PERJUANGAN PEMAIN PSMS MEDAN SETELAH BERBULAN-BULAN TAK BERGAJI

Jadi Kuli Bangunan dan Buka Warung Kecil-kecilan

Feature | Kamis, 29 Agustus 2013 - 10:05 WIB

Laporan MUHAMMAD  AMJAD, Medan

Karena berbulan-bulan gaji tak dibayar, para pemain PSMS Medan hidup merana. Ada yang terpaksa beralih profesi sebagai kuli bangunan, jaga warung, dan menjadi satpam. Mereka tak peduli. Yang penting bisa mendapatkan uang untuk makan sehari-hari anak-istri.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ahad pagi (25/8) seorang sekuriti terlihat mondar-mandir mengontrol kondisi di lantai 2 Bank Sumatera Utara (Sumut). Sesekali dia berhenti sembari melihat catatan yang dibawanya. Dengan teliti tiap ruangan dibuka dan diperiksanya. Mengecek selesai, dia kembali siaga di meja depan lantai dua. Sesekali dia menghidupkan alat komunikasi untuk berkoordinasi dengan sekuriti lain.

Tak banyak yang tahu bahwa dia sebenarnya bukan anggota satuan pengamanan (Satpam) ‘’biasa’’. Melainkan anggota sekuriti yang sebelumnya berprofesi sebagai pemain sepak bola profesional. Ya, dia adalah Irwin Ramadhana, penjaga gawang PSMS Medan.

Kesigapan dan kejeliannya menangkap bola di lapangan hijau kini ditunjukkannya saat menjaga keamanan gedung bank yang terletak di Jalan Imam Bonjol 18, Kota Medan, tersebut.

Saat RPG memergokinya, dia tampak terkejut. Entah karena malas bertemu wartawan atau karena malu. Tapi, setelah RPG berbasa-basi sejenak, Irwin bersedia diwawancarai.

‘’Beginilah saya, kalau tidak berlatih dan bermain bola, saya bekerja di sini,’’ katanya mengawali.

Saat masih aktif sebagai pemain bola, Irwin mengaku cukup beruntung. Penghasilannya lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan seorang anak.

Besaran kontraknya di sebuah klub anggota Divisi Utama Liga Indonesia bisa mencapai ratusan juta rupiah. Uang sebesar itu bisa dipakai untuk hidup lumayan bagi keluarga kecil tersebut.

Apalagi, pekerjaannya relatif  ringan. Hanya berlatih dua kali sehari dengan durasi dua jam setiap latihan dan bermain di hari H pertandingan.

Tapi, pada musim kompetisi Divisi Utama 2013 ini, Irwin benar-benar harus prihatin. Dia harus bekerja 10-11 jam setiap hari. Dengan kerja keras seperti itu, dia hanya mendapatkan upah yang tak besar. Setiap bulan sekitar Rp1,7 juta.

‘’Kalau mau lebih ya saya harus lembur. Itu sering saya ambil untuk menambah penghasilan,’’ ungkap pemain yang memperkuat PSMS Medan sejak musim 2009-2010 tersebut.

Bahkan, untuk menghemat pengeluaran, Irwin rela mengurangi porsi makannya. Saat masih menjadi pemain bola, dia makan tiga kali sehari dengan menu cukup gizi. Tapi, kini dia makan dua kali sehari dengan menu seadanya.

Irwin mengakui, musim kompetisi tahun ini merupakan musim paling sulit. Karena itu, mau tidak mau dia harus kembali aktif menjadi satpam, yang dilakoninya sejak 2011, agar bisa memberi makan istri dan anaknya.

‘’Saya bisa bekerja di sini karena menjadi anggota tim sepak bola Bank Sumut. Tapi, baru kali ini saya merasakan susahnya jadi pemain bola tidak digaji,’’ ucapnya.

Irwin termasuk korban ketidakprofesionalan manajemen klub Ayam Kinantan, julukan PSMS. Kenyataan pahit harus diterima pemain 33 tahun tersebut setelah tak digaji selama sepuluh bulan. Setiap bulan semestinya dia berhak mendapatkan gaji Rp10 juta lebih jika melihat kontrak yang telah ditandatanganinya sejak main di PSMS Desember 2012.

Meski kehidupan ekonominya kini terpuruk, Irwin mengaku beruntung masih memiliki pekerjaan sebagai Satpam. Dia mengungkapkan, banyak rekannya yang tak memiliki pekerjaan tetap.

Irwin mencontohkan Alamsyah Nasution yang terpaksa menjual tanah dan mobilnya untuk bertahan hidup. Bahkan, dia juga sempat jadi tukang becak motor untuk sekadar mencari sesuap nasi.

‘’Saya tahu sendiri, dia (Alamsyah) sempat bergantian dengan temannya narik becak. Kalau temannya sedang istirahat, Alamsyah ganti yang narik. Mungkin dapatnya nggak besar, tapi lumayan untuk beli makanan atau mainan anaknya,’’ paparnya. Lain lagi nasib Ardhana Siregar yang saat ini banting setir menjadi pedagang baju.

Dia harus rela pulang pergi Medan-Tanjung Pinang setiap bulan untuk kulakan baju. Saat dihubungi RPG, Ardhana mengaku  memilih jualan baju di Tanjung Pinang karena dagangannya lumayan laku di sana.

Meski harus banting tulang, Ardhana bersyukur masih bisa mendapatkan penghasilan lumayan. Selain itu, dia bisa berkumpul dengan anak dan istrinya. ‘’Kalau tetap berlatih di PSMS, sudah ninggal anak-istri, gaji tak pernah dibayar,’’ omelnya.

Selain berjualan baju, untuk menambah penghasilan, Ardhana sesekali tetap bermain bola. Tapi, kali ini dia turun bukan di kompetisi profesional, melainkan di turnamen antarkampung (Tarkam). Penjaga gawang nomor dua di PSMS itu sudah dua kali ikut tampil di tarkam Tanjung Pinang.

Setiap bermain, Ardhana bisa mendapatkan honor Rp700-Rp1 juta. Bila dalam satu Tarkam, total honor yang didapatkan sekitar Rp3 juta.

Penghasilan tambahan itu sebagian digunakan untuk keperluan keluarga, sebagian lainnya untuk membayar utang saat menghadapi masa-masa sulit.

‘’Sebenarnya saya malu kepada keluarga. Tapi, kalau tidak jualan baju, tidak main di Tarkam, dari mana untuk makan anak-istri?,” ucapnya.

Lain Ardhana, lain pula M Irfan. Gelandang muda PSMS tersebut harus merasakan pahitnya hidup di awal-awal menapak karir menjadi pemain profesional. Belum lama kontrak diteken, dia harus rela gajinya tak dibayarkan.

Untuk memenuhi keperluan hidupnya, Irfan terpaksa harus bekerja apa saja, termasuk menjadi kuli bangunan di Rantau Prapat, sekitar rumahnya. Pekerjaan kasar itu dia lakoni selama Ramadan lalu. Demi mendapatkan upah Rp40-50 ribu per hari, dia rela bekerja berpanas-panas selama sepuluh jam setiap hari.

Irfan mengaku awalnya ragu untuk menerima pekerjaan tersebut. Tapi, peraih perak PON Riau 2012 bersama tim Sumut itu akhirnya memutuskan untuk menahan malu.

Bagi dia, jika bergantung pada status pemain PSMS, bisa-bisa dirinya tidak dapat memenuhi keperluannya dan harus bergantung kepada orangtua. Kini Irfan bisa sedikit lega.

Sejak sepekan yang lalu dia mendapatkan klub baru. Pemain 22 tahun itu diambil klub amatir Divisi I Bintang Jaya Asahan untuk putaran II Divisi I.

Nasib miris juga dialami Herman Batak, penjaga gawang PSMS yang masih aktif. Dia terpaksa membuka warung yang menjual minuman, rokok, serta makanan kecil di sekitar lapangan latihan PSMS. Selain membantu istrinya, Herman menyambi kerja serabutan.

Memperkuat tim Ayam Kinantan sejatinya menjadi cita-cita pemain bola di Sumut. Tak terkecuali pemain-pemain yang rela bertahan meski gajinya tak terbayar.

Hal itu semata-mata dilakukan karena mereka tak ingin PSMS terdegradasi lantaran tak bertanding. Sebab, regulasi kompetisi menegaskan, jika klub tak bertanding (WO) berturut-turut, sanksinya bisa degradasi di musim berikutnya.

‘’Tapi, manajemen tak pernah menghargai perjuangan kami. Pemain malah dibohongi terus, hati mereka di mana?’’ujarHerman.

Dengan kondisi PSMS seperti saat ini, para pemain kompak menolak jika nanti disodori kontrak baru oleh manajemen. Sebelum manajemen diganti dan tunggakan gaji dibayarkan, mereka enggan memperkuat PSMS.

Belum lagi PSMS saat ini sedang disorot lantaran upaya pengaturan skor pertandingan (match fixing) yang diduga dilakukan manajemen.

Tujuannya, mereka mendapatkan uang yang akan digunakan untuk membayar gaji pemain. Tapi, upaya itu ditolak mentah-mentah oleh pemain dan pelatih. Mereka tidak ingin nama besar PSMS dan Kota Medan tergadaikan.

Sementara itu, Ketua Umum PSMS Indra Sakti seperti tak peduli dengan kondisi tersebut. Sampai saat ini, orang paling bertanggung jawab terhadap situasi di PSMS itu sulit ditemui dan keberadaannya tak diketahui.

‘’Kami sudah lama mencari dia, tapi tidak tahu keberadaannya. Kami hanya ingin menagih komitmennya saat mengontrak kami,’’ tegas Ardhana.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook