Membabat Hutan Menuai Bencana

Feature | Minggu, 29 September 2013 - 10:12 WIB

Membabat Hutan Menuai Bencana
Lembah di kawasan Hutan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Baling yang sudah berubah jadi perkebunan sawit warga (kiri). Banjir yang melanda Desa Mudik Ulo dan Tanjung Medang, Kecamatan Hulu Kuantan Mei 2013 lalu merendam hingga kedalam rumah warga (kanan). Foto: muhammad hapiz dan juprison/riaupos

Demam sawit makin menjadi-jadi di Riau. Pekarangan rumah, kebun tua, hutan adat bahkan hutan lindung diubah kebun sawit. Belum sepenuhnya menikmati gelimang ‘’emas sawit’’, bencana membesar. Intensitas musibah kekeringan, banjir, penyakit, panas berkabut asap, makin tinggi. Bahkan mengkawatirkan.

Laporan MUHAMMADHAPIZ, Kuansing

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

TAK lagi kesawah, walau sang surya sudah benderang dari balik bukit barisan. Sudah sekitar 6 bulan lamanya, Muncak (39) tak mau lagi melihat petak sawah miliknya. ‘’Sia-sia saja,’’ akunya.  Warga Desa Pangkalan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau ini, malah berencana mengubah sawah miliknya untuk dijadikan komoditas tanaman lain. Pohon sawit yang menggelayut dipikirannya untuk ditanam.

‘’Memang ada beberapa orang yang berpikir mengubah sawahnya ditanam sawit. Tapi kalau tak dari sawah dari ujung, tak mungkin yang ditengah memulai. Sawah saya ditengah, susah jalannya,’’ ucap Muncak yang sudah memiliki dua orang anak ini di rumahnya yang sederhana, Desa Pangkalan Indarung pekan lalu.

Demam sawit memang melanda warga Pangkalan Indarung beberapa tahun belakangan, hingga saat ini. Beberapa orang warga desa memang terbilang sukses. Tapi yang sudah sukses bukan memiliki satu atau dua hektar kebun sawit tapi puluhan hektare. Sementara Muncak, baru memiliki satu hektar kebun sawit dengan menanam bibit sembarangan alias tidak bersertifikat.

Hasilnya, satu kali panen, lima belas hari sekali, palingan dia mendapat 300 Kg tandan buah sawit atau 400 Kg paling banyak. Diuangkan hanya berkisar Rp330.000-Rp440.000, jumlah yang bisa dua sampai tiga kalilipat jika menggunakan bibit bersertifikat. Makanya Muncak berambisi menambah kebun sawit sebanyak-banyaknya.

Tapi bukan ‘’demam sawit’’ saja yang membuat kuat keinginan Muncak mengubah sawah yang dimilikinya secara turun temurun menjadi kebun sawit. Tapi lebih disebabkan kekeringan dan tak pastinya masa tanam sebab cuaca tak menentu. Terlebih lagi, tahun sebelumnya, ia mengalami gagal panen karena sawah kering. ‘’Air sulit. Sungai saja dangkal. Sawah letaknya dilereng bukit. Ada bendungan, tapi sedikit sekali airnya, tidak cukup. Kalau dulu, bulan-bulan ini sudah mulai tanam. Sekarang tengok saja, sungai dangkal, hujan belum turun,’’ ujar Muncak.

Benar saja. Sungai Pangkalan Indarung terbilang dangkal, malah kendaraan roda empat dengan mudahnya menyeberang. Ikan-ikan ukuran lumayan besar yang ada di Lubuk Larangan- kawasan tertentu yang memang dilarang secara adat untuk diambil ikannya dalam kurun waktu tertentu- terlihat jelas. Hamparan sawah tandus, tanpa ada tanaman. Termasuk cetak sawah yang baru dibangun pemerintah seluas 50 hektar, kering kerontang, malah tak nampak sama sekali pematangnya.

Kekeringan tergolong aneh bagi masyarakat Pangkalan Indarung. Sebab, Desa Pangkalan Indarung terletak ditengah-tengah areal perbukitan tinggi, kawasan bukit barisan dengan kecuraman hingga 45 derajat. Dilihat dari ketinggian, Desa Pangkalan Indarung seumpama rumah-rumah ditengah kuali penggorengan. Malah disebut, desa itu masuk kedalam kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling yang ditetapkan pemerintah seluas 136 ribu hektare melalui surat keputusan Menteri Kehutanan No 173.KPTS-II 1986. Sawah mereka dulunya melimpah dengan air yang dialiri dari celah-celah bukit.

Desa Pangkalan Indarung yang masuk dalam administrasi Provinsi Riau tepatnya Kecamatan Singingi Kabupaten Kuansing, berbatasan langsung dengan Sumatera Barat. Jarak dari ibu kota Kecamatan Singingi, sekitar 25 kilometer. Jarak desa terdekat yang masuk wilayah administrasi Sumatera Barat, hanya sekitar 15 kilometer, tapi tanpa ada akses jalan umum alias hutan rimba dan perbukitan.

‘’Desa ini sudah ada sejak zaman Belanda. Baru-baru ini, ada pula patok dibuat menandakan hutan lindung di kebun karet milik warga kami. Kami biarkan saja dan menakik (menoreh) getah tetap saja dilakukan. Kalau sawah itu, sekarang airnya sudah sulit. Kalau musim hujan, kian hari air makin dekat ke rumah kami. Mungkin suatu saat, desa kami ini akan mengalami musibah banjir juga seperti daerah lain di Kuansing ini. Udara juga sudah panas, tidak dingin seperti dulu lagi. Banyak dari kami tidak lagi bersawah, beralih ke kebun sawit atau getah,’’ ujar Iman, Sekretaris Desa Pangkalan Indarung bertutur kepada Riau Pos.

Kekeringan sawah, musim tak menentu dan cuaca kian panas diakui Iman mulai terasa semenjak ‘’Demam Sawit’’ melanda di Kuansing. Warga Desa Pangkalan Indarung membuka areal yang ada untuk ditanami bibit pohon sawit. Tapi Iman mengaku mereka tergolong terlambat. Sebab, desa tetangga, seperti Lipat Kain, Desa Muara Lembu, Petai, Kebun Lado, Sumpu, Mudik Ulo, Tanjung Medang sudah mengalami ‘’demam sawit’’ sejak lama.

 

Bahkan sudah terjadi perambahan lahan dan hutan secara besar-besar di lahan yang masih bertatus hutan produksi terbatas (HPT) di Desa Sumpu, Mudik Ulo dan Tanjung Medang seluas 12 ribu hektar yang sebagiannya sudah ditanami sawit. Dan disebut pula, luasnya perambahan lahan tidak hanya terjadi di lahan HPT saja. Tapi juga masuk ke kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh dan Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling.

‘’Sebagian lahan HPT itu punya ulayat Desa Pangkalan Indarung. Sekitar 6.000 hektare. Sudah dibuka dan dijual ke pengusaha sekitar 200 hektare. Sudah kami hentikan aktivitasnya dan bakar barak pekerjanya. Kami sebagai pemegang hak ulayat itu, ingin juga berkebun sebab lahan tidak ada lagi. Kalau ke arah bukit barisan dilarang sebab masuk hutan lindung,’’ ucap Iman dan diiyakan Datuk Bandaro atau Datuk pucuk (tertinggi) yang menaungi daratan Pangkalan Indarung, Sugiro berbincang dengan Riau Pos di pelataran rumah Iman.

Sugiro sudah menyatakan akan mempertahankan lahan ulayat itu walau sampai terjadi konflik sekalipun. Pembukaan lahan dan hutan besar-besaran yang dimaksud Iman, sudah dilakukan diatas lahan sekitar 3.000 hektare, sejak 2012 lalu. Sebagian pembukaan rambahan hutan dengan cara membakar hingga acap kali menyebabkan kabut asap.

Hutan digunduli, alampun murka. Sejarah baru tercatat di di Kecamatan Hulu Kuantan di Desa Mudik Ulo dan Tanjung Medang. Rabu (29/2/2013), dini hari, hujan lebat seharian menyebabkan Sungai Batang Ulo meluap sejadi-jadinya menyebabkan banjir besar. Air secara tiba-tiba naik hingga mencapai 2 meter. Didalam rumah warga, Musalla bahkan Play Group terendam hingga mencapai kepala dewasa. Hingga tak dapat dihindari, wargapun terpaksa mengungsi. ‘’Inilah pertama kali banjir besar di tanah kami. Karena hutan diatas bukit sudah habis,’’ ucap Nasar (62), warga Tanjung Medang sehari-hari menoreh getah di Mudik Ulo.

Masih dibulan yang sama, banjir bandang ditandai dengan naik tiba-tiba dan surut tiba-tiba pula setelah hujan lebat turun juga terjadi Kecamatan Singingi, tepatnya Desa Muara Lembu, Kebun Lado, Koto Baru, hingga Tanjung Pauh dan Sungai Paku. Jalan lintas Kuansing-Kiliran Jao atau jalan lintas tengah Sumatera itu, sempat putus beberapa jam karena terendam air.

‘’Ini pula sejarahnya air masuk kerumah dengan cepat. Berselang satu jam, surut lagi. Karena air di Sungai Singingi dihalangi bekas-bekas kayu penebangan hutan di kawasan Sumpu dan Pangkalan Indarung,’’ ujar Win (52), berasumsi.

Puncak sejarah banjir besar yang baru di Kuansing terjadi terjadi lima bulan kemudian setelah dialami Kecamatan Hulu Kuantan dan Singingi. Banjir mulai meninggi 4 Mei 2013 itu, merendam 11 dari 12 kecamatan. Selain ribuan rumah, Dinas Tanaman Pangan Kuansing mencatat angka 1.250 hektare sawah terendam banjir dan dipastikan gagal panen. Sawah yang terendam banjir ini cukup parah di Kecamatan Kuantan Hilir Seberang tepatnya Desa Pelukahan, Pulau Kundur, Lumbok, Pengalihan, Desa Danau, Pulau Beralo.

‘’Sudah berabad-abad, tak pernah masyarakat merasakan banjir sebesar ini. Ini kenapa, ini adalah akibat dari penebangan liar yang terjadi di hutan-hutan kita,’’ ujar Bupati Kuantan Singingi H Sukarmis saat memberikan sambutan pada Raker Peningkatan Kompetensi Aparatur Desa/Kelurahan di Balai Adat Teluk Kuantan, Senin (5/11) lalu.

Dua sungai besar yang membentang di Kuansing yaitu Sungai Kuantan dan Singingi. Dua sungai ini berhulu dari arah perbukitan bukit barisan berbatas dengan Sumatera Barat. Kawasan perbukitan yang sebagian besar hutan lindung dan hutan margasatwa ini sudah terjadi perambahan akibat ‘’demam sawit’’ dan sebagian lagi akibat ‘’demam emas’’ atau tambang emas liar yang sudah beraktivitas sejak tahuan 2000 dan mendangkalkan Sungai Kuantan dan Sungai Singingi.

Riau Pos menyusuri kawasan Hutan Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling menyusuri Sungai Singigi, mulai dari Desa Koto Baru, Petai hingga ke Pangkalan Indarung. Benar saja, sebagiannya sudah berubah menjadi kebun sawit. Papan larangan, patok hutan marga satwa yang terbuat dari semen sudah berada didepan kebun sawit. Dari ketinggian bukit sekitar 15 kilometer dari Desa Petai, terlihat lembah perbukitan yang sudah berubah menjadi areal perkebunan sawit.

Masyarakat setempat yang disebut memiliki kebun sawit tersebut. Plang papan penunjuk hutan Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling BKSDA, Pemkab Kuansing, WWF, yang terbuat dari besi plat, sudah bengkok terlihat penyok-penyok seperti dilempari menggunakan batu dan dirusak secara sengaja. Kawasan hutan margasatwa tersebut berbatas langsung dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanami pohon akasia dan areal pertambangan batu bara. Di areal batu bara yang sudah semakin sempit areal ekploitasinya, terlihat sudah berbatas langsung dengan kawasan hutan margasatwa.

‘’Itu punya masyarakat (kebun sawit ditengah hutan lindung, red). Lahan tidak ada lagi, makanya masuk ke hutan lindung. Lahan sudah dikuasai perusahaan. Masyarakat tahu itu hutan lindung. Tapi apa mau dibilang, lahan tidak ada lagi, punya perusahaan semua,’’ ucap Rudi (50) warga Singingi.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau seakan tak berdaya dengan berubah fungsinya sebagian Hutan Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling menjadi kebun sawit dan tidak tahu pasti berapa jumlah hutan yang sudah ebrubah fungsi. Dengan jumlah personelnya yang hanya dua orang, BKSDA berasumsi hanya bisa melakukan pendekatan secara persuasif terhadap masyarakat agar tidak memperluas perambahannya. ‘’Untuk sementara seperti itu. Saya baru bertugas sebagai Kepala BKSDA belum genap sebulan. Bagaimananya, nanti ya saya pelajari dulu,’’ ujar Kepala BKSDA Riau Kemal yang baru dilantik dihubungi Riau Pos, Sabtu (28/9).

Sementara kawasan Sungai Kuantan mengalami kerusakan hutan di hulunya. Perambahan Hutan lindung Bukit Betabuh yang melingkar dari Provinsi Jambi, Kuansing hingga Indragiiri Hulu (masih Provinsi Riau), juga ditenggarai menyebabkan bencana banjir. Ditambah lagi, kerusakan Hutan Lindung Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang sebagiannya merupakan Kuansing dan sebagian lagi Inhu dan Pelalawan. Bahkan, WWF merilis, kerusakan TNBT ini kian tahun kian parah dengan aktivitas perambahan oleh warga yang ingin melakukan ekspansi kebun sawit, juga akibat ‘’demam sawit’’.

Survei lapangan WWF yang dirilis September 2013 ini, dari 167.618 hektare lahan TNTN telah terjadi perambahan mencapai 52.266,5 hektare. Dari luas yang telah dirambah itu, 36.353 hekatre atau 70 persen diantaranya sudah dikonversi menjadi kebun sawit. Konversi itu bukan terjadi tahun ini saja tapi sudah sejak lama ditandai seluas 15.819 hektare yang sudah menjadi kebun sawit sudah menghasilkan tandan buah segar. Disebutkan WWF, kebun sawit di kawasan TNTN dikuasai dan dikelola individu dan kelompok dengan identifikasi 524 orang menguasai lahan 26.298 hektare, sisanya dikelola oleh 20 kelompok. Rata-rata, kebun yang dimiliki individual seluas 50 hektare.

Buntut terjadinya perambahan besar-besaran di hutan lindung dan hutan margasatwa di kawasan Kuansing juga menyebabkan tidak tuntasnya pembahasan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau terutama wilayah Kabupaten Kuansing.

 

Ketua Pansus RTRW DPRD Kuansing Ir Maisiwan menyebutkan untuk mengeluarkan pemukiman, kebun dari hutan lindung, hutan margasatwa atau peralihan dari HPT ke HPL, sangat sulit dikabulkan pemerintah pusat dalam hal ini kementerian kehutanan. Khusus kawasan HPT yang saat ini sedang diurus Pemkab Kuansing menjadi hutan tanaman lain (HPL) alias bisa ditanami tanaman perkebunan, Maisiwan pesimis akan disetujui. Hal ini mengingat lahan HPT yang sangat luas, jika dialihkan status, maka akan semakin parahlah banjir di Kuansing karena perambahanan akan semakin menjadi-jari.

‘’Luas HPT itu mencapai 16 ribu hektare. Jika dialihkan menjadi HPL, akan terjadi perambahan besar-besaran. Bencana akan semakin besar. Sekarang saja, informasi yang kita dapat, ada yang membabat hutan itu dari masyarakat dan ada juga dari pihak perusahaan, dan sebagian lagi dibabat oleh oknum tertentu. Ini sangat berbahaya bagi masyarakat yang ada dibagian hilir, karena suatu saat bisa terjadi banjir bandang, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, karena hutan yang ada di hulu sudah gundul,” ungkap Maisiwan.

Upaya pembebasan lahan HPT dan mengeluarkan kawasan pemukiman yang sudah terlanjur masuk kedalam hutan lindung atau margasatwa telah lama diupayakan Pemkab Kuansing. Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Riau Ir Mardianto Manan yang juga tim ahli RTRW Riau mengemukakan, upaya itu disampaikan Pemkab Kuansing beberapa tahun lalu secara resmi. Namun usulan tersebut, kata Mardianto, cukup sulit dikabulkan, mengingat akan memutus koridor hutan lindung sehingga perlintasan hewan dilindungi seperti Harimau, Gajah akan terganggu.

‘’Koridor itu melingkar dari Jambi, Kuansing hingga ke Inhu. Jika di Kuansing diputus, maka akan terputus pula perlintasan hewan dilindungi. Tidak hanya itu, perambahan akan semakin menjadi-jadi. Tidak dikabulkan saja, seperti saat ini, perambahan sudah sangat mengkawatirkan. Bencana banjir sudah membesar dan akan semakin membesar dikemudian hari,’’ ujar putra asli Kuansing ini.

Bencana bisa semakin membesar. Kekeringan dan banjir yang terjadi 11 dari 12 kecamatan di Kuansing, bisa memembesar jika tidak ada bendungan menahan lajunya perambahan hutan lindung dan hutan margasatwa. Sebab, hanya hutan itulah yang saat ini menjadi andalan dan penyangga alam dimana sisa lahan sudah dikuasai perusahaan dengan pembukaan sawit dan HTI. ‘’Demam sawit’’ bisa ditenggarai rasa cemburu warga terhadap perusahaan yang mendulang emas dengan pohon sawit ditanah mereka hingga keinginan memiliki yang sama menggebu-gebu.

Apalagi, Riau, kini menjadi primadona kebun sawit dengan status terluas di Indonesia dengan total mencapai 2.636.866 hektere. Dari luas itu, dicatat perkebunan rakyat mencapai luas 1.081.387 hektare. Luas ini akan terus bertambah seiring dengan ‘’demam sawit’’ yang masih terus melanda rakyat Riau. Lahan bisa digunakan tidak ada lagi, akibatnya sorot mata mengarah ke hutan lindung.

‘’Harus ada upaya bersama dengan berparadigma kearifan lokal. Jika masyarakat sekarang tidak cukup menghasilkan padahal sudah memiliki lahan dua hektare sawit, berarti bibitnya harus diatur. Kalau misalnya ada standar pembangunan kebun kelapa sawit atau RSPO, pemerintah seharusnya menstimulasi juga rakyat yang ingin berkebun sawit dengan standar itu. Subsidilah, karena memenuhi standar itu mahal dan butuh modal besar diawal. Yang terpenting, masyarakat juga harus dipahamkan menjaga hutan yang tersisa sangat penting untuk anak cucunya nanti,’’ tutur Mardianto.(jps)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook