses persidangan. Hingga akhirnya majelis hakim memvonis mati Iyar, Andi dan Dedi. Dia tidak pernah menyangka bakal dihukum mati. Saat vonis, hatinya benar-benar hancur. Dia hanya bisa menangis di dalam sel pengadilan. Dia menyesal, kenapa harus menerima tawaran kerja dari Jefri. Dia juga sangat kecewa, kenapa Jefri tega menjebaknya. Saat ini, dia sangat berharap ada keajaiban dari Allah untuk dirinya. Sehingga dia dapat kembali berkumpul dengan ibu, kakak, abang dan dua adiknya.