PUSAT REHABILITASI PARA PECANDU TEKNOLOGI KOREA SELATAN

Sulit Membedakan Antara Dunia Nyata dan Maya

Feature | Selasa, 29 Oktober 2019 - 12:19 WIB

Sulit Membedakan Antara Dunia Nyata dan Maya
DETOKS: Yoo Chae-rin (kiri) menunjukkan foto beragam gaya rambur kepada temannya di Seoul. Dia berusaha lepas daro kecanduan gawai (CNN)

SEOL (RIAUPOS.CO) - Teknologi mutakhir menjadi anugerah sekaligus masalah bagi Korea Selatan. Selain memajukan ekonomi negara, teknologi melahirkan pecandu gawai dan internet. Kini pemerintah berusaha menanggulangi permasalahan tersebut dengan mendirikan kemah rehabilitasi pecandu teknologi.

Tempelan kertas di salah satu dinding asrama National Youth Center of Korea, Kota Cheonan, Korea Selatan, terlihat sederhana. Tetapi, itu amat berarti bagi orang tua yang mengirim anaknya ke sana. Mereka menempelkan pesan di atas sebuah gambar pohon. Penyelenggara menyebutnya pohon penyemangat.


“Go Yong-joo! Jangan berani-berani kabur,” tulis salah satu orang tua peserta program rehablitasi remaja pecandu gawai Provinsi Gyeonggi sebagaimana dilansir CNN.

Di negara berkembang seperti Indonesia, kecanduan ponsel cerdas mungkin belum dipandang masalah pelik. Kasus-kasus parah ketergantungan terhadap gawai belum terlalu umum dijumpai. Namun, beda cerita di Korea Selatan.

Masyarakat di negara markas Samsung dan LG itu bisa terhubung dengan internet di mana saja. Menurut laporan pemerintah pada 2018, 98 persen remaja Korea Selatan mempunyai gawai. Sedangkan 30 persen remaja Korsel ditengarai punya ketergantungan tersehadap ponsel mereka.

“Di sini (Korsel, Red) Anda bisa menghubungkan ponsel Anda di mana pun. Setiap perkampungan juga pasti punya warnet,” ujar Roh Sung-won, psikiater di Hanyang University, kepada NPR.

Beberapa remaja pun tahu masalah yang mereka hadapi. Salah seorang di antaranya, Yoo Chae-rin. Siswi SMA itu rela menyerahkan ponselnya di gerbang gedung rehabilitasi Juli lalu. Ponsel tersebut tak akan berada di tangannya 12 hari ke depan.

Tentu saja berat. Namun, dia tahu bahwa masalahnya akan bertambah parah jika tak segera ditangani. Chae-rin mengatakan bahwa saat SMP dirinya merupakan siswi dengan nilai cukup baik. Tetapi, ketika di SMA, nilainya jatuh sampai dia ranking terbawah di kelasnya.

“Saat-saat itu sulit membedakan mana yang nyata dan maya. Semua kegiatan pada pagi hari seperti mimpi saja,” ungkapnya.

Dunianya terbalik. Dunia maya terasa menjadi fokus utamanya. Banyak yang bisa dilakukan. Menjelajah Facebook; selfie dengan filter di Snow –aplikasi multimedia asal Korea Selatan–, atau berbicara dengan teman via KakaoTalk.

Tiba-tiba saja penunjuk jam di bagian atas layarnya menunjukkan pukul 04.00. Dihitung-hitung, dia sudah 13 jam menggunakan ponsel. Tiga jam lagi dia harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. “Saya tahu, saya seharusnya berhenti. Tapi tidak bisa,” ungkap dara berusia 16 tahun itu.

Karena itu, saat Chae-rin sendiri yang mengusulkan mengikuti kemah rehabilitasi kecanduan gawai. Jae-hoo setuju. Menurut dia, 100 ribu won atau Rp 1,1 juta untuk biaya makan 12 hari tiada artinya. Apalagi, semua kegiatan di sana gratis.

Yoo Soon-duk, direktur rehabilitasi, mengatakan bahwa semua fasilitas dan kegiatan gratis, kecuali makan. Di sana mereka didorong untuk melakukan aktivitas menyenangkan seperti seni dan keterampilan, olahraga, atau berburu harta karun. Selama 30 menit sebelum tidur, mereka wajib melakukan sesi meditasi.

“Tiga hari pertama ekspresi mereka terlihat tersiksa. Tetapi, setelah itu, mereka mulai menikmati kegiatan di sini,” ungkap Soon-duk.

Laporan: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook